27.1 C
Jakarta
Array

Meninggalkan Jum’at atau Dipecat

Artikel Trending

Meninggalkan Jum'at atau Dipecat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sebut saja Anto, ia adalah seorang pegawai di sebuah pusat perbelanjaan di kota besar. Sebagai pegawai, menaati dan melaksanakan aturan atau kontrak kerja merupakan sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Aktivitas pekerjaannya dalam mengais rezeki Tuhan merupakan kewajiban yang harus ia tunaikan. Sebab dia tulang punggung keluarga yang tentunya memenuhi semua kebutuhan keluarga menjadi kewajibannya

Dilema besar terjadi, begitulah kondisi Anto saat ini. Sebagai seorang muslim yang taat, ia ingin menjalankan ibadah secara maksimal dengan melaksanakan salat Jum’at. la ingin mengikuti seminar mingguan umat muslim tersebut. Di samping itu, ia takut akan kecaman Nabi bagi orang yang meninggalkan salat Jum’at tanpa ada halangan sebagai orang yang tuli dan buta dari kebenaran. Lebih dari itu, ia juga dianggap sebagai orang munafik [Sunan at-Turmudziz373zll, al-M ustadrak: 91:lll; Musnad Syaii’iy: 287:l]

Tetapi, apalah hendak dikata, sebagai pegawai, ia harus taat pada aturan perusahaan. Di hari Jumat, ia tetap harus bekerja sebagaimana biasa. Lebih parah lagi, perusahaan tempat ia bekerja melarang seluruh karyawannya melakukan shalat Jum’at demi efektivitas kelangsungan bisnis perusahaan. Jika ini tidak dipatuhi, dengan terpaksa ia harus angkat kaki dari tempat kerjanya.

Melihat kegundahan Anto di atas, bagiamana fiqih menyelesaikannya. Untuk memberikan solusi yang dimaksud, ada beberapa permasalahan yang harus dituntaskan. Dapatkah seseorang tidak mengerjakan salat Jum’at demi pekerjaan yang ia geluti? Lantas, Bagaimana dengan status penghasilan (income) yang ia peroleh dari pekerjaan yang membuatnya tidak menunaikan salat Jumat? Untuk mengawali, simak firman Allah berikut:

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui [Q.S. Al-Jumu’ah: 9]

Ayat ini menegaskan kewajiban melaksanakan salat Jum’at Demi melaksanakan salat Jum’at, seseorang dilarang melakukan jual beli, Apakah hanya jual beli? Tunggu dulu, jika ayat tersebut didekati dengan metode qiyas, tentu tidak hanya jual beli yang dilarang, tapi segel? aktivitas yang bisa melalaikan seseorang dari salat jum’at [Qawati’ al“ Adillah li al-Usul,159:lll]

Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw menyatakan:
Apabila muazin telah melantunkan adzan untuk salat jum’at, seluruh aktivitas haram dilakukan. [Jami’ al-Ahadits: 230:ll]

Melihat redaksinya, hadis tersebut berbentuk umum (‘am). Sebab kata ‘amal berbentuk mufrad (tunggal) dan al-nya menunjuk berbagai jenis aktivitas (al-jinsiyyah). Jika dikompromikan, kedua dalil di atas memberikan pengertian bahwa seluruh aktivitas keduniawian yang melalaikan seseorang dari salat Jum’at tidak boleh dilakukan [lihat: AlBahrar-Ra’iq: 198:V, Bidayatul Mujtahid: 136le, Mughni al-Muhtaj: 42:IV]

Lantas, bagaimana dengan kasus pegawai di atas? Terlebih dahulu, harus ditelusuri apakah pekerjaan itu termasuk salah satu alasan bagi seseorang untuk dapat meninggalkan salat Jum’at. Sebagaimana paparan di atas, bahwa bekerja (apalagi dalam konteks mencari nafkah) adalah sebuah kewajiban. Saking wajibnya, Sayyidina Umar Ra lebih mengutamakan bekerja mencari rezeki Allah daripada berjihad di jalanNya. Ini menunjukkan bahwa dengan bekerja, seseorang akan mencapai derajat tertinggi di hadapan Allah Swt. [al-Mabsut: 34-85).

Namun demikian, bukan lantas bekerja dapat semerta-merta menjadi alasan independen untuk meninggalkan kewajiban ibadah. Bahkan kalau mengikuti alur pikir ayat di atas, seluruh pekerjaan harus distop demi melaksanakan salat Jum’at. Sedangkan dalam pandangan ar-Razi, meninggalkan aktivitas pekerjaan demi melaksanakan salat Jum’at berarti beralih dari sesuatu yang profan (rendah) menuju sesuatu yang sakral (agung). Tentu hal ini merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. [Tafsir ar-Razi: 351:XV]

Allah baru memperkenankan hamba-Nya untuk kembali bekerja setelah salat Jum’at di tunaikan. Dalam firman-Nya:

Apabila telah di tunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan seringlah kalian mengingat Allah supaya kamu beruntung. [QS. AlJumu’ ah: 10]

Namun, apakah tidak ada keringanan sama sekali? Islam sebagai agama yang toleran, melalui lisan para cendekianya memberikan jalur kelenturan dalam melaksanakan syariat. Menurut kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah, bekerja atau mencari penghidupan termasuk udzur untuk meninggalkan salat Jum’at Jadi seseorang dapat meninggalkan salat Jum’at demi pekerjaan yang digeluti. Apalagi kalau khawatir akan dipecat jika tidak mengikuti aturan atasannya. Bahkan, kalangan Hanabilah menganggap bahwa bekerja merupakan udzur secara mutlak. Sementara kalangan Syafi’iyah hanya menganggap udzur apabila hasil pekerjaan itu dibutuhkan sekarang juga atau dengan segera [al-insaf : 347: lll, Nihayat al-Muhtaj: 477:V, Hawasy as-Syarwani: 413 : ll]

Lebih rinci, menurut kalangan Hanabilah, ada tiga macam kekhawatiran yang membolehkan seseorang tidak melaksanakan salat Jum’at, pertama, khawatir terhadap dirinya sendiri. Misalnya, pada saat hujan deras, ia takut tersambar petir atau takut kena demam tinggi. Kedua, khawatir terhadap keluarganya. Misalkan, menjaga ayahnya yang sakit parah di saat keadaan rumah sepi. Ketiga, khawatir terhadap hartanya. Misalnya, khawatir rumahnya kemalingan saat ditinggal salat Jum’at. [Mausu’ah Fiqhiyyah: 186, Syarh al-Kabir li lbni Qudamah: 83:II]

Lantas, bagaimana dengan status penghasilannya? Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa tidak hanya jual beli yang menjadi aksentuasi (titik tekan) larangan pada ayat Jum’at di atas. melainkan juga menyentuh pada seluruh aktivitas yang dapat melalaikan seseorang dari salat Jum’at. Dan larangan ini tertentu kepada orang yang wajib melaksanakan salat Jum’at.

Menurut kalangan Hanafiyah, larangan yang dimaksud adalah makruh tahrim. Hukum Makruh merupakan batas minimal dari sebuah larangan. Mengapa makruh? Sebab yang dilarang sesungguhnya bukan jual beli atau aktivitas itu sendiri, melainkan sesuatu di luar aktivitas tersebut, yaitu karena ia dapat melalaikan seseorang untuk salat Jum’at jadi, larangan yang menunjuk pada kemakruhan itu menjurus pada sesuatu yang aksidental, bukan pada substansi sesuatu yang dilarang. [Bada’i as-Sana’i’: 62:Ill] ‘ Oleh karena itu. meskipun Makruh melakukan jual beli, atau aktifitas lain yang menyibukkan seseorang hingga menggagalkan salal jum’at adalah sah dilakukan. [Hidayatul Mujtahid: 136: ll, Duraral-Hukkarri Syarh Gurami-Ahkam: 249:Vl]

Menurut kalangan Syafi’iyah, larangan melakukan jual beli saat adzan Jum’at telah berkumandang itu adalah haram. Namun demikian, transaksi tetap sah dilakukan. [Raud at-Talibin: 163: I , Fiqhu lslamiy wa Adillatuh: 188:V]

Dari sini, dapat dijawab bahwa penghasilan yang didapat dari pekeljaan yang sampai meninggalkan salat Jum’at adalah halal, melihat secara substansial, aktivitas atau transaksi yang dilakukan adalah sah.

Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri, masih ada pendapat ulama yang mengatakan ketidakabsahan jual beli saat salat Jum’at dilaksanakan, yakni dari kalangan Hanabilah. Menurut pendapat yang masyhur di kalangan Malikiyah, jual beli pada saat tersebut harus digagalkan [Fiqhu Islamy wa Adillatuh: 188:V]

Sebelum diakhiri, ada baiknya kita renungkan firman Allah berikut:

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diagungkan dan disebutkan nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang… [QS. An-Nur: 36-37]

Pekerjaan duniawi seseorang jangan sampai melalaikan dirinya untuk mengingat atau beribadah kepada Allah. Karena walau bagaimanapun, toh Allah pula yang akan memberikan rezeki. Terlalu terobsesi dengan kepuasan duniawi seringkali membuat orang lupa siapa pemberi nikmat dan rezekinya. Maka dari itu, Nabi menganjurkan bagi orang yang meninggalkan salat Jum’at tanpa ada udzur agar bersedekah [al-Mustadrak, 43:lll]

Sumber: Fiqih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru