30.1 C
Jakarta

Menuju Islam Moderat

Artikel Trending

Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“Kalau tidak moderat, bukan Islam.” Demikian sentilan Musthafa Bisri alias Gus Mus pada talk show Mata Najwa. Kalimat ini diramu dari kandungan ayat Al-Qur’an: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah/2: 143).

Ayat tersebut seakan-akan menyebutkan bahwa generasi yang diharapkan Islam adalah generasi yang moderat, karena generasi ini dinilai sebagai generasi terbaik, dapat menengah-nengahi antar dua sisi yang sama-sama tercela: “kiri” dan “kanan”, literal dan liberal. Sebut saja, dermawan sebagai sifat yang baik karena berdiri di tengah-tengah dua sifat yang tercela, yaitu boros dan pelit.

Secara aplikatif dua sisi yang tercela tersebut seringkali mengatasnamakan Islam guna mencari zona aman. Padahal, Islam tidak menghendaki demikian, kerena sikapnya tidak islami. Dari saking egoisnya, dua sisi ini mengklaim bahwa diri mereka sendiri adalah generasi paling moderat, sementara yang lain adalah kafir.

Sayangnya, kelompok ekstrem mengukur kemoderatan menggunakan ukurannya sendiri. Hal ini tidak dapat diterima, karena tidak balance, tidak fair, bahkan tidak objektifSeharusnya, untuk mengukur kemoderatan adalah menggunakan Al-Qur’an sebagai kitab pedoman yang memberikan petunjuk (al-Baqarah/2: 2). Al-Qur’an dipahami secara komprehensif tanpa melupakan misi Islam yang menghendaki kasih sayang dan kelemahlembutan, rahmatan lil alamin (al-Anbiya’/21: 107). Al-Qur’an tidak mengajarkan perbuatan tercela seperti berlebihan (ghuluw) dan keacuhan (taqshir), melainkan menyarankan hendaknya berlaku baik (al-Baqarah/2: 177).

Ketercelaan sifat berlebihan disinggung pula dalam hadis Nabi Muhammad saw.: Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama. Sesungguhnya sikap berlebihan telah membinasakan umat sebelum kalian. (HR. Ahmad).

Bersikaplah sewajarnya! Mungkin ini kalimat yang tepat untuk berdiri di tengah-tengah dua sisi negatif yang melampaui batas tersebut. Larangan melampaui batas disebutkan dalam Al-Qur’an: Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. (an-Nisa’/4: 171).

Berlebihan biasanya diekspresikan dalam beberapa sikap. Menurut Yusuf al-Qardhawi—seperti yang terekam dalam Damai Bersama Al-Qur’an—tipe manusia yang berlebihan cenderung bersikap (a) fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda; (b) pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandangan tertentu yang biasanya sangat ketat dan keras; (c) negative thinking terhadap orang lain karena menganggap dirinya sendiri yang paling benar; dan (d) menghalalkan darah orang yang tidak sepaham dengannya.

BACA JUGA  Kenapa Kita Harus Pilih Anies Sebagai Presiden di Indonesia?

Fanatisme adalah paham yang tercela. Islam tidak menghendaki fanatisme. Karena, Islam sangat terbuka terhadap perbedaan yang terbentang di alam semesta. Nabi saw. menyebutkan: Perbedaan (yang terjadi pada) umatku adalah rahmat. Hidup tanpa perbedaan akan terkesan menoton, tidak berirama, seperti malam tanpa siang, kanan tanpa kiri, bahkan pria tanpa wanita. Pada hakikatnya, hidup ini berkembang karena adanya perbedaan.

Membatasi diri dari perbedaan secara tidak langsung membatasi kebenaran. Kebenaran selain Tuhan tidak absolut, melainkan relatif. Kebenaran itu hanya sikap subjektivitas masing-masing manusia. Bisa jadi yang menurut kita benar, di mata orang lain tidak demikian. Seharusnya, dalam menyikapi kebenaran, hendaknya bersikap terbuka, tidak menutup diri sehingga tidak mudah menyalahkan perbedaan.

Tertutup dari perbedaan akan mengantarkan seseorang bersikap egois sehingga cenderung memaksakan kehendak diri sendiri. Islam tidak menghendaki sikap seperti ini. Disebutkan dalam al-Baqarah/2: 256, yang berbunyi: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Paksaan dalam beragama memang tidak dikehendaki oleh Allah swt. karena keimanan itu digapai hanya dengan pilihan, bukan pemaksaan.

Orang yang tertutup dari perbedaan biasanya mudah bersikap ekstrem: menghalalkan darah saudaranya sendiri. Padahal, ikatan persaudaraan tidak cukup dibatasi pada persaudaraan antar sesama agama, melainkan mencakup antar agama. Kendati agamanya berbeda, mereka tetap manusia yang harus dijaga hak-haknya dan diperlakukan secara manusiawi. Islam menentang keras tindakan ekstrem semacam pembunuhan tanpa sebab yang jelas, seperti bom bunuh diri, terorisme, dan seterusnya.

Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Demikian al-Ma’idah/5: 32.

Thus, Islam adalah agama moderat yang terbuka terhadap perbedaan. Sebab, perbedaan itu bukan petaka, tetapi rahmat.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru