26.2 C
Jakarta

Menulislah Meski Tidak Dapat Honor

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMenulislah Meski Tidak Dapat Honor
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hari Sabtu dan Minggu, grup WA yang beranggotakan berpuluh penulis itu gencar dengan ucapan selamat. Puluhan jumlahnya. Rupanya ada satu, dua atau tiga anggota beruntung karyanya mampu menembus media massa cetak. Kutipan dan gambar ilustrasi mewah pun ditayangkan. Rasa kagum menggelegak dengan indah. Praktis yang diberi ucapan selamat berusaha membalasnya dengan gaya yang khas; menyenangkan orang yang memberi ucapan.

Apresiasi menarik ini berlangsung berminggu-minggu. Saya terharu. Betapa hebatnya cara mereka menghadiahkan apresiasi demi, salah satunya, memberi deru semangat gregetan menulis. Dengan frasa lain, aktivitas menulis yang semula mulai merangkak cepat, menghasilkan satu, dua dan berlanjut puluhan judul akan terus menunjukkan  mobilitas menarik. Puncaknya; menulis merupakan kebutuhan intelektual  yang tidak bisa dihindarkan lagi.

Keterharuan saya tidak sekadar berhenti pada rasa sekadar kagum. Tetapi ada makna lain, yakni, tanpa menerima honor pun mereka akan terus menulis, menulis dan menulis tanpa henti. Pertanyaan yang kemudian menguntit: Sampai kapan mereka akan terus menulis tanpa merasakan nikmatnya menerima honor sepeser pun?

Pertanyaan yang semua dirasa membuat risi dan malu-malu meong ini pun menguak terbuka. Lontaran demi lontaran serba-serbi honorarium berkelindan dengan cepat. Sehingga suatu saat ada daftar media cetak dan online yang mampu memberi honor dan belum mampu memberi honor.  Uniknya, ada media yang dulu mampu memberi honor dengan lancar – mendadak berubah seret. Harus menagih untuk merasakan honornya. Sungguh, obrolan yang mengasyikkan.

Dengan keterbukaan semacam ini, mau tidak mau para penulis mulai melirik, pilah-pilih mana media yang berani memberi honor banyak. Ada media yang mampu memberi honor satu juta rupiah lebih untuk satu judul tulisan, namun ada juga yang memberi honor empat puisi dengan nominal lima puluh ribu rupiah. Tidak apa, disyukuri saja. Lima puluh ribu itu asyik juga kalau ditukarkan sepuluh ribuan sebanyak lima lembar. Apalagi kalau diberikan kerupuk untuk cadangan lauk; bisa beberapa blek!

Media kelas berat yang sulit ditembus, biasa memberi honor tinggi. Sedang media yang tidak memberi honor bukan berarti gampang ditembus. Berbagai pertimbangan banyak yang membentengi. Pembaca yang banyak, ilustrasi berwarna menarik, tata letak yang aduhai dan mengoda mata, sampai kewibawaan penjaga gawang rubrik menjadi pertimbangan yang urgen.

Bila kita menelisik pada pada pangkal persoalan bahwa menulis merupakan kegiatan intelektual yang bersifat ekspresif, niat beribadah–honor menjadi perhitungan ke sekian. Beberapa hal yang menyemangati pertanyaan mengapa menulis tanpa honor terus berlanjut adalah:

  1. Terpenuhinya kebutuhan intelektual dapat kita ekspresikan dengan memperhitungkan segmen pembaca tertentu. Bangga rasanya mendapat pujian kawan, kerabat, guru, murid, hingga orang-orang terhormat bahwa kita mampu mengaktualisasikan tataran kemampuan berbahasa paling tinggi disamping menyimak, wicara, dan membaca.
  2. Bisa mendapatkan angka kredit untuk selanjutnya dikumpulkan sehingga jika sudah sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan — bisa sebagai syarat kenaikan golongan/pangkat bagi guru ASN. Tanya para guru yang selama ini tulisannya bisa lolos di media, bukankah tidak sedikit dari mereka harus melewati proses diklat beberapa hari dan memberi kontribusi untuk keperluan diklat itu? Berbahagialah kita yang tanpa melewati proses semacam itu sudah mampu menabur puluhan tulisan di media massa.
  3. Bisa mendapat nilai tinggi dari guru/dosen, kalau makalah kita berhasil lolos dimuat di Ini pun juga tergantung guru/dosen yang bersangkutan, memiliki kepekaan menghargai dunia literasi yang sepadan  atau tidak.
  4. Mendapatkan penghargaan dari lembaga tempat menuntut ilmu – jika lembaga yang bersangkutan sudah sampai pada tataran menghargai jerih payah inteletual civitas akademika yang selama ini mendukung kelangsungan lembaga. Mencemerlangkan nama baik lembaga.
  5. Mempererat tali silaturahmi. Letupan rasa ini membayang di benak saya ketika suatu saat ada seorang kawan yang menjaga rubrik budaya memohon penuh takzim agar saya merelakan satu-dua tulisan di medianya tanpa honorarium. Apakah kita tega menolak?! Justru yang terjadi sebaliknya. Di benak saya bergegas muncul: Rasa bangga, bisa menulis tanpa honorarium atas permintaan seorang kawan redaktur!
  6. Menambah pundi-pundi pahala bahwa berapa pun ukurannya kita telah memberikan ilmu dan manfaat bagi orang lain. Niatan mulia ini akan mendorong kita untuk senantiasa selektif menulis hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi sesama. Bukan menulis sembarangan bahkan terjatuh pada nilai destruktif.
  7. Menjadi materi antologi yang memenuhi standar. Seorang penulis, baik karya kreatif puisi, cerpen hingga karya ilmiah esai, sangat mungkin memiliki obsesi menerbitkan buku sendiri. Buku tersebut bisa merupakan naskah-naskah yang selama ini tersebar di berbagai media massa. Jika jumlah naskah yang kita targetkan masih kurang – tulisan di media mana pun, utamanya yang tanpa membawa rezeki honor–akan segera menampakkan sosok pentingnya yang selama ini tenggelam. Hitung dengan ilmu matematika sederhana. Jika buku karangan kita berisi dua puluh cerita pendek, kemudian laku delapan puluh ribu rupiah setiap bukunya – praktis satu judul cerpen telah memberi andil laku empat ribu rupiah.  Nah, jika buku kta bisa laku seratus eksemplar, tanpa kalkulator berbelit pun kita bisa menghitung nilai nominal satu cerpen yang semula terbit tanpa honorarium itu. Maka saya agak risih, dan merasa kasihan ketika serenteng puisi saya berhasil muncul di sebuah media, kemudian saya unggah di Facebook, eh! Ada komentar nyinyir dari penulis yang memberi tahu kalau menulis di media tersebut tidak mendapatkan honor. Saya membatin; apakah seorang penulis ketika menelorkan ide tulisan, selalu dibayangi hitungan jumlah honorarium? Tidak kawan, tidak. Paparan di atas barangkali dapat dijadikan cermin tegas bahwa menulis tidak melulu untuk berburu honor.
  1. Menulis tetap menjadi sarana untuk merawat otak kta agar tidak mudah tumpul. Mengasah otak pemberian Tuhan agar senantiasa terjaga manfaat baiknya. Dengan didasari niat tulus ini – mudah-mudahan semangat menulis tetap berkobar sepanjang masa.
BACA JUGA  Hilang Motivasi Membaca? Ini Cara Mengatasi “Reading Slump”

Begituah, agar genderang literasi tidak berhenti pada wilayah teori–bukti menunjukkan semangat menulis tidak boleh berhenti. Menulis dengan honorarium, apalagi meraih hadiah bergengsi – tetap menjadi impian banyak penulis. Penulis juga manusia yang butuh makan, minum, sandang papan layak agar segerobak ide terus bergerak. Namun demikian, agar kita tidak terjebak pada stigma penulis mata duitan–ada baiknya kita juga tergerak menginfakkan tulisan kita untuk kepentingan banyak orang.

Saya yakin, kesadaran semacam ini akan menumbuhkan rezeki di banyak hal. Kita tidak bisa mengelak bahwa rezeki sering datang dari arah yang tidak terduga. Rasannya rezeki itu akan urung datang manakala kita berbuat pelit, termasuk belum tergiur memberikan tulisan tanpa honor kepada media massa.

Drs. Budi Wahyono
Drs. Budi Wahyono
Esais, penulis puisi, cerpen, fiksi bahasa Jawa di media massa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru