32.9 C
Jakarta

Habib Bahar Pemantik Kekisruhan Umat Islam?

Artikel Trending

Milenial IslamHabib Bahar Pemantik Kekisruhan Umat Islam?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam sejarah, saat Islam berjaya, Eropa masih berselimut kegelapan. Tidak ada peradaban, tidak ada pengembangan keilmuan dan riset. Otoritas gereja masih mendominasi sosial-politik. Ekspansi Islam ke Andalusia, Spanyol sekarang, kemudian menjadi jembatan penghubung antara peradaban Yunani Kuno dengan Renaissance Eropa. Eropa pun bangkit, menggantikan kejayaan Islam.

Merunut fakta historis, setiap peradaban mengalami tiga fase: kelahiran, kejayaan, dan kemunduran. Siklus ini bisa berlangsung dalam waktu yang lama. Islam mendominasi peradaban dunia sekitar tujud abad. Waktu yang tidak sebentar. Eropa mendominasi peradaban dunia tujuh abad lebih. Sekarang, kita ada di masa tersebut: dominasi kejayaan Eropa.

Seakan alamiah, radikalisme keagamaan juga mengalami siklus serupa. Ia tidak stagnan, tidak statis. Iklim sosial-politik memiliki dampak signifikan terhadap gerak-gerik kaum radikal. Dalam konteks Indonesia, mereka lahir, lalu mereka maju, lalu dibungkam, dan kini akan kita saksikan Renaissance-nya. Fenomena hari-hari menjelaskan kemungkinan terburuk itu.

Adalah Bahar bin Smith, seorang orator ulung, yang orasinya membangkitkan jiwa-jiwa radikal para radikalis. Pria 34 tahun tersebut telah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Cibinong, Bogor, pada Sabtu (16/5) kemarin, setelah menjalanai setengah masa pidana. Memakai baret merah bintang lima, ia dijemput oleh Ketua PA 212, Slamet Maarif, bersama rombongan.

Awalnya, dilansir dari CNN Nasional, Bahar ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan dua remaja, Cahya bdul Jabar dan Muhammad Khoerul Auman pada Desember 2018 lalu. Ia divonis tiga tahun dan denda Rp50 juta subsider satu bulan penjara pada 9 Juli 2019. Tak juga habis masa, ia dibebaskan karena mendapat program asimilasi Peraturan Menkumham No 10 Tahun 2020.

Tidak sampai 1×24 jam dari waktu ia bebas, ia kembali berorasi, disaksikan puluhan pengikut, di suatu majelis, yang kini bertebaran di YouTube. Bahar lebih ganas dari sebelumnya, berceramah lebih agresif-provokatif dari sebelum ia dipenjara. Tampaknya, sekarang, di tengah wabah COVID-19, adalah momen yang ia dan para kaum radikal tunggu: Renaissance radikalisme.

Bahar bin Smith: Pemantik Renaissance

Saya, Bahar bin Smith, bersumpah ketika itu, di hadapan para hakim, di hadapan para jaksa, di hadapan para pengacara, di hadapan seluruh hadirin saya bersumpah. Saya, Bahar bin Ali bin Smith bersumpah, Demi Allah, selama kedua mata saya masih terbuka melihat kemungkaran… maka selama itu, tidak ada satupun yang bisa membungkam mulut saya.

Ia menambahkan, “Oleh karenanya, apa yang saya sampaikan pada saat ini, saya tidak takut besok pagi ditangkap polisi dipenjara lagi… Sore ini saya keluar, besok pagi saya ditangkap lagi, demi berjuang untuk rakyat, berjuang untuk Indonesia, berjuang untuk rakyat susah di-lockdown  di rumahnya sendiri. Saya rela, saya ikhlas, besok dipenjara lagi.

Petikan orasi tersebut jelas provokatif dan arogan. Pertama, Bahar tidak masuk penjara karena kezaliman pemerintah, melainkan karena kebarbarannya sendiri melakukan penganiayaan. Kedua, ia merasa hebat karena bebas, lalu berlagak menjadi pahlawan untuk membela rakyat di tengah COVID-19. Padahal, ia bebas juga lantaran dapat berkah virus. Andai tidak, ia masih mendekam.

BACA JUGA  Kelucuan Pengedar Khilafah dalam Menanggapi Perbedaan Awal Bulan Puasa

Ketiga, ada semacam penggiringan opini publik, bahwa pemerintah hari ini, memang hanya berjuang untuk perutnya sendiri dengan mengorbankan rakyat. Seberapa pun amburadulnya kebijakan pemerintah saat ini, yang faktanya memang tidak konsisten, harus ada apresiasi. Mengabaikan kinerja mereka secara keseluruhan, memburukkannya keseluruhan, tidak lain adalah arogansi.

Kendati demikian, itulah Bahar bin Smith, yang akan memantik Renaissance radikalisme di negeri ini. Ia mewarisi bakat orasi Rizieq Syihab. Di tangannya, mimpi NKRI Bersyariah akan ditegakkan, akan selalu disuaraksan dengan lantang. Selama ini, para jemaah FPI sudah tidak bersuara, ibarat ada di masa kegelapan. Pasca Bahar bebas, jelas dan mutlak, Renaissance di depan mata.

Pergerakan Bahar dan FPI tidak seradikal pergerakan Ismail Yusanto dan HTI-nya, yang secara terang-terangan ingin menegakkan khilafah. Sejauh tidak beragenda meremukkan negeri, aspirasi apapun merupakan konsekuensi logis negara demokrasi. Tetapi, pemerintah pasti menganggap pergerakan Bahar berbahaya. Di tengah kebijakan semrawutnya, hari ini pemerintah pasti sedang dilema.

Sebuah Dilema

Asimilasi para tahanan merupakan kebijakan Menkumham Yasonna Laoly, menghadapi COVID-19. Kebijakan tersebut sempat diprotes, lantaran dicurigai ada jabat tangan antara dirinya dengan para bedebah koruptor kelas kakap. Menko Polhukam Mahfud MD kemudian mengklarifikasi, bahwa para tahanan yang dibebaskan bukan koruptor, melainkan tahanan umum.

COVID-19 memang menciptakan kesemrawutan kebijakan pemerintah, kemerosotan ekonomi, tetapi sekaligus menyemai keutungan bagi sementara pihak. Pada tulisan yang lalu, sudah diulas, bagaimana para dedengkot khilafah memanfaatkan momen ini untuk melakukan indoktrinasi secara masif. Kajian-diskusi daring digelar. Ismail Yusanto cs memenuhi beranda berbagai media sosial.

Apa yang dialami negeri hari ini: ekonomi merosot, rakyat kecil sengsara, dan narasi radikal melonjak tajam, bisa jadi adalah sesuatu yang amat dilematis bagi pemerintah. Tanpa kebijakan yang tepat, tanpa urunan tangan berbagai pihak, ini akan jadi polemik yang menyengsarakan. Siapa yang sanggup membayangkan, radikalisme dan sekawanannya menguasai medan pertempuran?

Pertempuran ideologi, tentunya. Di era Renaissance, segala kemungkinan terjadi. Paling parahnya adalah benar-benar ditegakkannya khilafah. Menuju cita itu mungkin butuh waktu yang lama. Tetapi tidak ada yang bisa menyangkal, kebangkitan kembali radikalisme setelah sebelumnya dibungkam pasti memiliki tingkat riskan yang tidak biasa, jauh melebihi era sebelumnya.

Kebangkitan kembali radikalisme (Renaissance of radicalism) bukan wacana remah-temeh yang bisa diabaikan begitu saja, baik oleh rakyat maupun pemerintah. Sudah lama cita-cita meng-Islam-kan Indonesia dirajut, bahkan setua usia kemerdekaan. Tinggal menunggu momen. Cara bernegara, cara berislam kita, semakin hari bertambah religius-centris, sayangnya berorientasi negatif.

Habib Bahar bin Smith adalah pemantik awal, setelah Habib Rizieq dibungkam. Radikalisme di negeri ini bisa jadi memuncak hingga titik paling berbahaya. Renaissance of Radicalism sudah di depan mata. Negeri ini akan menyaksikan bersama-sama, atau kita akan segera menumpasnya?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru