29.7 C
Jakarta
Array

Menolak Islamisme: Belajar dari Sejarah Perumusan Pancasila

Artikel Trending

Menolak Islamisme: Belajar dari Sejarah Perumusan Pancasila
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hingga saat ini, masih ada dari sebagian kelompok Islam yang mempersoalkan persenyawaan antara Islam dengan Pancasila. Gagasan dari kalangan mereka yang masih mempertentangan antara gagasan keislaman dengan pancasila pada dasarnya muncul dari gagasan bahwa Islam harus menjadi dasar sebuah negara. Menurut mereka, tidak boleh ada sebuah negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam mempunyai negara yang konstitusinya tidak berdasarkan ajaran Islam.

Gagasan politik seperti itu dalam kosa kata politik kontemporer disebut sebagai Islamisme. Islamisme sendiri di Indonesia jika ditelusuri secara kesejarahan muncul pertama kali dari sebagian faksi dari organisasi Serikat Islam (SI). Organisasi SI awal mulanya didirikan oleh seorang pengusaha asal Solo bernama Hadji Samanhudi. Kemudian, SI berkembang pesat ketika dipimpin oleh guru bangsa yang bernama Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroamioto. Beliau merupakan guru ideologis Bung Karno saat di Surabaya.

Kemudian, gagasan Islamisme sendiri mulai berkembang di Indonesia ditangan sesorang yang bernama Kartosuwiryo. Ia awal mulanya merupakan salah satu faksi di dalam SI yang terpecah belah. Kemudian Kartosuwiryo membentuk organisasi Darul Islam atau populer dengan sebutan DI/TII pada zaman Sukarno. DI/TII ini kemudian melakukan pemberontakan di Jawa Barat dan kemudian berhasil ditumpas oleh Sukarno.

Setelah DI/TII dibubarkan, di masa orde baru, sisa-sisa kader-kader mereka kemudian membentuk organisasi keislaman. Dan selanjutnya mereka melakukan agenda gerakannya melalui Masjid kampus untuk merekrut kader-kader baru dari kalangan mahasiswa. Kemudian, seiring perkembangan waktu, juga dengan adanya pengaruh dari gerakan terorisme dari Timur Tengah, sisa-sisa kader mereka inilah yang pada masa reformasi ini menjadi inisiator dan sponsor gerakan terorisme di Indonesia.

Dari sejarah perkembangan gerakan Islamisme di Indonesia di atas. Kita perlu menggaris bawahi bahwa gerakan mereka dilandasi oleh gagasan bahwa haram hukumnya berdiri suatu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, mempunyai konstitusi yang tidak berdasarkan ajaran Islam. Tentunya yang dimaksud di sini adalah ajaran Islam dengan tafsir mereka sendiri.

Pada dasarnya, kalim kelompok Islamisme tentang kewajiban untuk mendirikan negara Islam, merupakan sebuah tafsir yang problematik. Tafsir yang demikian itu, sebenarnya hanya salah satu tafsir saja dalam Islam. Padahal, menurut KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa tidak ada kewajiban umat Islam untuk mendirikan negara Islam.  Yang terpenting penting, menurutnya adalah negara mengadopsi nilai-nilai Islam sebagai spiritnya. Bahkan seorang intelektual muslim Bassam Tibi (2015) dalam bukunya yang berjudul Islam dan Islamisme, secara tegas menjelaskan bahwa ideologi Islamisme adalah bukan ajaran Islam. Menurutnya, Islamisme hanya menjadikan Islam sebagai justifikasi nafsu politiknya saja.

Sebetulnya, kalau kita belajar sejarah Indonesia dengan betul-betul. Perdebatan tentang gagasan bahwa Indonesia harus berdasarkan ajaran Islam terjadi pada sidang BPUPKI pertama yang dilaksanakan pada 01 Juni 1945. Saat itu terjadi perdebatan antara wakil-wakil kelompok nasionalis dengan wakil-wakil kelompok Islam yang menghendaki Islam sebagai dasar negara.

Saat itu kelompok Islam diwakili oleh KH. A. Wahid Hasyim, KH. Masykur (dari NU), KH. A. Sanusi, KH. Abdul Halim (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, KH. Mas Mansur, dan Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), Sukiman Wirosanjoyo (PII), Abikusno Tjokrosujono (PSII) dan Hadji Agus Salim. Keinginan dari wakil kelompok Islam yang bersikeras untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia belum mendapatkan titik temu dengan wakil kelompok nasionalis pada sidang tersebut.

Karena belum ditemuinya titik temu antara dua kelompok tersebut, akhirnya ada inisiatif untuk membentuk panitia kecil atau lebih popular dengan sebutan “Panitia Sembilan” dalam BPUPKI yang diketuai oleh Sukarno. Sembilan orang tersebut meliputi Sukarno sendiri, Moh. Hatta, KH. A. Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosujono, Abdul Kahar Muzakkir, Hadji Agus Salim, Ahmad Subarjo, AA. Maramis dan Muhammad Yamin (Maarif, 2017). Pada sidang kecil tersebut, hadir juga sosok AA. Maramis yang beragama Kristen.

Pada sidang kecil tersebut, setelah terjadinya perdebatan yang alot, akhirnya tercapai sebuah kemajuan dengan disepakatinya tambahan tujuh kata pada sila pertama “ketuhanan” yaitu, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hasil keputusan itulah yang kemudian popular dengan sebutan Piagam Jakarta.

Kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamsi kemerdekaan Indonesia, dilaksanakan sidang kembali untuk memutuskan dasar negara. Setelah melewati masa kitis, perdebatan yang alot, akhirnya perwakilan kelompok Islam menyepakati untuk menghilangkan tujuh kata Piagam Jakarta pada sila pertama Pancasila. Kemudian, akhirnya tujuh kata tersebut diganti dengan menambahkan kata “yang Maha Esa” (Maarif, 2017). Dari proses perdebatan yang panjang tersebut, akhirnya disepakatinya konsensus kebangsaan, yaitu Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang merdeka, dengan sila “Ketuhanan yang Maha Esa” sebagai sila pertamanya.

Dengan adanya persetujuan antara wakil kelompok Islam dengan wakil-wakil kelompok nasionalis tersebut merupakan sebuah keputusan yang sangat brilian. Dengan dihapuskannya tujuh kata tersebut di atas, berarti bahwa konstitusi negara Indonesia memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk memilih keyakinan masing-masing, tanpa ada pemaksaan dari satu agama tertentu. Sekaligus juga perlu dipahami juga bahwa dengan disepakatinya pancasila sebagai dasar negara, berarti bahwa negara tidak memusuhi agama ataupun keyakinan.

Dengan demikian, pada dasarnya pertentangan sebagian kelompok Islam terhadap gagasan bahwa Pancasila tidak sesuai dengan ajaran Islam adalah sebuah klaim yang tidak belajar dari sejarah perdebatan wakil-wakil kelompok Islam dengan kelompok nasionalis di sidang perumusan Pancasila. Yang perlu kita perdebatkan dan kita perjuangkan saat ini adalah bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aktivitas politik kita.[]

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru