26.3 C
Jakarta

Menyelamatkan FPI dari Jerat Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamMenyelamatkan FPI dari Jerat Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Kemarin, Rabu (7/4), saya mengikuti kuliah di Afkar Forum 2021 Lakpesdam PBNU. Profesor Martin van Bruinessen, antropolog dan guru besar Universitas Utrecht, Belanda, menjadi pembicara kunci. Topiknya “Traditionalist Muslims and Populism in Indonesia and Turkey”.

Kepada beliau, saya mendapat kesempatan untuk bertanya tentang Habib Rizieq—dan secara umum FPI yang hari-hari ini terjerat terorisme. Jawabannya lugas, objektif, sekaligus autokritik.

Prof Martin menyebut, pidana terhadap Habib Rizieq kentara politis. Ia menegaskan, bahwa sekalipun populisme Islam harus kita redam, hak politik dan hak berekspresi mesti terjamin seutuhnya. FPI, kata Prof Martin, tidak seperti teroris militan Al-Qaeda, ISIS, dkk. Seperti NU, FPI juga tahlilan, shalawatan, tawashulan, dan sebagainya.

Maka ia pun menggarisbawahi, grassroot NU juga sering kali terjebak populisme. Demonstran 212 tidak melulu berasal dari FPI. Tidak sedikit Nahdhiyyin datang dari Jawa Tengah, bahkan Jawa Timur, yang ikut ke Monas bersama Muslim populis lainnya. Ulil Abshar Abdalla menginterupsi bagian ini. Tetapi, saya pikir, tesis Prof Martin tidak bisa begitu saja disalahkan. Itu autokritik terhadap NU.

Yang menarik, hemat saya, adalah anggapannya bahwa FPI secara amaliah, sama dengan NU. Kalau kita menonton ceramah Habib Rizieq sebelum tahun 2017, maka resistansi terhadap Salafi-Wahhabi kuat sekali. Pemerintah bukan satu-satunya objek kritik, tokoh Wahhabi banyak yang jadi target kritik Habib Rizieq. Tentang bid’ah, misalnya. Lalu sejak kapan FPI berubah drastis?

Kasus Ahok adalah titik balik dari semuanya. Sejak saat itu hingga Pilkada 2017, sampai Habib Rizieq kabur ke Arab Saudi, kontras FPI kepada NU semakin besar—karena NU jadi koalisi pemerintah. Narasi populisme Islam menggempita di masa-masa itu sampai Sang Imam Besar pulang ke tanah air. Sekat Nahdhiyyin dengan laskar FPI semakin besar. Justru yang tampak, narasi para laskar lebih pada radikalis-ekstremis dan semakin suka kekerasan.

Saya pikir, ini jelas problem yang sangat penting diulas. Ketika hari ini sejumlah laskar FPI terkungkung jerat terorisme, seperti kasus Cikarang dan Condet, maka orang-orang akan menanyakan dua poin krusial; pertama, kenapa pemerintah represif pada FPI, dan kedua, kenapa FPI justru memang terkena jerat terorisme. Ada pertanyaan yang tak kalah penting adalah mengapa kita harus menyelamatkan FPI.

Jerat Terorisme, Sejak Kapan?

Diakui atau tidak, populisme Islam yang diaktori FPI melalui glorifikasi Habib Rizieq, telah menjadi residu bagi demokrasi. Di satu sisi, negara harus melindungi hak-hak berekspresi dan berpolitik Habib Rizieq. Tetapi pada sisi yang lain, jika itu diberikan, ia akan menyalahgunakannya untuk memainkan narasi populis. Baik represi maupun respons atasnya, faktanya, sama-sama problematik.

BACA JUGA  Hilangnya Nalar Waras di Zaman yang Tidak Jelas

Bahkan dalam lingkup yang lebih luas, populisme Islam tidak sekadar akan mengombang-ambingkan narasi kebangsaan, melainkan memancing polarisasi teroris militan itu sendiri. Pendek kata, FPI akan larut dalam jerat terorisme yang musababnya adalah tuduhan ketidakadilan alias kezaliman. Dalam konteks ini, represi pemerintah menemukan legalitasnya, sebagai kontrol konstitusional demi keselamatan demokrasi dan persatuan.

FPI terjerembab dalam jerat terorisme setelah ia putus asa lantaran merasa mengalami diskriminasi eksitensial. Dari laskar yang tertangkap kemarin, bisa kita ketahui bahwa cita teror mereka sebenarnya rapuh—tidak punya pembenaran apa pun kecuali atas nama pembelaan yang adil. Mereka jadi teroris yang anti-genuine, teroris non-jihadis yang sarat politis.

Menyelamatkan FPI dari jerat terorisme boleh jadi, hari ini, sudah lambat. Ia sudah terlarang keberadaannya, dan konsekuensi loginsya adalah kita harus siap sekaligus mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan mereka lakukan. Di sini, civil society seperti NU memiliki tugas yang relatif riskan: menggandeng kembali mereka, mengangkisnya dari larut emosi dan dimanfaatkan oleh teroris militan.

Sang Imam Besar

Dulu Habib Rizieq pernah sepanggung dengan para ulama NU, Polri, dalam bingkai yang damai tanpa permusuhan. Namun semuanya berubah seketika, ia lebih garang dari biasanya, dan lebih lantang mengkritik yang nadanya menghujat. Pemerintah tentu merespons dengan agak represif, tetapi saya yakin tindakan tersebut bertujuan meredam lubang perpecahan yang mulai menganga.

Hingga tahun 2024, besar kemungkinan narasi politik kebangsaan kita tidak banyak berubah. Tetapi terorisme adalah musuh abadi. Tidak peduli organisasi apa pun, jika teror menjadi basis gerakan, membumihanguskannya merupakan keniscayaan.

FPI sudah terlarang, tetapi pelarangan tersebut lantaran SKT-nya tidak diperpanjang. Andai FPI mau kembali ke khitah; tidak terjerat terorisme, tidak konfrontatif, tidak melegitimasi tindakan kekerasan, mungkin mereka masih bisa memperpanjangnya.

FPI harus kembali—seperti dikatakan oleh Prof Martin—seperti civil society mainstream. Tidak meneror dan tidak suka kekerasan. Agar, ia dengan Sang Imam Besar yang beramaliah mirip NU; tahlilan, istighatsahan, ziarahan, dan tidak gemar membid’ahkan apalagi merakit bom, bisa kembali sepanggung dengan Nahdhiyyin tanpa kecurigaan—bersatu menciptakan kedamaian.

Tetapi, itu kalau FPI mau. Saya yakin, menyelamatkan FPI dari jeratan terorisme adalah deradikalisasi paling efektif. Taktisnya bisa dibicarakan belakangan. Tetapi jika mereka sengaja tidak mau keluar dari jerat terorisme, dan tetap ingin menempuh jalur konfrontasi, maka terpaksa: mereka harus kita bersama musnahkan. Harus. Tidak ada kompromi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru