26.3 C
Jakarta

Menuju Substansi Agama

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenuju Substansi Agama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul Buku: Agama: Transformasi dari Ritus Ke Substansi, Penerbit: Yayasan Sanggar Inovasi Desa, Editor: Irfan Afifi, Penyelia Aksara: Chusna Rizqati, Cetakan:  Pertama,  Agustus 2020, Ukuran Buku: 13  x 19 cm, Tebal Buku:  xxxiv + 124 halaman.

Buku ini merupakan hasil antologi sumbang-gagasan tulisan para narasumber pada acara webinar seri 9 Kongres Kebudayaan Desa 2020, hari kelima (dari rangkaian webinar seri 1 hingga 18, antara tanggal 1-10 Juli ) pada Senin, 6 Juli 2020.

Dewan redaksi buku sengaja memberi penekanan pada salah satu tulisan narasumber Hilman Latief dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dengan judul Dari Ritus ke Substansi: Transformasi Peran Agama dalam Mengawal Tatanan Indonesia Baru (Pengalaman pergerakan Muhammadiyah) sebagaimana dituliskan dari halaman 40- 49 buku ini.

Penerjemahan substansi Islam dapat kita lakukan dengan menghadapkannya pada kondisi kemiskinan saat ini. Dalam Muhammadiyah sudah ada beberapa upaya yang coba untuk melakukan kontekstualisasi tersebut.

Engkus Ruswana dari Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI), menambahkan. Menurutnya, kegiatan-kegiatan keagamaan harus mampu mengimplementasikan atau mewujudkan nilai-nilai luhurnya (substansinya) dalam kehidupan yang nyata. Sesuai tugas mulia keagamaan untuk menyejahterakan alam semesta, alias rahmatan lil ‘alamin.

Atau dalam kalangan penghayat kepercayaan di Jawa terkenal dengan istilah Memayu Hayuning Bawana atau dalam bahasa Sunda Kuna istilahnya Ngertakeun Bumi Lmaba. Jelas di sini terkandung muatan dan tugas  untuk menjaga, memelihara serta melestarikan alam demi untuk kesejahteraan pengisisi alam; manusia, hewan, dan tetumbuhan di samping untuk keseimbangan alam itu sendiri [hlm. 15-16]

Menurut Kiai M. Mustafid dari Universitas Nahdhatul Ulama, bahwa dalam gempuran pandemi, fikih ibadah dan sosial akan berubah. Satu kaidah dasar dalam fikih ibadah al hukmu yaduuru ma’a illatihi artinya hukum sesuai dengan illatnya (sebab hukum). Sebab hukum yang termaksud adalah sumber tertulis atau tidak tertulis. Seperti kita ketahui, pandemi hari ini mengubah banyak sekali hukum tidak tertulis. Oleh karenanya, perubahan hukum adalah keniscayaan [hlm. 37].

BACA JUGA  Keterlibatan Perempuan dalam Kejahatan Terorisme

Agama dan Kemanusiaan

Muhammadiyah secara kongkret mengesahkan fikih kemanusiaan, fikih kebencanaan dan fikih air [hlm. 47]. Sementara Sabrang Damar Panuluh dari Maiyah, mengangkat tulisan replikasi untuk ketahanan pangan melalui pelajaran dari alam dengan mencontohkan perilaku lebah yang menyerbuki bunga. Satu bunga terserbuki oleh paling tidak sepuluh lebah.

Nah, ini yang bisa kita namakan replikasi, sepuluh lebah akan melakukan hal yang sama. Demikian juga ketika membangun desa, ketika salah satu desa sedang menguatkan ketahanan pangannya maka desa-desa lain harus mereplikasi dengan pola-pola unik dari tempatnya masing-masing. Karena inilah yang akan menjadi sumber resiliensi [hlm. 65].

Kelebihan Buku

Buku ini memberikan pengetahuan baru tentang agama, bahwa dalam kondisi pandemi Covid-19 (dharurat) sebagai umat beragama harus berpikir cerdas kritis dengan  berprinsip adl-dlarura yuzalu, yakni yang berbahaya mesti kita hindari atau kita hilangkan (“Pandemi dan Desa Sebagai Solusi”, Hilmy Muhammad, hlm. 2).

Buku ini mencoba memberikan solusi alternatif bagaimana cara beragama yang pas atau  sesuai bagi warga desa di era dan  pasca pandemik Covid-19. Dengan begitu, agama tetap relevan sebagai pedoman moral dan orientasi makna (substansi) bagi pemeluknya. Sehingga mereka pun dapat berkontribusi dan memainkan peran sentral di tengah pusaran zaman yang sering terlihat membingungkan. Terlebih di tengah pagebluk Covid-19.

Kekurangan Buku

  1. Ada penggunaan beberapa kosa kata atau diksi yang terlalu tinggi sehingga mungkin tidak atau kurang dapat masyarakat mengerti pada umumnya, lebih khusus lagi apabila  segmentasi pembacanya adalah warga desa atau warga kampung.
  2. Sistematika buku tidak terurutkan berdasarkan urutan pembukaan, isi, dan penutup, juga tidak ada bab per babnya.
  3. Ukuran font huruf terlalu kecil.
Junaedi S.E
Junaedi S.E
Pegiat Desa Budaya Bumi Panggung, Kalurahan Panggungharjo Kapanewon Sewon Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru