26.1 C
Jakarta
Array

Meninjau Ulang Teori Umum Islamisasi Nusantara

Artikel Trending

Meninjau Ulang Teori Umum Islamisasi Nusantara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sejarah masuknya islam di Nusantara hingga detik ini masih menjadi perdebatan. Para sejarawan, baik dari dalam maupun luar negeri, masih belum satu suara mengenai bagaimana proses dan kapan pertamakali Islamisasi itu terjadi.

Secara umum diyakini bahwa islam yang ada di Nusantara berasal dari India. Pandangan ini didasarkan pendapat orientalis Snouck Hurgronje, yang di tahun 1907, mulai menyusun teori bahwa, Islam di Indonesia berasal dari India. Ia mendasarkan pada bukti-bukti dari batu nisan abad 13 yang konon diimpor dari India. Baginya, Islam datang pertama kali dari India. Pengislaman dilakukan orang India dan bukan oleh orang Arab langsung (hlm 27).

Pendapat Snouck ini kemudian diperkuat dengan catatan Marcopolo yang memasuki Sumatera bagian utara pada tahun 1292, dan menemukan nisan orang Islam di sana. Oleh para peneliti, catatan Marcopolo dijadikan patokan kapan Islamisasi Nusantara terjadi. Bagi mereka, sebelum tahun 1292, Islam dikatakan belum masuk ke Nusantara. Kalau ada nisan orang Islam sebelum itu, menurut mereka itu hanya orang Islam yang kebetulan ada di situ. Nisan tersebut bukan menjadi bukti proses Islamisasi. Pendapat ini lalu direproduksi terus menerus hingga saat ini.

Pendapat di atas oleh Ahmad Baso dipandang bermasalah. Dalam buku terbarunya berjudul Islamisasi Nusantara: Dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo (Studi tentang Asal-Usul Intelektual Islam Nusantara) ia secara terang-terangan membantah teori islam dari India.

Bagi Baso, teori India dan catatan Marcopolo tidak objektif karena tidak memakai sumber data dari Nusantara itu sendiri, baik berupa teks atau naskah kuno yang merupakan produk otentik orang Nusantara. Para penyusun teori ini, yang hampir seluruhnya orientalis, lebih percaya pada batu nisan daripada orang Nusantara yang menulis berbagai naskah/hikayat.

Orientalis seperti Snouck, menurut Baso dipandu oleh konstruksi berpikir cara kolonial yang memandang Islam tidak mengakar dalam masyarakat, tidak murni, dan sudah banyak bau takhayul dan sinkretiknya (hlm 31). Tak heran jika ia lalu berkesimpulan bahwa Islam Nusantara berasal dari India, bukan dari Arab.

Mengapa hal ini terjadi? Menurut Baso, karena ada relasi kolonial yang membuat diskusi bergeser dari siapa saja penyebar islam kepada pergerakan benda-benda seperti batu nisan (hlm 32). Karena itulah Baso secara tegas menolak teori India dan Marcopolo sebagai patokan umum Islamisasi Nusantara.

Berangkat dari penolakan itu, di buku terbarunya, Baso berupaya menghadirkan satu babakan penting dalam sejarah islam di Indonesia di masa awal pengislaman, khususnya era awal kedatangan orang-orang Arab Quraisy di masa Kekhalifahan Usman bin Affan, hingga kemunculan Wali Songo di Jawa abad 14-15. Periode itu kini masih misteri dan gelap, atau memang sengaja “digelapkan” dan dibuat “semisteri” mungkin oleh para sejarawan (hlm.7). Buku setebal 174 halaman ini adalah ringkasan atas buku Jaringan Ulama-Wali Songo: Islam Nusantara Jilid 3 yang juga ditulis oleh Ahmad Baso.

Melalui buku ini, Baso, selain membantah teori umum mengenai Islamisasi Nusantara, ia juga berupaya menyusun teori Islamisasi Nusantara sebagai tandingan atas teori umum yang selama ini jamak diyakini. Dengan memakai filologi sebagai alat analisa, Baso meneliti teks/naskah kuno, seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Babad Cirebon, dalam usaha mencari tahu bagaimana sesungguhnya proses islamisasi Nusantara itu terjadi.

Dari penelusurannya, Baso akhirnya sampai pada satu pendapat, bahwa Islam masuk ke Nusantara bukan dari India, tapi langsung dari Arab karena dibawa oleh para wali keturunan Rasulullah. Bahkan, proses Islamisasi itu sendiri sudah terjadi sejak zaman Khalifah Usman bin Affan, dengan dibuktikan oleh laporan Cina tentang utusan Khalifah ke Istana Cina di tahun 651 M. Dalam laporan tersebut, nama raja Arab ditulis “Ta-shi”, sebutan ini merujuk ke suku dominan di Arab, Quraisy, dan orang-orang yang menggunakannya disebut “al-Qurasyi” (hlm 73-74). Orang Tashi inilah yang menjadi kunci proses penyebaran islam di Asia Tenggara.

Kedatangan orang Tashi ke Cina membuka pintu masuknya orang-orang Quraisy ke kancah perdagangan samudera. Hal ini diperkuat dengan catatan al-Mas’udi yang menyebut perairan Cina dan India sudah ramai dilayari oleh kapal-kapal umat islam di abad 8. Artinya, jalur dakwah dan jalur perdagangan umat islam saat itu sudah sampai ke daratan Cina dan India. Hal itu memudahkan proses penyebaran Islam hingga sampai ke Nusantara.

Fakta ini secara telak membantah pendapat para orientalis yang menganggap Islam baru hadir di Nusantara di abad 13. Pendapat tersebut keliru karena berdasar uraian di atas terlihat bahwa orang orang Islam sudah berlalu-lalang di kawasan Asia selatan hingga Tenggara sejak zaman Khalifah Usman bin Affan. Bahkan menurut catatan Cina yang lebih lampau, di abad 4-5 M sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab selatan (mencakup hadlramaut, Yaman, dan Oman sudah menguasai jalur perdagangan laut antara Mesir, India, dan Srilanka hingga ke Sumatera (hlm 81). Artinya, sejak dulu kawasan Asia Selatan dan Tenggara sudah berinteraksi dengan dunia Arab. Maka ketika Islam lahir, jalur perdagangan yang ada itu sekaligus menjadi jalur dakwah orang Islam.

Apa yang tertulis dalam buku ini menjadi penting sebagai sebuah tawaran alternatif atas berkembangnya teori umum mengenai Islamisasi Nusantara yang cenderung simpang siur. Buku ini juga bisa menjadi semacam gugatan atas karya para orientalis yang begitu saja menyusun teori tanpa melihat keadaan objektif sesungguhnya. Baso berhasil menyusun suatu pandangan baru mengenai bagaimana Islam masuk ke Nusantara dengan berdasar pada data-data objektif yang ada di Nusantara. Hal tersebut menjadi kelebihan yang tidak dimiliki peneliti lain yang mengkaji tema ini.

Judul               : Islamisasi Nusantara: Dari Era Khalifah Usman bin Affan hingga Wali Songo (Studi tentang Asal-Usul Intelektual Islam Nusantara)

Penulis            : Ahmad Baso

Tebal               : 174 halaman

Penerbit          : Pustaka Afid

Cetakan          : I, Desember, 2018

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru