26.1 C
Jakarta

Mengukir Peradaban Melalui Membaca dan Menulis

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMengukir Peradaban Melalui Membaca dan Menulis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Meminjam istilah pepatah mengatakan, jika kita ingin menjadi penulis produktif, maka kita harus menjadi pembaca yang aktif. Artinya, menulis tanpa membaca dapat menyulitkan kita dalam menuangkan suatu gagasan atau ide melalui tulisan. Karena itu, membaca mampu memperkaya khazanah ilmu dan memperluas kemampuan kita dalam berbahasa.

Waktu tidak akan memungkinkan kita menjadi penulis tanpa membaca terlebih dahulu. Maka dari itu, seseorang bisa menulis tanpa membaca hukumnya muhal, karenan menulis memang mengharuskan kita untuk tekun dan giat membaca agar lebih mudah mengembangkan dan menuangkan ide, sehingga dengan menulis adalah kewajiban kita sebagai umat Islam untuk mengeksplor ilmu pengetahuan kepada sesama manusia agar dapat menebar kemanfaatan (anfa’uhum lin nas).

Membaca adalah agenda akademis yang perlu kita tradisikan menjadi sebuah rutinitas yang teragendakan tersendiri, jika setiap manusia bermimpi ingin menjadi penulis, maka membaca adalah kuncinya untuk menjadi penulis. Dan penulis identik dalam suatu istilah bahasa yang indah “anda harus berkarya yang layak dibaca dunia”. Pesan tersebut sesungguhnya merupakan kunci atau langkah awal kita untuk membuka jendela dunia dan mengubah peradaban (civilization) dengan menghidupkan budaya literasi (membaca-menulis).

Dunia literasi memiliki tradisi di mana kita dituntut aktif baca-membaca dan tulis-menulis, sebagaimana Islam pun tidak mengenal batas usia dalam upaya mencari ilmu semasa hidupnya (membaca-menulis). Bahkan, dalam sebuah potongan hadits “utlubul ‘ilma walaukana bis sin”. Artinya, carilah ilmu walaupun ke negeri Cina. Dengan kita menulis maka karya dan ilmu kita ada di mana-mana.

Apalagi di era digital ini, generasi kita dituntut kiat membaca buku, karena dengan membaca telah menunjukkan kita sebagai orang yang peka akan ilmu pengetahuan, sehingga dua persoalan penting ini (membaca-menulis) dua hal yang tidak dapat kita pisahkan. Dan saling kait-mengait tanpa harus kita komparasikan sekali pun itu ada pandangan lain yang berbeda.

Kita semua memerlukan kunci atau mesin perubahan peradaban dunia, di mana hal itu dapat kita optimalisasikan dengan kesuksesan dan tingkat ketekunan kita dalam membaca maupun menulis. Maka, setidaknya kita memiliki daya kreativitas dan produktivitas, serta intensi yang tinggi untuk menjalankan kedua hal tersebut, sehingga kedepannya kita bisa berinovasi.

Selain itu, banyak dari pembaca-pembaca yang hanya sekedarnya saja, malah gagal menjadi penulis yang handal, sebab sejak awal memang tidak tampil maksimal, dan tidak konsisten (istiqamah) dalam setiap membaca, dan apalagi komitmen untuk ingin menjadi penulis kecil? Untuk itu, setiap pembaca dan penulis harus keluar dari akar masalah yang menghambat ini.

Setiap penulis yang lahir dari pembaca, tentu akan memillih waktu yang tepat tujuannya agar lebih konsisten dan berkomitmen seperti keinginan atau kemauan awal. Dengan demikian, juga harus memiliki rasa semangat yang membakar untuk menguasai bakat menjadi penulis, sehingga apabila diserta dengan kemauan kuat. Maka kita akan lebih istiqamah menularkan ide-idenya.

Pertanyaan penulis, apakah kita harus bakat dalam menekuni membaca dan menulis? Tentu hukumnya tidak wajib, sebab membaca atau pun menulis bukan persoalan kita mau atau tidak melakukan hal mudah tersebut, tetapi kenyataannya banyak yang malas dan merasa sibuk serta seolah-olah tidak memiliki waktu yang tepat. Menurut hemat penulis, bekal untuk menjadi penulis handal dan profesional harus meluangkan waktunya untuk membaca maupun menulis.

Krisis Komitmen Membaca dan Menulis

Mundurnya peradaban dunia akibat generasi kita tidak kunjung mampu konsisten dan bertahan dalam komitmen atau kemauannya untuk menjadi penulis, faktor kemalasan membaca memang menyulitkan kita gemar menulis. Dan tampak miris di tengah berkembangnya teknologi di era digital ini telah membuat masyarakat dan generasi kita lebih banyak berinteraksi dengan dunia gadget daripada membaca buku.

Di tengah era yang membuat kita semakin tidak produktif karena faktor media sosial yang tidak mampu kita kendalikan. Mulai dari Facebook, Twitter, Whats app, dan Instagram semata-mata menjadi saranan untuk membaca hal-hal atau informasi yang kurang akurat, bahkan terkadang tidak jelas, sehingga problem ini sangat menyasar generasi bangsa Indonesia yang berdampak terhadap lunturnya tradisi akademik dalam menggerakkan literasi.

Lebih ironis lagi, tingkat minat budaya membaca di Indonesia ini tampak semakin lemah. Apalagi dalam menuliskan karya sungguh sangat minim. Dalam kenyataannya, Islam yang mengajarkan umatnya untuk membaca malah seolah-olah tidak dianggap sesuatu yang paling relevan di kalangan generasi milenial saat saat ini.

Generasi kita telah abai dan lupa akan pentingnya membaca yang mampu melahirkan penulis baru, krisis kesadaran tampak kian masif meracuni keinginan dan motivasi semangat kita dalam membaca. Padahal, hal itu terkait terobosan untuk memainkan peradaban dunia melalui sebuah coretan pena.

Sebagaimana Sayyidina Ali r.a. pernah mengatakan. Bahwa, “sejarah dan ilmu pengetahuan tidak akan pernah sampai pada generasi berikutnya tanpa ada tulisan, maka ikatlah ilmu dengan tulisan”. Artinya, setiap ilmu yang kita serap dan pernah dibaca wajib kita tuangkan dalam bentuk tulisan agar dapat memberikan manfaat bagi seluruh kalangan.

Pandangan sahabat Nabi Muhammad SAW. tentang literasi telah menunjukkan simbol dari seorang ilmuan yang memiliki konsistensi, komitmen dan produktivitas yang tinggi, serta peduli cinta akan ilmu yang sebenarnya lahir dari tangan-tangan penulis. Oleh sebab itu, dibuktikan dengan pelbagai pesantren yang memiliki model pendidikan literasi dengan berupa kegiatan membaca, sehingga banyak sebagian penulis yang lahir dari jebolan-jebolan pesantren.

Selain itu, gadget memang membuat kita akan semakin peka terhadap isu aktual yang berkembang. Namun, kadangkala juga membuat malas dan kita semakin tidak produktif lagi dalam menuangkan ide-idenya yang telah tenggelam begitu saja. Kebebasan kita terhadap suatu lingkungan ternyata membuat kita bergerak tanpa batas di luar naluri kesadaran manusia.

Dari masalah yang kerap muncul ini, tingkat keinginan, dan keseriusan masyarakat, dan generasi kita pun masih terlalu lemah, dan tenggelam dengan dari kesadarannya. Bukankah semua itu tidak hanya sekedar menulis? Karena menulis merupakan kebanggaan kita dalam upaya mengalirkan llmu kita kepada publik yang ingin membacanya.

Belajarlah dari Negara Maju

Membaca adalah sarana untuk memperkaya ide atau wawasan atau juga ilmu pengetahuan. Sedangkan, menulis merupakan sarana untuk menyebarkannya, di mana tujuannya untuk menggeser perubahan suatu peradaban agar bangsa dan negara kita kembali maju, dan menemukan langkah-langkah kongkret.

Kalau kita lihat negara-negara maju seperti Eropa, dan Amerika tiap tahunnya minimal terbit 70.000 judul buku. Sedangkan, di Indonesia angka 70.000 judul buku itu kategori maksimalnya. Sungguh kita harus terinspirasi dan memotivasi kita agar lebih giat lagi belajar dari negara-negara maju melalui menulis.

Wajar saja Amerika (negara maju) lebih besar dari Indonesia (negara berkembang), karena tingkat keinginan, dan keseriusan dalam merawat tradisi membaca-menulis itu masih sangat tinggi. Di sisi lain, masyarakat, dan generasinya tampak membuktikan untuk terus belajar hingga mengembangkan ilmu pengetahuan melalui tulisan-tulisan.

Negara dapat memajukan bangsanya melalui perubahan suatu peradaban, dan peradaban tidak mudah menjadikan bangsanya menjadi negara maju tanpa seorang ilmuan yang ahli dibidang pengetahuan. Dan pengetahuan tidak akan sampai pada tangan pembacanya tanpa tulisan-tulisan yang dapat mengukir sejarah kehidupan.

Pada akhirnya, solusi yang paling efektif adalah kita harus menulis, dan menulis, karena dengan menulis kita akan mendapat kepuasan tersendiri karena telah membuat ilmu kita mengalir. Dan dengan menulis kita tidak hanya mengubah peradaban, tetapi pula dunia sekalipun. Maka dari itu, Imam Ghazali pernah mengatakan, “jiakalau kalian bukan anak raja, dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis!”.

Pandangannya sangat penting untuk kita teladani, karena dengan ucapannya memiliki makna filosofis yang tinggi. Kita pun harus mencoba memberikan motivasi hidup terkait pentingnya membudayaka budaya baca sebagai suatu keniscayaan hidup untuk mendidik generasi kita kedepannya supaya bisa mengamalkan ilmunya melalui tulisan.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru