25.4 C
Jakarta

Menyanggah Sesepuh HTI: Kata Siapa Khilafah Bukanlah ‘Isme’?

Artikel Trending

Milenial IslamMenyanggah Sesepuh HTI: Kata Siapa Khilafah Bukanlah ‘Isme’?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Polemik RUU HIP, di pelosok desa, belum juga mereda. Sekalipun, di pusat, PDIP telah mencopot kader yang menjadi kepala badan legislatif (Baleg) RUU terkait, beberapa kalangan tetap bersikukuh menuntut agar partai inisiator dibubarkan. Jumat (10/7) kemarin, FPI menggelar aksi demo penolakan RUU HIP di depan Kantor DPRD Sumenep, Madura.

Tidak ada argumentasi yang kuat, kenapa aksi-aksi tersebut mesti digelar. Kecuali untuk menebar kebencian, mengadu domba rakyat dengan pemerintah, atau berniat mendirikan khilafah, akal sehat akan menentangnya. Narasi khilafah, jujur saja, tidak akan berhenti membisingkan negeri, sampai ia tegak, atau negeri ini hancur. Ia sudah jadi paham, namun belum laikkah disebut ‘isme’?

Adalah KH Hafidz Abdurrahman, Tetua DPP HTI periode 2004-2010, Pengasuh Ma’had Syarafatul Haramain, mengisi kajian daring berjudul “Khilafah Sama Dengan Komunisme?”, di kanal YouTube Khilafah Channel, pada Senin (29/6) lalu. Ia menyodorkan beberapa tesis mengenai khilafah, di antanya bahwa khilafah bukanlah ideologi, bukan isme, dan produk Islam itu sendiri.

Ada beberapa poin yang disampaikan Hafidz. Pertama, bahwa menyamakan khilafah dengan komunisme adalah bukti kebodohan dan kebencian. Kedua, hanya ada tiga ideologi di dunia: Islam, sosialisme, dan kapitalisme. Ketiga, khilafah adalah bagian dari sistem Islam yang lahir dari ideologi Islam. Keempat, semakin ditentang, itu artinya khilafah menunjukkan keberhasilan. Kelima, khilafahisme adalah proyek pemerintah untuk menggagalkan tegaknya khilafah.

Benarkah demikian? Tulisan ini hendak menelanjangi apa yang sesepuh HTI itu kemukakan, bahwa khilafah, hari ini, benar-benar sudah tampil sebagai ideologi baru, yang tidak salah disandingkan dengan komunisme. Di sini hendak diulas bahwa isme-isme tengah menggerogoti negeri, sembari kita saksikan para pengikut menyangkal keberadaannya.

Komunisme dilarang, setali tiga uang dengan pelarangan khilafahisme. Lalu, para kaum Hizbut Tahrir tidak setuju keduanya disandingkan. Maksudnya, mereka tidak terima jika khilafah dilarang, karena dianggap bukan isme, melainkan salah satu syariatnya. Tetapi, apakah pemikiran sehat akan terima sesuatu yang pure-politic itu dianggap sebagai ajaran syariat?

Khilafah Itu Bukan Syariat Islam

Jawaban kenapa narasi khilafah tidak akan berhenti sampai ia benar-benar tegak, atau setidaknya sampai negeri tercinta ini hancur, adalah karena, pertama, ia dianggap bagian dari syariat dan, kedua, memperjuangkan agama merupakan perjuangan yang tak kenal titik henti. Dua premis ini menjadi konstruksi nalar para maniaknya—meski mereka tak lagi terintegrasi organisasi tertentu.

Umat Islam mereka buat buta sejarah, dengan doktrin-doktrin yang masif. Apa yang dilakukan Hafidz, Tetua HTI di atas, poin kedua, ketiga, dan keempat, menawab tuduhan dirinya pada poin yang pertama. Ketika ia menganggap bodoh orang-orang yang menyamakan khilafah dengan komunisme, dan mengatakan Islam adalah salah satu ideologi, maka kebodohan tersebut dipikulnya sendiri.

Khilafah memang tidak segaris dengan komunisme. Itu benar. Karena yang kedua sudah disisipi sufiks ‘isme’. Tetapi, orang-orang ‘berpikir’ bahwa khilafah adalah bagian dari syariat Islam, dan percaya bahwa ia harus diperjuangkan bersama agar segera tegak, kita panggil mereka sebagai ‘partisan pejuang khilafah’. Kalau kata terakhir kita susupi sufiks isme juga, bukankah keduanya sama?

BACA JUGA  War Takjil: Potret Kerukunan Antarumat yang Harus Dilestarikan

Mari buat contoh, agar lebih mudah. Komunisme adalah paham (baca: ideologi) yang menghapus hak milik personal menjadi hak komunal yang dikontrol negara. Sedangkan khilafah, menjadi sebuah isme bilamana ia juga menjadi paham sebagian umat Islam. Hanya saja, karena pelakunya umat Islam, maka khilafah itu bernaung atau, merupakan bagian dari, islamisme. Islamisme adalah ideologi yang mendesak Islam diterapkan dalam segala aspek: politik, ekonomi, dst.

Namun, karena islamisme sekarang tidak tergabung dalam satu organisasi tertentu, misal HTI, karena dibubarkan, atau karena mereka sendiri tidak mau dikatakan sebagai pejuang islamisme, dan malah berjuang secara individual, maka khilafah kemudian menjadi isme tersendiri. Artinya, khilafahisme adalah paham bahwa sistem kenegaraan apapun harus dirombak menjadi ‘khilafah’.

Dengan demikian, sesepuh DPP HTI itu salah fatal ketika menganggap “khilafah adalah bagian dari sistem Islam yang lahir dari ideologi Islam”. Ia bukan sistem Islam, dan bukan bagian dari syariat. Maukah kita ditipu?

Isme-Isme Penghancur Negeri

Apa yang dilakukan para budak-budak politik masa lalu, para dedengkot HTI, adalah politisasi syariat sekaligus syariatisasi politik. Ia mempolitisir syariat demi tegaknya khilafah, dan mempolitisir seakan ia bagian dari Islam. Padahal, tidak. Justru ia adalah bagian dari islamisme, seperti dikatakan tadi. Dan, parahnya, isme-isme itu, sekalipun terdengar religius, justru mengancam negeri.

Di sini, perlu ditegaskan, tidak hendak melindungi keburukan pemerintah. Jokowi sekalipun, jika kebijakannya dapat memecah-belah, maka harus dilawan. Tetapi, ini juga wajib digarisbawahi, yang dikritik adalah kebijakannya, bukan malah bercita-cita merombak segala aspek dan sistemnya. Apalagi dengan narasi jahat, menuduhnya sebagai komunis yang harus dilengserkan, sembari berperisai diri, bahwa pemikiran radikal mereka harus dibiarkan.

Islam bermakna positif. Sains juga demikian. Tetapi, ketika diberi sufiks isme, maka lain lagi keadaannya. Ia menjadi negatif. Islamisme adalah partisan fanatik dan buta sejarah, sementara saintisme justru memandekkan sains itu sendiri. Sekuler saja, mula-mula, bukanlah term negatif. Namun ketika menjadi sekularisme, ia sama buruknya dengan khilafah. Buruk sekali.

Sekularisme, komunisme, islamisme, atau khilafahisme berada di ruang riskan yang sama. Justru ketika Hafidz, juga para veteran HTI lainnya, mengatakan bahwa khilafah mestinya disandingkan dengan demokrasi, maka secara otomatis ia menyanggah ideologinya sendiri. Demokrasi bukanlah sesuatu yang sakral, lalu kenapa khilafah mereka enggan untuk katakan profan—politik belaka?

Kejanggalan pemikiran para aktivis khilafah banyak sekali, dan apa yang diuraikan dedengkot HTI tersebut merupakan salah satunya. Khilafah adalah sistem bobrok sejarah, jika yang dimaksud khilafah ialah apa yang Hizbut Tahrir perjuangkan. Kecuali ia dimaknasi sebagai ‘pemerintahan’, yang bebas sistem spesifik. Namun faktanya, para aktivisnya tidak bermaksud begitu.

Khilafahisme adalah satu dari isme, paham, yang ngotot mendirikan khilafah, sekalipun sudah kuat dalil bahwa ia bukanlah, sama sekali tidak, termasuk syariat Islam. Khilafahisme bukanlah produk pemerintah. Khilafah ala HTI memang wajib ditentang. Tuduhan Hafidz dan semua aktivis khilafah kepada pemerintah murni adalah fitnah, kebodohan, dan kebencian belaka.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru