Dalam diskursus radikalisme dan terorisme terdapat dua macam bentuk aksi lapangannya: tunggal dan komplotan. Dalam hal ini saya ingin mengupas pola dan mekanisme radikalisme dan terorisme yang berkomplot. Mengingat pengutamaan program pencegahan daripada penindakan yang dicanangkan pemerintah dan beberapa bukti terkait dengan corak radikalisme dan terorisme kontemporer yang tak lagi lekat dengan citra agama, bahkan terkesan politis, saya kira menjadi penting untuk dikupas pola dan mekanisme mereka.
Radikalisme dan terorisme kontemporer di Indonesia, dari berbagai catatan yang ada selama ini, khususnya yang berafiliasi dengan IS (Islamic State), tak lagi memiliki karakteristik dan pola perekrutan serta aksi lapangan sebagaimana yang selama ini ditunjukkan oleh Al-Qaeda maupun JI. Di samping adanya pemilahan antara kafir harbi dan kafir dzimi yang sama-sama berhak untuk dizalimi, mereka terkesan hanya memakai agama sebagai kemasan belaka.
Sehingga, dari berbagai pelaku tindakan radikalisme yang dapat dibekuk, sangat tampak bahwa kaum radikalisme itu bukan berasal dari kalangan yang berlatarbelakang agama yang kuat. Pun, pendekatan mereka lebih menggunakan pendekatan terorisme purba, dengan merekrut para mantan “preman” dengan segala tabiat dan modus operandi khas mereka di lapangan, yang sama sekali jauh dari permasalahan ideologi sehingga tampak bahwa mereka seperti halnya para pelaku kriminal biasa.
Dengan melihat struktur organisasi IS di Marawi, setidaknya mereka memiliki dua organ utama yang saya sebut sebagai organ “wani wirang” dan organ “masturbasif.” Organ “wani wirang” biasanya terdiri dari kalangan kelas menengah ke atas atau the have. Mereka umumnya para “public figure” yang memiliki status sosial dan posisi yang strategis di masyarakat. Omanta Maute adalah salah satu buktinya dimana IS Marawi mendapatkan sokongan finansial darinya. Ia merupakan seorang senator di kotanya.
Sementara organ “masturbasif” merupakan para peracik strategi sekaligus eksekutor di lapangan. Saya sebut “masturbasif” karena organ radikalisme ini sebagian besar memang karib dengan kekerasan seperti halnya para preman dengan segala karakteristiknya: perebutan dan penguasaan wilayah, penggunaan cara-cara yang menyimpang dari hukum ataupun tata perundangan yang ada, absolutisme “kebenaran”, dan watak untuk tak mau berbagi ruang.
Secara sekilas, mereka memang tampak laiknya jaringan mafia dengan kedok agama maupun ideologi tertentu, yang seolah sangat gampang untuk ditundukkan sebagaimana jaringan preman biasa. Padahal, dalam kenyataannya, jaringan terorisme kontemporer tersebut bersifat patah tumbuh hilang berganti dengan modus operandi yang tak jauh berbeda: bersenjatakan pisau, parang, gunting, dst., serta aksi yang tampak nekat sehingga dengan secepat kilat dapat dibekuk.
Tapi mengingat banyaknya aksi yang serupa selama ini membuktikan bahwa kunci militansi mereka tak lagi terletak pada ideologi dan ideologisasi maupun kecerdikan aksi-aksi lapangannya, mereka hidup dengan cara menyusup pada gerakan ataupun organisasi tertentu dan lihai dalam menggandakan diri serta pola. Satu hal lagi, mereka sangat cakap dalam membuat kebingungan dan kekacauan informasi di masyarakat, terutama di kalangan akar rumput—dan biasanya ketika banyak orang telah bingung, tiba-tiba aksi yang terbilang radikal dan teroristik terjadi laiknya sebentuk spontanitas dan kriminalitas biasa. Padahal, sendainya diseksamai, kesan “biasa”, karena mampu menjadi sebuah “kebiasaan”, adalah sebuah “keluarbiasaan”.