29.3 C
Jakarta

Menolak Terorisme dan Radikalisme dengan Pendekatan Sufistik

Artikel Trending

KhazanahMenolak Terorisme dan Radikalisme dengan Pendekatan Sufistik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Arah gerakan radikalisme dan terorisme sudah sangat memprihatinkan. Hampir tidak ada lagi elemen kehidupan yang tidak tersentuh gerakan ini. Di berbagai daerah, muncul berbagai kasus intoleran. Mayoritas merenggut kebebasan minoritas, sehingga konflik antara keduanya tidak bisa terelakkan. Bila ditelusuri lebih lanjut, gelombang gerakan mereka berasal dari nalar agama yang salah. Pemahaman agama secara tekstual menjadi pintu masuk bagi gerakan Islam radikal.

Parahnya, pemahaman seperti ini menjadi tren tersendiri di Indonesia. Tren seperti ini umumnya ditemukan pada abad modern. Pada abad ini, semua orang bebas mengakses informasi secara cepat. Akibatnya, muncul ulama-ulama baru di dunia maya yang kapabilitas keilmuannya masih rendah. Biasanya ulama ini belajar Islam secara instan, melalui terjemahan-terjemahan al-Qur’an kemudian mengemasnya dengan tutur bahasa yang menyenangkan.

Fenomena seperti ini akan menyediakan lahan produktif penyebaran pemikiran-pemikiran sempit diwarnai sikap intoleran. Dampaknya, masyarakat kian resah akan perbedaan. Setiap bertemu dengan hal yang berbeda inginnya menyamakannya dalam satu suara. Bukannya memahami dan menghargai perbedaan, mereka justru memaksa orang lain menyeragamkan keyakinan.

Radikalisme Berkedok Agama

Konflik antar agama tidak bisa terbantahkan lagi. Perusakan tempat ibadah, menghalangi orang lain beribadah, hingga mengancam nyawa bila tidak mau taat pada bentuk penyeragaman. Meluasnya virus ini, menjadi pertanda bahwa masyarakat kian mudah terpancing oleh isu-isu intoleran. Akibatnya bisa dilihat, banyak kelompok-kelompok agama baru bermunculan dengan mengangkat azaz kekerasan sebagai pelancar kegiatan mereka.

Sikap ini juga bisa berubah menjadi berevolusi menjadi sikap anti sistem. Menolak sistem negara untuk digantikan dengan sistem agama versi kelompok radikalis. Mereka beranggapan bahwa sistem negara haruslah berlandaskan dengan Islam, karena Islam adalah agama yang sempurna tanpa adanya kecacatan sedikitpun. Mereka berusaha menerapkan suatu sistem agama, namun lupa dengan makna penerapan sistem agama sesungguhnya.

Mereka hanya memahami ayat penerapan agama sebagai sistem secara tekstual saja tanpa diimbangi oleh ilmu-ilmu lain untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam. Bahkan jika dilihat lebih jauh lagi, ambisi mendirikan negara berdasar sistem agama hanyalah ambisi kelompok bukan kepentingan bersama. Jika sistem agama sudah diterapkan, dengan mudahnya mereka menindas mayoritas dengan hukum yang ada. Sehingga konflik dalam skala besar ataupun kecil pasti akan merata hampir di seluruh wilayah Indonesia.

BACA JUGA  Melihat Lebaran dengan Spirit Memerangi Intoleransi dan Radikalisme

Minoritas yang geram pasti akan melakukan pemberontakan. Sebaliknya mayoritas kian menindas untuk menaikkan derajat sosialnya. Keduanya memiliki kepentingan yang berbeda dan saling berseberangan. Maka, jika rencana ini benar dilanjutkan bukan tidak mungkin negara Indonesia akan diubah menjadi medan pertempuran yang dahsyat. Inilah taktik adu domba yang berusaha diterapkan kembali untuk merongrong kuatnya pertahanan Indonesia.

Mereka tahu benar, bahwa dahulu Indonesia pernah hancur oleh taktik adu domba. Maka, kini mereka berusaha menjadikan taktik itu lagi untuk menghancurkan bangsa Indonesia. Tentu, kekayaan yang tak terbatas di negeri Indonesia membuat siapapun tergoda kepadanya. Oleh karenanya, pihak-pihak yang bersifat rakus berusaha mendobrak pertahanan Indonesia melalui rakyatnya sendiri.

Sikap seperti ini tidak bisa dibiarkan, kedaulatan bangsa Indonesia haruslah benar-benar dijaga. Pemahaman secara tekstual harus diluruskan dengan mempelajari ilmu agama secara mendalam. Mendalami inti dari perintah maupun larangan yang diturunkan Tuhan, sehingga pembicaraan mengenai hukum tidak hanya berkutat kepada halal atau haram belaka namun juga memerhatikan cara dan dimana memposisikan hukum tersebut.

Pendekatan Sufistik

Dalam sejarah Islam Indonesia, walisongo telah mewariskan ilmu kebatinan yang berguna mencari kepuasan batin dari pemeluk agama itu sendiri. Saling memberi, mengasihi, dan menolong orang lain lebih memberikan kepuasan batin daripada mengejar dunia secara terus menerus. Dengan begitu, pola hidup kerukunan akan tercipta dan perdamaian akan selalu ada di semua wilayah Indonesia.

Islam Nusantara adalah Islam sufistik yang ramah terhadap keragaman dan lokalitas budaya. Cara beragama secara sufistik berguna untuk menemukan kunci terbaik dalam menyikapi perbedaan. Hal ini karena sufisme mengajarkan hakikat hidup dan cara bersosial dengan masyarakat yang berbeda. Sistem inilah yang akhirnya membuat masyarakat Indonesia jatuh hati pada Islam. Mereka mengenal Islam sebagai agama baru yang tidak secara lancang merusak tradisi yang telah dilakukan nenek moyang.

Mengembalikan agama yang berorientasi pada wujud subtansi bukan sekedar tekstualitas akan menjadi penolak gerakan-gerakan radikalisme dan terorisme. Dimensi tasawuf telah terbukti memikat hati masyarakat dan diterima dengan kerelaan penuh masyarakat Nusantara. Pokok inilah yang bisa kita munculkan sebagai benteng kokoh perlawanan terhadap tindak radikalisme dan terorisme.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru