30 C
Jakarta

Menyambut Akhir ‘Perang Dingin’ Saudi-Iran; The End of History?

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahUlasan Timur TengahMenyambut Akhir ‘Perang Dingin’ Saudi-Iran; The End of History?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Selain konflik Israel-Palestina, berita hangat beberapa minggu terakhir ini adalah adanya pernyataan dari Putera Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman (MBS) yang menjelaskan ihwal perbaikan hubungan Saudi dengan Iran. Dalam wawancaranya di salah satu acara televisi, MBS menyatakan bahwa bagaimanapun Iran merupakan negara tetangga Saudi, dan karena itu Saudi ingin menjalin hubungan baik dan spesial dengan Iran.

Pernyataan MBS tersebut mengisyaratkan akan adanya pergeseran baru dalam peta geopolitik di Timur Tengah. Sebagaimana dipahami bahwa sudah lama Saudi dan Iran saling memasang jarak, bahkan tidak jarang terlibat perang proksi dalam beberapa konflik kawasan, khususnya setelah peristiwa The Arab Spring (Musim Semi Arab) yang bergejolak 2011 silam. Dalam peristiwa tersebut tensi politik Iran dan Saudi semakin tinggi karena keduanya mengambil sikap politik yang berlawanan sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Puncaknya, dua negara yang penduduknya mayoritas bermazhab Sunni dan Syi’ah tersebut secara resmi memutus hubungan diplomatik pada 2016 silam. Peristiwa tersebut terjadi setelah kedutaan Saudi di Teheran digeruduk massa sebagai bentuk protes atas wafatnya salah satu ulamak Syi’ah Saudi yang dihukum mati oleh pemerintah Saudi. Peristiwa tersebut semakin melanggengkan konflik antar dua negara yang mulai meletup sejak peristiwa revolusi Iran 1979.

Peristiwa The Arab Spring menjadi moment penting Saudi dan Iran untuk saling menancapkan pengaruh di beberapa negara Timur Tengah. Peristiwa yang menyebabkan beberapa pemimpin negara otoriter Arab berjatuhan tersebut menciptakan atmosfir politik antar kedua negara semakin memanas. Hal ini bisa dilihat dalam gejolak politik yang terjadi di Suriah dan Yaman. Konflik di Suriah dan Yaman menjadi medan ‘perang dingin’ antara Saudi dan Iran.

Dalam konflik Suriah, misalnya, Iran berdiri di belakang Bashar al-Assad dalam melawan kelompok oposisi yang didukung oleh Saudi dan sekutunya AS. Iran tidak berdiri sendiri dalam mendukung rezim Assad tetapi juga disokong Tiongkok dan Rusia. Sikap politik Iran untuk membela Assad bukan hal yang aneh, karena Suriah merupakan mitra politik Iran sejak revolusi 1979. Selain itu, Iran mempunyai kepentingan untuk menjalin komunikasi politik yang baik dengan mitra politiknya yang kebetulan juga berasal dari kelompok Syi’ah.

Beda dengan gejolak politik di Suriah, dalam konflik Yaman Iran dan sekutunya memberi dukungan politik pada kelompok Houthi yang merupakan pihak oposan. Sedangkan koalisi Saudi berpihak pada rezim penguasa yang berasal dari kalangan Sunni. Dalam konstalasi politik Timur Tengah, baik Saudi maupun Iran sama-sama berjuang untuk menjaga kepentingan nasionalnya masing-masing. Narasi sektarian, legitimasi politik yang rendah, dan campur tangan dunia luar menjadi faktor dominan yang terus melanggengkan konflik antar keduanya.

Maju Satu Langkah     

Merupakan satu langkah maju bagi perdamaian Timur Tengah apabila Saudi dan Iran benar-benar meredakan tensi politik mereka. Tidak hanya bagi kedua negara, perdamaian Saudi dan Iran juga akan berpengaruh bagi stabilitas politik beberapa negara kawasan. Karena sudah mafhum, gejolak politik antar keduanya selama ini merembet ke negara-negara lainnya di Timur Tengah.

Melunaknya MBS terhadap Iran merupakan langkah progresif sang putera mahkota yang selama ini diketahui telah melakukan reformasi birokrasi di negeri kerajaan tersebut. Meski demikian, sikap lunak MBS tersebut memancing tanya banyak pihak. Dan, jika kita mengikuti perkembangan politik dan rentetan peristiwa yang mendera Saudi beberapa bulan terakhir, tidak terlalu sulit bagi kita untuk mencari alasan di balik sikap politik MBS tersebut.

Menurut penulis setidaknya ada tiga hal yang mungkin menjadi pertimbangan MBS untuk mengubah sikap politiknya terhadap Iran. Pertama, faktor AS. Sebagaimana diketahui, setelah lengsernya Donald Trump dari gedung putih, AS di bawah Joe Biden memberi alarm kurang baik bagi Saudi—juga bagi MBS secara pribadi. Presiden ke-46 AS tersebut diketahui menangguhkan penjualan senjata ke Saudi, bahkan digadang-gadang menyetop penjualan senjata ke negara kerajaan tersebut.

Selain itu, di bawah Biden kasus pembunuhan Jamal Khasoggi yang ditengarai melibatkan sang putera mahkota Saudi tersebut kembali diangkat kepermukaan. Meskipun akhirnya Biden tidak memberikan sangsi yang berarti pada MBS dalam kasus tersebut.

Kedua, semakin terpojoknya Saudi dalam konflik Yaman. Dalam konflik Yaman posisi Saudi semakin terdesak oleh kelompok Houthi yang kian gencar melakukan pembebasan wilayah yang diduduki pasukan Saudi. Pejuang Yaman yang didukung Iran dan sekutunya tersebut juga beberapa kali melakukan serangan langsung ke wilayah Saudi dan mengakibatkan kerusakan di beberapa fasilitas penting, seperti bandara dan fasilitas minyak Saudi. Dalam rangkaian peristiwa tersebut Saudi tidak bisa berbuat banyak, apalagi beberapa waktu terakhir AS tidak lagi aktif bahkan terkesan acuh untuk memberi dukungan pada Saudi dalam melawan kelompok Houthi.

Dan yang terkahir ialah faktor Iran. Diakui atau tidak, negeri para mullah tersebut merupakan ancaman serius bagi Saudi. Campur tangan Iran di Suriah dan Yaman terbukti bisa membawa rezim Assad dan kelompok Houthi bisa bertahan sampai sekarang. Selain itu, Iran mampu bangkit dan terus berinovasi dalam mengembangkan persenjataan paling mutakhir meskipun terus digempur sangsi AS yang tidak masuk akal.

Sikap ngeyel Iran tidak hanya membuat Israel dan AS jengkel tetapi juga membuat Saudi harus berpikir ulang untuk terus memusuhi Iran. Apalagi Biden berencana untuk membuka dialog kembali dengan Iran terkait kesepakatan nuklir yang sebelumnya sudah dirusak oleh Trump. Tentu langkah Biden cukup rasional, karena baginya memusuhi Iran tidak akan banyak memberikan keuntungan bagi AS.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, langkah politik MBS membuka dialog dengan Iran merupakan kebijakan yang masuk akal. MBS memang sepatutnya melakukan langkah konkrit sebagai upaya balance of power. Berdamai dengan Iran merupakan sebuah konsederasi yang tepat dan bisa meminimalisir potensi konflik yang bisa merugikan Saudi sendiri. Kerusakan fasilitas minyak Saudi akibat serangan Houthi merupakan contoh konkrit akibat jalan terjal yang selama ini diambil Saudi dalam menyikapi Iran.

Sampai di mana proses dialog Saudi dan Iran dilakukan? Kabarnya, setelah pertemuan pertama yang pernah digelar di Baghdad, pertemuan kedua rencananya juga akan dilakukan di ibu kota Irak tersebut pada bulan ini. Menurut situs berita Rai Al-Youm, setelah Idul Fitri delegasi Riyadh dan Teheran akan bertemu kembali untuk membicarakan berbagai isu penting, diantaranya pemulihan hubungan diplomatik dan konflik Yaman.

Kalau Saudi dan Iran berhasil bersepakat untuk memulihkan hubungan diplomatiknya, maka peristiwa penting dalam sejarah akhir Perang Dingin akan kembali terulang. Sebagaimana yang digambarkan oleh Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man, di mana terjadi peristiwa keruntuhan Uni Soviet setelah dikalahkan AS. Versi lama ditandai dengan berakhirnya sejarah konflik dua ideologi besar dunia yaitu Kapitalisme dan Komunisme, sedang versi Timur Tengah berakhirnya konflik dua mazhab besar dunia Islam yaitu Sunni dan Syi’ah.

Apakah mungkin dialog Arab-Iran akan terlaksana dan menjadi The End of History? Tentu tidak ada yang mustahil selama kalkulasi eko-geopolitik saling menguntungkan kedua belah pihak. Saudi dan Iran akan bisa bersanding kalau keduanya bisa mengenyampingkan isu sektarian, berkometmen untuk menjaga stabilitas regional, dan mengakhiri ketertundukan pada dunia luar.  Dan, yang terpenting, kalau dalam sejarah Perang Dingin ditandai dengan kemenangan ideologi Kapitalisme, dalam konteks TimurTengah tidak boleh ada menang-kalah. Prinsip equality dan moderasi harus dimilikih oleh keduanya.

Mas’odi, Alumnus Magister Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga, Pengajar aktif di STIBA Pamekasan

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru