31.2 C
Jakarta

Meninggalkan Habib Radikal Menuju Habib Moderat

Artikel Trending

Milenial IslamMeninggalkan Habib Radikal Menuju Habib Moderat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setidaknya satu dekade terakhir, polemik-polemik di Indonesia rata-rata adalah tentang keagamaan. Terutama, agama Islam. Banyak persoalan terjadi, dan kesaksian kita berjibun tentang umat Islam yang bertengkar sesama, saling benci sesama, saling fitnah sesama, sambil saling klaim tentang siapa yang paling Islami. Ironi ini jelas memalukan, karena mencederai sakralitas agama itu sendiri.

Setengah dekade yang lalu, juga bisa sejak sebelumnya, perpolitikan tanah air keruh sekali, atau dituduh demikian. Kemudian muncul gerakan dakwah yang hyper-religius, gaya dakwah yang membuncah dengan hasrat memusuhi ‘kekafiran’. Term ini memang subjektif, jika mau jujur. Masalahnya, seorang habib mengaktori dirinya. Di situlah, ‘habaib’ familiar di negeri ini.

Fenomena tersebut mencapai puncak ketika Pilgub Jakarta memenangkan pertarungan politik: Anies Baswedan menang dan jadi gubernur, sementara Ahok kalah dan dipenjara. Narasi ‘kemenangan umat Islam’ bergema di mana-mana. Habib dengan gaya dakwah orasi semakin memperluas panggung. Kalangan Islamis di negeri ini pun bermimpi, Islam di atas segalanya.

Waktu bergulir. Ada pergeseran makna antara ‘ulama’ dan ‘habaib’. Ada yang merasa lebih tinggi kasta ketimbang para kiai-kiai sepuh lokal. Jumlah mereka menjamur, dan suasana dakwah Islam di negeri ini oleh sementara kalangan—dan saya sebenarnya tidak setuju—dianggap ‘bergaris keras’. Satu dibungkam, aktor lainnya lahir. Orasi, adalah gaya dakwahnya.

Dari situ juga istilah ‘kriminalisasi ulama’ muncul. Secara hierarkis, ada narasi bahwa habib ada di bagian atas, dan tidak butuh waktu lama memunculkan ulama-ulama tak berkapasitas keilmuan apa pun, kecuali berdakwah dengan teriak-teriak. Lalu ada semacam anggapan, menjadi habib harus melawan pemerintah, dan yang berkoalisi maka status kehabibannya boleh dihina.

Kebobrokan tatanan sosio-Islam ini menjadi momok yang mengkhawatirkan hal-ihwal kehidupan bangsa. Singgungan-ketersinggungan marak terjadi, dan saling tuduh tentang siapa yang memusuhi Islam. Pemerintah juga bersikap tidak dewasa dan plin-plan. Publik menjadi amburadul: defisit ekonomi, surplus fanatisme dan defisit akal dan nurani kasih-sayang. Habib dan ulama dibenturkan, dan masyarakat juga diadu domba dengan mereka.

Habib Sang Dzurriyyah Nabi

Nabi Muhammad Saw bersabda: “Jikalau saja Fatimah mencuri, maka aku sendiri yang hendak memotong tangannya.” Riwayat tersebut menjelaskan kepada segenap umatnya, bahwa nasab keturunan tidak pernah melampaui kebenaran. Menegur yang salah adalah wajib, siapa pun pelakunya. Meski kata “Jikalau” di situ menunjukkan, bahwa Fatimah tidak akan pernah mencuri.

Fatimah r.a adalah simbol bahwa dalam menjalankan kebenaran, pengecualian adalah sesuatu yang tidak boleh berlaku. Bukan karena putri Nabi, hukum potong tangan pencurian jadi batal. Fatimah adalah dzurriyyah Nabi, keturunannya kelak disebut habaib, yang terkasih. Sekarang, bagaimana misalkan ada salah satu habib yang arogan dengan status kehabibannya?

Maka jelas yang demikian kontradiktif dengan apa yang Nabi Saw sabdakan. Misalkan suatu kebijakan dibuat, maka ia berlaku untuk seluruh pihak. Tidak ada yang berhak untuk melawan, karena merasa benar sendiri, misalnya. Tugas seorang habib, dzurriyyah Rasul, adalah menebarkan kebaikan, kesejukan, dan memberi teladan baik kepada masyarakat.

Beberapa hari yang lalu, beredar video seorang habib yang cekcok dengan petugas Satpol PP. Usut punya usut, persoalannya adalah: sang petugas hendak menilang habib yang dianggap melanggar peraturan PSBB, di tengah pandemi COVID-19. Sang habib melakukan perlawanan, dan terjadilah cekcok tersebut. Meski, dalam kasus tersebut, Satpol PP akhirnya sowan meminta maaf.

BACA JUGA  Menciptakan Optimisme Politik, Memperbaiki Demokrasi

Tetapi di media sosial kadung ramai pelintiran kebencian, bahwa rezim sekarang dan para petugas COVID-19 bermaksud mengkriminalisasi ulama. Misalnya seperti yang diulas di kanal YouTube ‘Official News Update’. Mereka beralasan, pemerintah tidak adil. Konser BPIP digelar, penutupan McDonals Sarinah banyak pengunjung, tapi tak ada larangan apa pun.

Di tengah kasus tersebut, ada ribuan pelintiran yang sengaja dibuat untuk memprovokasi umat dengan ulama dan habaib. Para provokator bisa berasal dari siapa pun. Yang jelas, mereka adalah dalangnya. Tetapi, ini yang perlu digarisbawahi, provokasi di media sosial dan pelintiran kebencian yang beredar tidak akan terjadi, andai sang habib tidak melakukan tindakannya.

Bukankah seorang habib, dzurriyyah Nabi, harusnya mencontohkan kesantunan?

Islam Ra(h)mah

Muhammad Quraish Shihab, pengarang Tafsir Al-Mishbah, salah satu habib yang tidak mau dipanggil habib mengatakan, bahwa habib itu berasal dari bahasa Arab ‘al-habib’ yang tidak hanya berbentuk isim maf’ul, melainkan juga isim fa’il. Sehingga, ia tidak hanya bermakna ‘yang terkasih’, tetapi juga ‘yang mengasihi’. Seorang habib harus lemah lembut, mengasihi sesama, mencontohkan kebaikan.

Profesor yang menuntaskan studinya di Al-Azhar, Mesir itu juga mengatakan bahwa seringkali habib di Indonesia disalahgunakan. Artinya, karena seseorang bernasab habib, maka orang tersebut bertindak sewenang-wenang. Fenomena ini bisa dilihat bersama di Indonesia, di mana mereka yang berstatus habib mengesankan diri sebagai yang tertinggi kasta daripada segalanya.

Ada yang absen dari status kehabiban mereka, yaitu imej Islam ra(h)mah, yakni Islam wasathiyah, moderat. Meski persentase mereka tidak banyak, tetapi suaraya menggelegar dan membuat umat bingung harus mengikuti habib yang mana. Di situlah kesadaran diri urgen dihadirkan; meninggalkan habib yang kasar dan radikal, dan manut dengan habib yang moderat, yang menyejukkan kalbu.

Meskipun demikian, yang paling utama dicatat adalah, menghindari hinaan dan celaan. Mengikuti Habib Luthfi bin Yahya, mengikuti Habib Quraish Shihab, misalnya, adalah bukti kesadaran kita mengikuti dzurriyyah Nabi yang memiliki teladan menyejukkan seperti akhlak Rasul. Tetapi haram hukumnya menghina habib, sekalipun mereka radikal dan keras sekalipun.

Selain karena menghina-mencela itu hukumnya haram, harus dihargai pula nasab mereka, yaitu keturunan Rasulullah. Itu yang harus dihormati. Tidak baik, dan tidak boleh sampai ada kata-kata mencela mereka. Mereka harus dihormati statusnya, meski tidak boleh diikuti sama sekali perangai kasarnya. Tegas dan kasar memang beda tipis, tetapi umat Islam pasti bisa menilai bobot dakwahnya.

Meninggalkan habib yang keras, kasar, bahkan arogan, adalah wajib, sewajib mengikuti habib yang berpandangan moderat dan menyejukkan. Menghina dzurriyyah Nabi itu berdosa, seberdosa meninggalkan habib yang mengajarkan kedamaian dan kera(h)mahan Islam. Bagaimana mungkin sebagian dzurriyyah Nabi ada yang dianggap arogan? Jawabannya adalah: mereka tetap manusia biasa.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru