27.8 C
Jakarta

Menguatkan Media Sosial sebagai Ladang Dakwah Kontra Narasi Radikal

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenguatkan Media Sosial sebagai Ladang Dakwah Kontra Narasi Radikal
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hidup di era teknologi yang terus berkembang demikian pesat menuntut manusia untuk selalu siap menghadapi segala tantangan. Di satu sisi manusia dituntut untuk selalu berpikir kreatif dan inovatif. Sehingga bisa menghasilkan segala sesuatu yang bisa bermanfaat bagi kemajuan. Namun di sisi lain juga harus menghadapi segala dampak yang dihasilkan dari kemajuan teknologi itu, terutama dampak buruknya. Media sosial, umpamanya.

Tanpa harus menyangkal segala dampak positif yang dihasilkan dari segala kemajuan teknologi mutakhir ini yang manfaatnya begitu terasa bagi segenap orang, tidak bisa dipungkiri kemajuan teknologi juga malah menghasilkan limbah yang mengotori segi-segi kehidupan di muka bumi. Mungkin antara sisi positif dan negatif yang dihasilkan itu, perbandingannya, dapat kita ukur sendiri dalam perspektif masing-masing.

Bertolak dari itu semua, ketika kita melihat kemajuan teknologi digital sebagai imbas kemajuan teknologi secara umum, ada banyak aspek yang akan selalu menarik untuk kita tinjau. Terutama, yang jelas, perihal sisi negatif yang dihasilkan dan sisi-sisi lain yang pasang-surut menjadi perdebatan.

Di era digital ini, manusia dengan berbagai kepentingannya dapat terjun bebas menggarap sesuatu yang mereka inginkan. Sejak adanya aplikasi toko online misalnya, kelompok pebisnis melihatnya sebagai ladang bisnis baru yang sangat menguntungkan. Tidak perlu ditanya seberapa pesat kenaikan pendapatan para pebisnis dengan munculnya toko online tersebut. Yang jelas, ia berperan mendongkrak roda perekonomian dalam kehidupan masyarakat.

Termasuk bagi para pendakwah atau agamawan. Kemajuan teknologi digital dipandang sebagai ladang baru yang sangat efektif dalam menyampaikan syiar-syiar agama. Bermunculannya berbagai tokoh agama yang mewarnai dunia dakwah digital saat ini adalah bukti betapa media sosial memang dianggap sebagai jalan dakwah baru yang mempunyai keunggulan lebih dan bisa menjangkau semua kalangan.

Positif dan Negatif Media

Sebelum media sosial ramai digunakan oleh sebagian besar orang, dalam dunia pertelevisian sudah mucul banyak stasiun televisi Islam yang hanya khusus menayangkan konten-konten keagamaan. Ceramah atau kajian agama, tartil, dan lain semacamnya. Namun, dalam kebanyakan ceramahnya, kita temukan ada corak yang bukan merupakan corak khas keislaman di Indonesia, yang kemudian kita sebut saja dengan istilah lama dan sebagian besar orang masih menggunakannya: Islam kanan.

Kelompok semacam itu getol sekali megampanyekan purifikasi Islam, dengan jargon kembali kepada Alquran dan hadis. Dalam setiap ceramah atau kajian-kajian para ustaz mereka selalu menyinggung perkara-perkara amaliyah yang menjadi kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Bagi mereka semua itu menyimpang dari ajaran Islam.

Namun di masa-masa itu suara-suara mereka masih belum terlalu menyembul ke permukaan. Sebagian masyarakat pun tak terlalu meresponsnya sebagai hal yang dianggap berbahaya.

Baru ketika ramai-ramainya media sosial, mereka muncul ke permukaan dengan begitu gesit. Dalam setiap ceramah-ceramahnya, mereka berani secara terang-terangan menyalahkan yang tidak sepaham bahkan berujung pada pengafiran. Sontak ini menjadikan kelompok lain yang mereka singgung menjadi refleks. Yang paling getol menanggapi ini adalah terutama NU. Karena meskipun tidak menyebut kelompok, secara langsung mereka tertuju pada kelompok ini yang notabene mempunyai tradisi keagamaan persis sebagaimana yang sering mereka bid’ahkan.

NU getol membendung dengan dalil-dalil yang mereka pegang. Balasan yang dilakukan oleh NU bersifat apologis. Makanya sengaja tadi saya tulis membendung karena bagi saya NUNUhanya menahan serangan, tidak menyerang balik. Hal ini menjadikan NU sebagai kelompok paling reaktif dibanding yang lain. Akibatnya, seolah-olah meletuslah di media sosial perang ideologi antara  dengan kelompok Islam konservatif yang tokoh-tokohnya seperti Khalid Basalamah, Viranda Andirja, dan kawan-kawannya yang lain.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Menyelamatkan Demokrasi dari Ancaman Radikalisme

Memperkuat Strategi Dakwah di Media

Saya rasa, di awal-awal atau bahkan sebelum ramainya medsos, kelompok-kelompok Islam konservatif atau Islam transnasional sudah sadar dengan kuatnya media digital sebagai sarana dakwah paling mutakhir.

Sehingga, ketika mereka begitu mencuat ke permukaan seolah kelompok-kelompok Islam moderat seperti NU lambat dalam merespons. Saya rasa orang-orang NU kewalahan di awal meskipun pada akhirnya menjadi kuat dengan segala amunisi yang dimiliki. Terutama pada kalangan para pemudanya yang aktif dalam bermedia sosial.

Akan tetapi, dengan kuatnya para pembendung itu tidak berarti gerakan kalangan Islam konservatif bahkan radikal di medsos menjadi surut dan mati. Mereka seolah juga menjadi kuat dengan dibuktikan banyaknya para pengikut yang muncul dan tampil dengan berani membela ustaz-ustaznya.

Apa yang membuat ceramah-ceramah mereka begitu mudah diterima orang terutama kalangan muda milenial? Gampang saja. Semangat keagamaan orang-orang seperti itu yang begitu tinggi, namun di sisi lain penguasaan terhadap ilmu agama minim, merupakan salah satu penyebab kuat. Bukankah yang instan-instan untuk orang zaman sekarang lebih diminati?

Tekstualitas Paham Radikal

Di lain sisi lagi, ceramah ustaz-ustaz dari kelompok yang sudah banya disebut dari tadi, kalau kita amati sebagian malah menumbuhkan bibit-bibit intoleransi bahkan radikalisme. Seruan tentang jihad dan halalnya darah orang yang tak sepaham yang dilontarkan sebagian ustaz dalam video ceramahnya adalah bukti nyata bibit-bibit radikalisme bermunculan. Tidak perlu jauh ke situ. Munculnya fatwa-fatwa akhir-akhir ini oleh mereka tentang sesuatu yang tak penting, sebenarnya memicu munculnya aksi intoleran di tengah-tengah masyarakat.

Radikalisme dalam agama sebenarnya muncul atas kedangkalan dan ketidakmapuan memahami teks-teks agama dengan baik. Wajar juga kemudian ketika mereka disodorkan teks-teks di luar yang mereka ketahui dengan disertai argumen-argumen kuat, mereka mempertanyakan bahkan menolaknya mentah-mentah. Ini wujud fanatisme yang sulit dicari ujungnya.

Maka dari itu, sepatutnya kita sebagai orang-orang yang sadar akan bahayanya radikalisme turut andil dan berpartisipasi dalam membendungnya. Kalau tidak bisa proaktif, minimal dengan cara men-share konten-konten yang bermanfaat, yang mengarahkan kepada kehidupan beragama yang moderat. Syukur-syukur bisa turut membuat konten-konten, semisal tulisan, video, gambar, dan lain semacamnya tentang Islam yang ramah dan moderat sebagaimana karakter Islam Indonesia.

Tidak hanya itu, perkembangan dakwah di media sosial juga harus diperhatikan. Adakalanya, bisa saja, strategi yang dilakukan hari ini, jauh di kemudian hari akan jarang diminati alias tidak laku. Maka merancang strategi-strategi lain yang sekiranya membuat dakwah di medsos menjadi menarik penting dilakukan. Kita ibaratkan saja media sosial itu sebagai pasar. Kalau barang yang kita jual di situ menarik dengan menggunakan strategi marketing yang baik, otomatis akan banyak peminatnya.

Dengan berbagai inovasi yang dikembangkan dalam berdakwah di media sosial, akan semakin menunjang keberlangsungan dakwah yang baik dan bisa diterima oleh semua orang. Tentu dakwah yang tetap berpatokan pada nilai akhlak mulia. Menjunjung kesopan-santunan. Menebar kedamaian.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru