30.8 C
Jakarta

Menyambut Idul Fitri dengan Hati yang Fitri

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMenyambut Idul Fitri dengan Hati yang Fitri
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tak terasa kita sedang menghadapi Hari Raya Idul Fitri setelah sekian hari kita berpuasa di bulan Ramadhan. Hari raya tahun ini mungkin berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini dunia, termasuk Indonesia, sedang berduka karena wabah Virus Corona yang belum kunjung usai.

Menyambut hari raya tahun ini jelas dengan suasana yang berbeda. Sesuai dengan imbauan pemerintah, kita merayakannya di rumah masing-masing, seperti aktivitas yang lain. Sebut saja, shalat jamaah di rumah, bekerja dari rumah, bahkan merayakan wisuda atas kelulusan studi juga di rumah.

Beraktivitas di rumah jelas memiliki kesan yang berbeda. Kesan yang dirasakan memang kurang memuaskan. Tapi, gimana lagi. Ini semua bukan sesuatu yang kita harapkan. Ini adalah musibah yang butuh dihadapi dengan sabar. Kita tetap optimis, musibah ini akan segera berlalu. Tetap selalu berharap akan ada hikmah di balik semua itu.

Memasuki Idul Fitri, hendaknya kita merefleksikan nilai-nilai yang terbentang di dalamnya. Nilai-nilai Idul Fitri, salah satunya, mensucikan diri dari segala sifat yang berpotensi mengotori jiwa. Sifat yang dimaksud adalah menghindari politeisme (paham syirik) terhadap Tuhan. Larangan syirik telah banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Bahkan, pelakunya bisa-bisa diklaim tidak akan termaafkan bila belum beristighfar.

Selain itu, sikap yang berpotensi mengotori jiwa adalah sifat kebinatangan. Manusia pada mulanya diciptakan dengan fithrah, suci bak tabularasa. Sedang, yang menentukan perkembangan hidup manusia adalah lingkungan di mana mereka hidup. Lingkungan bisa berupa orangtua, guru, dan sahabat. Manusia yang hidup di lingkungan yang baik akan sangat mungkin terbentuk kepribadiannya yang baik pula. Sebaliknya, manusia yang memilih hidup di lingkungan yang buruk akan sangat berpotensi kepribadiannya buruk pula.

Manusia yang hatinya kotor akan sangat mudah melihat orang lain adalah musuh yang harus disingkirkan. Mereka tidak akan tenang melihat kehadiran orang lain. Mereka akan selalu rakus, sombong, dan acuh tak acuh. Mereka melupakan hakikat manusia yang sesungguhnya adalah saudara. Benar, apa yang dikatakan oleh Sayyidina Ali, “Sesungguhnya manusia itu ada dua tipe: Jika dia bukan saudaramu seagama, dia saudaramu sekemanusiaan.”

BACA JUGA  Satu Hal yang Sering Terlupakan Saat Memasuki Bulan Ramadhan

Penting direfleksikan pesan yang disampaikan oleh Sayyidina Ali tersebut. Karena, semakin ke depan, kita bukan semakin dihadapkan dengan manusia yang suka berdamai, malah suka menyulut permusuhan antar sesama. Saya tidak perlu menyebut satu persatu siapa yang gemar berbuat seperti itu. Publik sudah bisa menilai sendiri satu persatu mereka.

Kali ini saya hanya ingin menyebutkan ciri-cirinya. Orang yang gemar menyulut permusuhan biasanya berdakwah dengan paksaan, tidak terbuka terhadap perbedaan, negative thinking atau su’u azh-zhann, dan gemar melakukan aksi-aksi kekerasan seperti main hakim sendiri dan lebih tragisnya lagi aksi terorisme. Mereka tega berbuat begitu karena mereka sudah tertutup hatinya, hilang kefitrahannya, bahkan rusak akal sehatnya. Mereka melihat kebenaran. Kebenaran hanya diukur dengan apa yang mereka tahu dan yakini sendiri.

Mereka sesungguhnya telah memberangus nilai-nilai Islam yang mencintai, mengasihi, merangkul, dan menyelamatkan. Mereka lebih memilih mendakwahkan Islam bukan dengan hidayah, tapi dengan hawa nafsu. Karena itu, mereka telah menjadi hamba dari hawa nafsunya sendiri. Sungguh, sangat merugi orang semacam itu. Itu tidak akan menjadi mentor yang dapat mengantarkan kita meraih keberhasilan, malah terjebak dalam kegagalan.

Nah, pada Hari Raya Idul Fitri tahun ini, jangan sampai lupa merefleksikan nilai-nilai yang terbentang di dalamnya. Salah satu nilai yang paling penting adalah mensucikan diri dari kemusyrikan dan sifat kebinatangan. Sehingga, kita akan menjadi manusia yang dapat memanusiakan manusia, bukan menjadi manusia yang menyesatkan manusia.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru