30.9 C
Jakarta

Menguak Jaringan Radikalisme Kontemporer

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenguak Jaringan Radikalisme Kontemporer
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam diskursus radikalisme dan terorisme terdapat dua macam bentuk aksi lapangannya: tunggal dan komplotan. Dalam hal ini saya ingin mengupas pola dan mekanisme radikalisme dan terorisme yang berkomplot. Mengingat pengutamaan program pencegahan daripada penindakan yang dicanangkan pemerintah dan beberapa bukti terkait dengan corak radikalisme dan terorisme kontemporer yang tak lagi lekat dengan citra agama, bahkan terkesan politis, saya kira menjadi penting untuk dikupas pola dan mekanisme mereka.

Radikalisme dan terorisme kontemporer di Indonesia, dari berbagai catatan yang ada selama ini, khususnya yang berafiliasi dengan IS (Islamic State), tak lagi memiliki karakteristik dan pola perekrutan serta aksi lapangan sebagaimana yang selama ini ditunjukkan oleh Al-Qaeda maupun JI. Di samping adanya pemilahan antara kafir harbi dan kafir dzimi yang sama-sama berhak untuk dizalimi, mereka terkesan hanya memakai agama sebagai kemasan belaka.

Sehingga, dari berbagai pelaku tindakan radikalisme yang dapat dibekuk, sangat tampak bahwa kaum radikalisme itu bukan berasal dari kalangan yang berlatarbelakang agama yang kuat. Pun, pendekatan mereka lebih menggunakan pendekatan terorisme purba, dengan merekrut para mantan “preman” dengan segala tabiat dan modus operandi khas mereka di lapangan, yang sama sekali jauh dari permasalahan ideologi sehingga tampak bahwa mereka seperti halnya para pelaku kriminal biasa.

Dengan melihat struktur organisasi IS di Marawi, setidaknya mereka memiliki dua organ utama yang saya sebut sebagai organ “wani wirang” dan organ “masturbasif.” Organ “wani wirang” biasanya terdiri dari kalangan kelas menengah ke atas atau the have. Mereka umumnya para “public figure” yang memiliki status sosial dan posisi yang strategis di masyarakat. Omanta Maute adalah salah satu buktinya dimana IS Marawi mendapatkan sokongan finansial darinya. Ia merupakan seorang senator di kotanya.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Sementara organ “masturbasif” merupakan para peracik strategi sekaligus eksekutor di lapangan. Saya sebut “masturbasif” karena organ radikalisme ini sebagian besar memang karib dengan kekerasan seperti halnya para preman dengan segala karakteristiknya: perebutan dan penguasaan wilayah, penggunaan cara-cara yang menyimpang dari hukum ataupun tata perundangan yang ada, absolutisme “kebenaran”, dan watak untuk tak mau berbagi ruang.

Secara sekilas, mereka memang tampak laiknya jaringan mafia dengan kedok agama maupun ideologi tertentu, yang seolah sangat gampang untuk ditundukkan sebagaimana jaringan preman biasa. Padahal, dalam kenyataannya, jaringan terorisme kontemporer tersebut bersifat patah tumbuh hilang berganti dengan modus operandi yang tak jauh berbeda: bersenjatakan pisau, parang, gunting, dst., serta aksi yang tampak nekat sehingga dengan secepat kilat dapat dibekuk.

Tapi mengingat banyaknya aksi yang serupa selama ini membuktikan bahwa kunci militansi mereka tak lagi terletak pada ideologi dan ideologisasi maupun kecerdikan aksi-aksi lapangannya, mereka hidup dengan cara menyusup pada gerakan ataupun organisasi tertentu dan lihai dalam menggandakan diri serta pola. Satu hal lagi, mereka sangat cakap dalam membuat kebingungan dan kekacauan informasi di masyarakat, terutama di kalangan akar rumput—dan biasanya ketika banyak orang telah bingung, tiba-tiba aksi yang terbilang radikal dan teroristik terjadi laiknya sebentuk spontanitas dan kriminalitas biasa. Padahal, sendainya diseksamai, kesan “biasa”, karena mampu menjadi sebuah “kebiasaan”, adalah sebuah “keluarbiasaan”.

Heru Harjo Hutomo
Heru Harjo Hutomo
Penulis, peneliti lepas, pemerhati radikalisme dan terorisme. Menggambar dan bermain musik. Sejak 2017 karya-karya analisisnya tentang radikalisme dan terorisme banyak dimuat di jalandamai.org dan www.www.harakatuna.com. Adapun pemikiran-pemikiran, esai-esai eksperimental dan karya-karya sastranya tentang kebudayaan, filsafat, politik, seni, dan Islam Nusantara, banyak dimuat di alif.id, islami.co, idenera.com, berdikarionline.com, idenera.com, dan jurnalfaktual.id. "Jalan Jalang Ketuhanan: Dekonstruksi Santri Brai," Kreasi Wacana, 2011, merupakan buku pertamanya tentang tema Islam Nusantara. Ia juga berkontribusi pada sebuah buku yang merupakan kumpulan refleksi tentang peristiwa bom Surabaya pada 13 Mei 2018: "Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan," idenera.com, Surabaya, 2019, "Kepercayaan dan Pandemi: Antologi Esai Penghayat Kepercayaan Menghadapi Covid-19," IRCiSoD, Yogyakarta, 2020, dan "Menolak Wabah: Suara-Suara Dari Manuskrip, Relief, Khazanah Rempah Dan Ritual Nusantara," Penerbit Ombak dan BWCF Society, Yogyakarta, 2020. Ia pun juga berkecimpung di dunia seni, beberapa sajaknya dimuat di "Mata Sajak: Antologi Puisi Pengawasan Pemilu," Bawaslu Jawa Tengah, Semarang, 2019, dan karya-karya seni rupanya dapat dilihat di alif.id dan idenera.com. Buku keduanya, "Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang," diterbitkan oleh CV. Kekata Group, Surakarta, 2020. Adapun buku ketiga dan keempatnya yang juga berisi karya-karya drawingnya, "Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok" dan "Sangkan-Paran," diterbitkan oleh Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021. Single terbarunya, "Menjejak Keprak (2021)" dan "Gelisah" dirilis dan didistribusikan oleh CV. Belantika Digital, Yogyakarta. Sedangkan single lainnya, "Sapa Sira, Sapa Ingsun (2021)," dirilis dan didistribusikan oleh Netrilis Music, Yogyakarta. Pada tahun 2020 memperoleh Adi Acarya Award 2020 di bidang literasi dan pendidikan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru