31.8 C
Jakarta

Mengobati Hati yang Terluka (Bagian XXXIV)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMengobati Hati yang Terluka (Bagian XXXIV)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Orang Madura yang merantau ke Jakarta biasanya naik bus di Terminal Wiraraja Sumenep sampai Terminal Bungurasi Surabaya. Dari terminal menuju ke Stasiun Pasar Turi lalu menempuh perjalanan panjang selama dua belas jam ke Stasiun Pasar Senen.

Abah dan Ummi mengantar Diva di Terminal Wiraraja. Diva merantau ke Jakarta dalam rangka kuliah. Prestasi Diva sebagai juara satu Sayembara Menulis Nasional dulu mengantarkannya meraih beasiswa kuliah di kampus UIN Syarif Hidayatullah. Di antara jurusan yang tersedia dipilihlah jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IQT) pada Fakultas Ushuluddin. Tafsir memang favorit Diva, semenjak sebelum dan lebih-lebih saat belajar di pesantren. Apalagi, orangtuanya, termasuk Abah, sangat mendukung putrinya menjadi penafsir hebat seperti M. Quraish Shihab, sampai Abah mengimpikan anaknya punya karya tafsir seperti Tafsir Al-Mishbah.

Abah mengagumi pemikiran M. Quraish Shihab. Setiap kali mengajar Tafsir al-Jalalain karya al-Mahalli dan as-Suyuthi, Abah sering mengutip Tafsir Al-Mishbah. Ingin Abah berjumpa dan belajar langsung kepada Quraish Shihab, tapi seakan sulit karena tanggung jawab mengasuh pesantren yang meminta Abah lebih banyak di Madura. Saat tahu Diva dapat beasiswa belajar di Jakarta, Abah berpesan kepada Diva, “Nak, jika Diva berjumpa dengan M. Quraish Shihab, sampaikan salam takdim dan hormat Abah kepada beliau.”

Perantauan ini salah satu cara Diva melupakan masa kelam yang amat pahit. Ingin rasanya menghapus semua tanpa tersisa, tapi belum bisa. Seakan hati ini terus terpaut dengan pesantren yang beberapa hari ditinggalkan. Bahkan, bayang-bayang menara dan semburat senja masih kuat dalam ingatan. Perjalanan ini adalah perjalanan melupakan.

Saat kaki melangkah masuk pintu Terminal Wiraraja, sosok lelaki yang tak asing wajahnya berdiri mematung tanpa sepatah kata pun. Dialah Fairuz yang datang mengantarkan perjalanan Diva ke Jakarta. Ingin Fairuz mengucapkan sepatah kata, tapi di sana ada Abah dan Ummi. Diva menatap sejenak. Ummi memandang Diva aneh, tapi karena belum tahu wajah Fairuz, Ummi tanya, “Ada apa, Nak?”

BACA JUGA  Tipologi Quadripolar: Sebuah Jalan untuk Memahami Hubungan Umat Beragama

“Tidak, Ummi.” Diva mengalihkan pura-pura tidak tahu.

Seperti orang yang terlantar melihat Fairuz dengan muka kusut, sedih, dan putus pengharapan. Fairuz memotivasi dirinya sendiri dengan pesan Emma’ untuk bersabar menerima setiap kenyataan pahit, termasuk pahitnya patah hati. Diva melangkah pelan seakan kakinya terjerat cinta yang tetap terikat. Abah dan Ummi menarik tangan Diva untuk lari masuk ke dalam bus, karena bus menderu-deru berangkat. Khawatir ketinggalan bus.

Dicium tangan Abah dan Ummi. Diva digoncang dilema memilih cinta orangtua dan cinta Fairuz. Orangtua mencintainya sejak mengandung sampai tidak berujung, bahkan tidak menuntut balasan atas jasa yang telah ditorehkan. Sementara, Fairuz orang yang baru datang, tapi membawa cinta yang suci. Mencintai tanpa menyakiti. Inginya selalu membahagiakan, termasuk membahagiakan mengintip binar senja yang indah.

Dua pilihan yang berat. Tidak mau Diva memilih, namun maunya menyatukan keduanya sehingga tercipta cinta yang indah antara cinta orangtua dan cinta kekasih idaman. Tapi, caranya gimana?, desisnya.

Bus bergerak dan menghilang di belokan jalan. Biasanya Diva duduk di dekat jendela mobil. Untuk saat ini, Diva memilih duduk di tengah, karena tidak kuat melihat wajah Fairuz di balik jendela. Diva pasrah dengan keputusan terbaik Tuhan, sekalipun sama-sama tersakiti, sama-sama melupakan pada akhirnya, dan sama-sama mengenang masa indah yang sudah-sudah.

Maafkan aku, Fairuz. Perjalanan ini adalah perjalanan mengobati. Mengobati hati yang terluka. Diva membatin dalam-dalam.

Fairuz berkata dalam hatinya: Sejauh kau pergi, jika memang kita jodoh, pada akhirnya kau akan kembali.

Tiada kata yang terucap. Hanya hati yang berbicara. Malaikat menjadi saksi seberapa besar tangan Tuhan berperan di antara harapan melupakan dan mencintai. Dua hal ini memang terkesan berlawanan, tapi bila Tuhan berkehendak, maka Kun fa yakun-Nya akan membingkai indah, sehingga sulit akal merasionalkan.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru