29 C
Jakarta
Array

Menolak Kekerasan, Membumikan Perdamaian

Artikel Trending

Menolak Kekerasan, Membumikan Perdamaian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Islam adalah agama cinta dan perdamaian. Segala bentuk kekerasan sama sekali tak dikenal dalam ajaran Islam. Nabi Muhammad Saw – sebagaimana ditulis oleh Michael H. Hart dalam Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah – memiliki pengaruh yang luas karena salah satunya menjadi agen perdamaian bagi kehidupan umat manusia. Dengan demikian, beragama berarti menegakkan perdamaian kepada sesama. Komitmen keberagamaan yang harus diteguhkan ialah menghayati makna esensial yang dibawa oleh Rasulullah. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, sikap-sikap yang dipantulkan tak lain adalah kesejukan bagi sesama, kedamaian bagi seluruh umat manusia.

Di tengah situasi keberagamaan yang mencekam akhir-akhir ini, di mana agama seringkali menjadi alat pembenaran terhadap praktik kekerasan (radikalisme), tentu kita berharap ada semacam kesadaran yang kuat tentang bagaimana sesungguhnya hidup dengan tuntunan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang memiliki perhatian besar terhadap kemanusiaan. Dengan kesadaran demikian, tidak ada lagi alasan untuk mengobarkan api kebencian kepada penganut agama lain, kelompok lain, yang memiliki corak keberagamaan dan jalan iman yang berbeda. Kristen, Yahudi, Islam, dan agama-agama lainnya yang bertebaran di muka bumi sama-sama mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dan, kita harus menghormatinya sebagai bagian dari sunnatullah. Sebab, tanpa kesadaran seperti ini, kita tidak akan sanggup memaknai hakikat keberagamaan yang menyejukkan, damai, dan memiliki akar pondasi cinta kasih yang kuat sebagaimana diajarkan Rasulullah. 

Menebarkan Cinta Kasih

Keanekaragaman atau pluralitas adalah sunnatullah. Keberadaannya tidak bisa dipungkiri. Mengingkari keanekaragaman, dalam berbagai bentuknya, sama halnya dengan mengingkari eksistensi Tuhan. Para nabi diturunkan oleh Tuhan ke muka bumi untuk mengajarkan hakikat pluralitas itu sendiri. Mereka diutus oleh Tuhan untuk menebarkan cinta kasih sekaligus memberikan pencerahan kepada umat manusia agar tidak terjebak terhadap cara pandang yang kaku, bahwa perbedaan adalah bagian dari rencana besar Tuhan untuk menguji setiap umat manusia apakah mereka sanggup memaknai esensi di balik adanya perbedaan itu sendiri.Karena itu, fenomena keberagamaan yang keruh dan menyulut terjadinya konflik horisontal sepanjang sejarah umat manusia, adalah implikasi dari cara pandang yang parsial terhadap hakikat pluralitas sebagaimana yang diajarakan Tuhan kepada nabi-nabi-Nya. Agama dipahami sebagai instrumen teologis yang dalam waktu bersamaan mengakui ke-esa-an Tuhan sekaligus mengingkari sunnah-Nya. Sehingga, kelompok-kelompok agama yang berbeda dianggap sebagai the other yang pantas dimusuhi – atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi.

Mengakui ke-esa-an Tuhan dan kemahamutlakan-Nya berarti harus bersiap sedia menerima segala bentuk perbedaan yang terjadi. Perbedaan itu adalah kehendakNya. Sedangkan menolak keanekaragaman dan menginginkan keseragaman adalah bagian dari penentangan terhadap ketentuan-Nya. Pola pikir semacam ini yang masih menguat pada para penganut agama yang fanatis. Sehingga, tak pelak cara pandang semacam itu melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang parsial. Bahkan, ayat-ayat Tuhan yang bertebaran dijadikan justifikasi untuk menabalkan bahwa (hanya) keyakinan kelompoknyalah yang sah dan layak bereksistensi. Di sinilah benih-benih fanatisme muncul.

Fanatisme keberagamaan sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup umat manusia. Karena itu, ketika cara pandang keberagamaan menjelma fanatisme buta, di mana pluralisme dianggap sebagai “racun” yang dapat meredupkan ajaran Tuhan, maka pada saat itulah kekerasan atas nama agama dianggap sebagai jalan kebenaran.

Konsekuensi teologis dari cara pandang demikian, sebagaimana diungkapkan oleh Moh. Shofan (2006), ialah menganggap bahwa agamanyalah yang paling otentik berasal dari Tuhan. Sementara agama atau kelompok-kelompok yang lain dianggap sebagai sebuah kepalsuan yang dikonstruk oleh manusia.

Dalam konteks inilah kita mesti memahami bahwa pluralitas itu adalah sebuah keniscayaan. Karena itu, paham pluralisme sesungguhnya berupaya untuk memaknai dengan jernih nilai-nilai esensial di balik keanekaragaman itu sendiri. Nurcholish Madjid, salah satu tokoh pejuang Islam yang humanis di Indonesia, menyebutnya sebagai genuine engagement of diversities whitin the bonds of civility, yaitu semacam “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”.

Agama Perdamaian

Hakikat keberagamaan adalah cinta dan perdamaian. Setiap nabi yang diturunkan ke muka bumi, dengan membawa kitabnya masing-masing, adalah untuk menebarkan kesejukan yang tidak lain adalah cinta itu sendiri. Pondasi keberagamaan yang tidak dibangun di atas cinta kasih akan mengalami keretakan dan berpotensi menimbulkan klaim-klaim subyektif.

Beragama dengan cinta kasih berarti dengan sepenuh hati berkomitmen menebarkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Mengasihi berarti lebih dari sekedar peduli. Cinta kasih itu adalah hakikat keberagamaan yang di dalamnya tidak ada tendensi apa pun kecuali hanya mengabdi kepada Tuhan dengan cara memuliakan saudara-saudara sesama umat manusia, menghargainya, dan menyayanginya.

Rasulullah adalah simbol cinta dan perdamaian. Setiap orang yang mendengarkan tutur sapanya akan merasakan kesejukan dan kelembutan. Cinta yang dipancarkan benar-benar keluar dari jiwanya yang jernih, yang tidak pernah memiliki kecenderungan untuk menghakimi keyakinan kelompok atau orang lain. Cinta yang ditebarkan adalah buah dari pemaknaannya terhadap hakikat keberagamaan, bahwa adanya perbedaan hanyalah sepercik ujian apakah manusia mampu menangkap kehadiran Yang Tunggal.

Dengan demikian, di tengah meluasnya pengaruh kelompok-kelompok yang mengusung kebencian, tugas luhur kita ialah bagaimana menebarkan nilai-nilai keberagamaan yang berlandaskan pada cinta dan perdamaian. Sehingga, agama benar-benar menjadi media yang sanggup mengantarkan kita pada cakrawala kehidupan yang penuh dengan kesejukan.

*A. Yusrianto Elga, pemerhati masalah sosial-keagamaan, staf pengajar PP. Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru