25.3 C
Jakarta

Menyelami Nasihat-Nasihat Bijak Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenyelami Nasihat-Nasihat Bijak Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Nasihat-Nasihat Keseharian Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun, Penulis: Ahfa Waid, Penerbit: Diva Press, Cetakan: II, 2019, Tebal: 184 halaman, ISBN: 978-602-391-447-0, Peresensi: Sam Edy Yuswanto.

Harakatuna.com – Menurut saya, dalam menjalani hidup ini, kita membutuhkan nasihat. Tentu saja nasihat dari orang-orang berilmu seperti para ulama, kiai, atau mereka yang memiliki keluasan beragam ilmu pengetahuan. Dengan nasihat tersebut, diharapkan kita akan lebih semangat dalam menjalani hidup. Nasihat juga menjadi semacam pengingat bagi kita agar selalu menjalani kehidupan sesuai aturan-aturan Tuhan.

Perihal nasihat-nasihat bijak yang layak kita renungi bersama, kita bisa membaca buku berjudul ‘Nasihat-Nasihat Keseharian Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun’ karya Ahfa Waid ini. Buku yang diterbitkan oleh Diva Press ini berisi nasihat-nasihat keseharian dari tiga tokoh ulama ternama yang tak perlu diragukan lagi keilmuannya yang cukup tinggi serta pengalaman hidupnya yang sangat banyak. Ketiga ulama besar tersebut yakni Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun.

Gus Dur, sapaan akrab KH. Abdurrahman Wahid, adalah termasuk cucu dari pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari. Dalam kehidupan kesehariannya, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang ramah, baik, nyaman, dan menenteramkan.

Gaya bicara Gus Dur juga sopan, tidak suka mengucapkan kata-kata kotor dan menyakitkan. Selain itu, kata-katanya juga mengandung pesan inspiratif. Maka, tak heran bila beliau termasuk tokoh yang disukai oleh banyak orang, baik dari kalangan sesama muslim maupun nonmuslim.

Salah satu nasihat bijak Gus Dur yang sarat renungan dalam buku ini adalah perihal jabatan. Jangan sampai hidup kita diperbudak oleh jabatan. Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian. Jabatan itu tidak kekal dan tak dibawa mati. Jadi, pandangan bahwa dengan memiliki jabatan maka hidup akan diistimewakan, harus segera dihilangkan.

Namun bukan berarti kita lantas menolak jika diberi jabatan. Tentu sah-sah saja kita memiliki jabatan, selama jabatan yang kita punya itu bukan hal yang menjadikan kita lupa diri, mengagungkannya, bahkan sampai rela memperbudak diri.

Nasihat menarik lainnya dari sosok Gus Dur yang dibahas dalam buku ini yakni tentang cara menyikapi perbedaan yang ada di tengah masyarakat. Kesimpulannya, jangan sampai perbedaan yang ada menjadikan kita terpecah-belah, saling membenci, dan bermusuhan.

Jadi, jangan pernah membenci orang lain hanya karena berbeda. Menurut Gus Dur, jika kamu membenci orang karena ia tidak bisa membaca Al-Qur’an, berarti yang kamu tahu tuhankan itu bukan Allah, tapi Al-Qur’an. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama denganmu, berarti yang kamu tuhankan itu bukan Allah, tapi agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral, berarti yang kamu tuhankan bukan Allah, tapi moral. Tuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan, pembuktian kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena, begitulah Allah.

Selain Gus Dur, dalam buku ini kita juga bisa menyelami nasihat-nasihat bijak dari tokoh ulama ternama yakni Gus Mus, panggilan akrab KH. Mustofa Bisri yang lahir di Rembang, 10 Agustus 1944 dan merupakan pengasuh Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin, Rembang, Jateng. Menariknya, selain menjadi kiai, beliau juga dikenal sebagai penyair, pelukis, budayawan, dan cendekiawan muslim.

BACA JUGA  Menebas Ekstremisme dan Terorisme Secara Daring

Salah satu nasihat bijak Gus Mus yang layak kita renungi bersama adalah tentang bahaya sifat sombong yang harus kita hindari. Salah satu cara agar kita bisa terjaga dari sifat tercela ini adalah dengan sering mengingat kebesaran Tuhan. Menurut Gus Mus, orang yang selalu mengingat kebesaran Tuhan tidak akan pernah membesarkan dirinya. Membesarkan diri itu perbuatan tidak baik. Sebab, hal ini merupakan perbuatan jelek yang harus kita hindari.

Sungguh celaka jika kita merasa sempurna segala-galanya, yang malah menjadikan kita sombong. Lagi pula, untuk apa kita sombong dan angkuh jika mengakibatkan kita dimurkai oleh Allah Yang Maha Sempurna? Untuk itu, ingatlah selalu tentang kebesaran Tuhan, agar kita selalu merasa tidak ada apa-apanya dibanding Dia Yang Maha Kuasa (hlm. 70).

Nasihat Gus Mus selanjutnya yang perlu kita pahami dan renungi bersama adalah tentang bahayanya kita jika memiliki sikap merendahkan orang lain. Jadi, merendahkan orang lain sama artinya dengan menistakan diri sendiri. Merendahkan orang atau kelompok lain itu tidak dibenarkan. Sebab ini merupakan bentuk kesombongan yang akan menjatuhkan diri sendiri.

Allah telah melarang kita untuk menghina, meremehkan, dan mengolok-olok orang lain. Lagi pula, untuk apa kita merendahkan atau meremehkan orang lain kalau kita sendiri belum tentu lebih baik daripada mereka? Ingatlah bahwa menghina dan merendahkan orang lain itu merupakan perbuatan atau tindakan zalim dan dosa (hlm. 74).

Selain nasihat-nasihat bijak dari Gus Dur dan Gus Mus, dalam buku ini kita juga bisa merenungi nasihat dari sosok kiai nyentrik yang biasa dipanggil Cak Nun. Emha Ainun Nadjib atau akrab dipanggil Cak Nun ini adalah budayawan sekaligus intelektual muslim yang lahir di Jombang, 27 Mei 1953.

Salah satu hal yang paling diutamakan oleh Cak Nun adalah dakwah dalam bentuk pelayanan. Sebab, menurut Cak Nun, dakwah yang utama bukanlah dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik, sebenarnya ia sudah berdakwah (hlm. 123).

Ada sebuah nasihat menarik dari Cak Nun yang bisa menjadi sarana introspeksi diri. Yakni berkaitan dengan pentingnya meminta maaf dan memberi maaf orang lain. Mintalah maaf jika salah, dan maafkanlah orang yang berbuat salah. Menurut Cak Nun, dimaafkan adalah kelegaan memperoleh rezeki. Tetapi, memaafkan adalah perjuangan yang tidak ringan dan membuat kita penasaran kepada diri sendiri. Sedangkan tidak memaafkan, adalah situasi psikologis di mana hati kita menggumpal alias menjadi gumpalan, atau terdapat gumpalan di wilayah ruhaninya.

Memaafkan orang lain yang pernah berbuat salah pada kita mungkin tidak mudah. Tapi kita harus ingat bahwa ketika kita ingin dimaafkan segala salah dan dosa yang pernah kita perbuat pada Tuhan, kita juga harus berusaha menjadi pribadi pemaaf. Intinya, kalau kita ingin dimaafkan oleh Allah, kita juga harus berbesar hati memberi maaf terhadap sesama manusia.

Masih banyak nasihat-nasihat bijak dari sosok Gus Dur, Gus Mus, dan Cak Nun, yang bisa dibaca sekaligus renungi secara langsung dalam buku ini. Terbitnya buku ini semoga menjadi sarana yang bagus bagi kita agar selalu berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Sam Edy Yuswanto
Sam Edy Yuswanto
Bermukim di Kebumen, tulisannya dalam berbagai genre tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, Kompas Anak, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru