26.1 C
Jakarta

Mengobarkan Jihad fi Sabilillah di Tengah Pandemi Covid-19

Artikel Trending

KhazanahMengobarkan Jihad fi Sabilillah di Tengah Pandemi Covid-19
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pandemi Covid-19 menuntut umat beragama berjihad. Sisi lain, salah satu ajaran Islam yang sangat agung dan ditekankan dalam kehidupan masyarakat Muslim adalah jihad. Namun, belakangan jihad dipersempit dan bahkan dipelintir oleh kalangan Muslim radikal dan ekstremis, sehingga itu hanya bermakna perang semata. Dalam praktiknya, mereka memerangi dan membunuh orang-orang (baik Muslim maupun non Muslim) yang tidak sepaham dengan kepentingan mereka.

Menurut Azyumardi Azra, gerakan Muslim radikal menggunakan tiga langkah pokok dalam menjalankan gerakannya, yaitu: pengkafiran (takfir), hijrah, dan jihad. Mereka biasanya mengafirkan mayoritas Muslim yang dianggap telah menyimpang dan kemudian melaksanakan jihad (perang) melawan mereka (lihat Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah, dan Terorisme, 2017: 368-369). Wahhabisme. Misalnya, meyakini jihad (perang) sebagai senjata untuk menyebarkan Wahhabisme dan melawan orang-orang Kristen. Bahkan, orang-orang Islam yang dianggap menyimpang, seperti kalangan Syiah.

Bahkan tahun 1746 negara Wahhabi-Saudi menyerukan jihad melawan semua orang yang dianggap kafir, murtad, musyrik. Yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman berbeda dengan tauhid Wahhabisme (Hamid Algar, Wahhabisme: Sebuah Tinjauan Kritis, 2011: 36 dan Yaroslav Trofimov, Kudeta Mekkah: Sejarah yang Tak Terkuak, 2011: 22-24). Belakangan, Islamic State in Iraq and Syria (ISIS) sebagai salah satu kelompok Muslim ekstremis yang sangat berpengaruh akhir-akhir ini membunuh setiap Muslim yang dianggap murtad karena tidak mau mengikuti ajaran Islam versi mereka.

Jihad Melawan Pandemi Covid-19

Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Hamka) memaknai jihad sebagai “bersungguh-sungguh, bekerja keras” (Tafsir al-Azhar, jilid 3: 1723). Menurut Imam ar-Râgib, jihad secara istilah adalah mengerahkan segala kemampuan dan kekuatan untuk melawan musuh. Baik itu yang tampak seperti orang kafir maupun yang tidak. Seperti halnya, setan dan hawa nafsu.

Hal ini disebutkan dalam surat al-Ḥajj (22): 78, yaitu: “dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya.” Sementara Imam ar-Jurjânî mengartikan jihad sebagai mengajak kepada agama yang benar (Islam). Sehingga dapat disimpulkan secara umum bahwa jihad adalah berjuang melawan hawa nafsu, setan, orang fasik, dan kafir (Mawsû‘ah Naḍrah an-Na‘îm, 1998, IV: 1482 dan al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah, 1989, XVI: 124).

Sementara Hamka menjelaskan bahwa al-Ḥajj (22): 78 mengajarkan agar setiap Muslim berjihad (bersungguh-sungguh dan bekerja keras) untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, melawan godaan-godaan setan dan nafsu buruk yang terus bergejolak dalam jiwa. Selain itu, setiap Muslim harus berjihad melawan kezaliman orang-orang zalim dan kekafiran orang-orang kafir (Tafsir al-Azhar, jilid 6: 4742-4743).

Menurut Imam Nawawî al-Jâwî (Kâsyifah as-Sajâ, hlm. 14-15), Imam Zamakhsyârî (hlm. 702), Imam al-Marâgî, dan ulama salaf pada umumnya (XVII: 147-148 & IV: 83), jihad melawan hawa nafsu yang selalu menggoda dalam jiwa merupakan jihad besar (al-jihâd al-akbar). Sedangkan jihad melawan musuh yang menyerang dan menegakkan agama Islam adalah jihad kecil (al-jihâd al-aṣgar).

Kenyataan ini ditegaskan langsung oleh Rasulullah saw. ketika pulang dari peperangan melawan orang-orang kafir. Beliau bersabda: “raja‘nâ min al-jihâd al-aṣgar ilâ al-jihâd al-akbar. Qîla wa mâ al-jihâd al-akbar? Qâla: mujâhadah al-‘abd hawâhu  (kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar. Sahabat bertanya: apa jihad besar itu? Rasul menjawab: jihad seseorang dalam melawan hawa nafsunya).”

Di sisi lain, Imam al-Marâgî menjelaskan bahwa jalan Allah adalah jalan kebenaran, kebaikan, dan keutamaan. Oleh karena itu, jihâd fî sabîllâh adalah semua hal yang dilakukan dalam rangka mempertahankan dan mewujudkan kebenaran, kebaikan, dan keutamaan untuk kehidupan manusia (Tafsîr al-Marâgî, 1946, VI: 109).

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Hamka. Menurutnya, semua perbuatan baik dengan tujuan baik termasuk bagian dari jalan Allah. Oleh karena itu, semua pekerjaan baik, seperti mendidik muda-mudi agar menjadi generasi baik dan tangguh, membangun gedung-gedung yang bermanfaat bagi kemaslahatan masyarakat, bertani, berniaga, menjadi pejabat pemerintah, dan lain sebagainya harus dilakukan dengan semangat jihad, yaitu berjuang dan bekerja keras dengan tujuan mendapatkan rida Allah dan dimudahkan dalam menuju-Nya (Tafsir al-Azhar, jilid 3: 1723- 1724).

Mengenal Bentuk dan Tingkatan Jihad

Ibnu Qayyim al-Jawziyyah membagi jihad menjadi empat tingkatan. Yaitu: jihâd an-nafs (memerangi hawa nafsu), jihâd asy-syaiṭân (memerangi setan), jihâd al-kuffâr (memerangi orang-orang kafir), dan jihâd al-munâfiqîn (memerangi orang-orang munafik).

Pertama, bentuk memerangi hawa nafsu adalah mempelajari ajaran-ajaran agama (Islam) dengan sungguh-sungguh, mengamalkannya, dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain. Sebab, ilmu yang tidak diamalkan menjadi tidak berguna. Selain itu, apabila Muslim tidak mengajarkan ilmunya kepada orang lain, maka dia termasuk orang menyembunyikan ilmu yang sangat dicela dalam Islam.

Kedua, bentuk memerangi setan adalah menolak perkara-perkara syubhat dan keraguan dalam iman dan menolak segala kehendak buruk dan syahwat. Kedua hal ini bisa dilawan dengan yakin dan sabar. Sabar menolak segala kehendak buruk dan syahwat dan yakin menolak perkara-perkara syubhat dan keraguan dalam iman. Oleh karena itu, tegaknya agama bisa diraih dengan dua hal ini, yaitu sabar dan yakin.

BACA JUGA  Metamorfoshow: Titik Tolak Kontra-Propaganda Khilafah

Ketiga, bentuk memerangi orang kafir dan munafik adalah dengan hati, lisan, harta, dan tangan. Namun, jihad melawan orang kafir lebih utama menggunakan tangan. Sedangkan jihad melawan orang munafik lebih utama menggunakan lisan. Adapun jihad melawan orang-orang zalim, ahli bid‘ah, dan orang-orang mungkar lebih utama menggunakan tangan kalau mampu. Namun, apabila tidak mampu menggunakan tangan, maka bisa menggunakan lisan. Kalau tidak mampu menggunakan lisan, maka bisa menggunakan hati.

Jihad melawan musuh yang tampak (seperti orang-orang kafir dan munafik) ini merupakan bagian (cabang) dari jihad melawan hawa nafsu di dalam menuju Allah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. Yaitu: “Orang yang berjihad adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya dalam rangka taat kepada Allah dan orang yang berhijrah adalah orang yang hijrah dari larangan-larangan Allah.”

Oleh karena itu, jihad melawan hawa nafsu merupakan asal (pokok) yang harus lebih didahulukan atas melawan musuh yang tampak. Sebab, orang yang tidak berjihad melawan hawa nafsunya (seperti tidak melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya) dan tidak berjuang menuju Allah tidak mungkin mampu berjihad melawan musuh yang tampak (Zâd al-Ma‘âd fî Hadyi Khair al-‘Ibâd, 2009: 331 & 333).

Selain itu, penting memerhatikan syarat jihad (perang) melawan musuh yang tampak. Menurut Yûsuf al-Qaraḍâwî, perang hanya boleh dilakukan dalam rangka menolak serangan musuh, melawan musuh yang membunuh orang-orang Islam, membebaskan orang-orang lemah yang tertindas, dan menertibkan para pemberontak yang melanggar perjanjian dan melampaui batas terhadap aturan-aturan (Kaifa Nata‘âmal ma‘a al-Qur’ân al-‘Aẓîm?, 1999: 121).

Adapun bentuk jihad sendiri, menurut Ibn Taymiyyah, adalah dengan menggunakan hati (seperti membulatkan tekad untuk berjihad), atau berdakwah tentang Islam dan ajaran-ajarannya, atau menegakkan argumentasi untuk menolak kebatilan yang sedang terjadi, atau menjelaskan kebenaran dan menghilangkan syubhat, atau dengan pemikiran dan perencanaan terhadap suatu perkara yang memberikan manfaat kepada umat Islam, atau dengan mengorbankan jiwa untuk berperang melawan musuh (al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah, 1989, XVI: 124).

Hal senada juga disampaikan oleh Imam al-Marâgî. Menurutnya, beberapa bentuk jihad adalah: pertama, berperang dalam rangka membela agama, umat Islam, dan menegakkan ajaran-ajaran agama; kedua, memerangi hawa nafsu, terutama ketika masih usia muda (darah muda). Para ulama salaf menyebutnya melawan hawa nafsu ini sebagai al-jihâd al-akbar; ketiga, berjihad dengan harta dalam rangka mewujudkan perbuatan-perbuatan baik dan manfaat untuk kemaslahatan umat dan agama; dan keempat, jihad menolak kebatilan dan membantu kebenaran (Tafsîr al-Marâgî, 1946, IV: 83).

Jihad Spiritual dan Material

Dalam kondisi sekarang ini, di mana wabah virus Corona (Pandemi Covid-19) semakin hari semakin merajalela. Maka dari itu, sepatutnya gerakan jihad spiritual dan material harus senantiasa digalakkan. Sehingga penyebaran Covid-19 bisa ditekan dan bahkan segera enyah dari bumi Nusantara.

Gerakan jihad spiritual dalam kalangan masyarakat Muslim Nusantara sendiri sudah banyak dilakukan. Seperti halnya, khataman al-Qur’an, membaca salawat, kunut nazilah, râtib al-ḥaddâd, ḥizib, amalan tertentu, dan istigasah. Begitu pula dengan gerakan jihad material, di mana beberapa ormas Islam dan tokoh-tokoh Muslim banyak terlibat langsung dalam rangka menggalang dana untuk membantu korban Covid-19. Tentu gerakan jihad spiritual dan material dalam rangka melawan Covid-19. Utamanya, menyelematkan bangsa Indonesia perlu  dilakukan masyarakat non Muslim dengan keyakinan dan cara mereka masing-masing.

Akhirnya, pemerintah yang memiliki tugas dan tanggungjawab melindungi bangsa Indonesia harus lebih tulus, serius, dan semangat lagi dalam berjihad melawan penjajahan wabah Covid-19. Yang semakin hari semakin menyengsarakan masyarakat. Jangan sampai kemuliaan jiwa bangsa Indonesia menjadi tumbal keganasan Covid-19 hanya karena ketidakberesan kebijakan dan langkah pemerintah yang masih terbentur dengan persoalan-persoalan politik.

Sebab, sudah terlalu banyak nyawa yang melayang dan sudah terlalu banyak air mata yang tumpah karena kehilangan. Sehingga hawa nafsu (kepentingan) politik tertentu harus dikesampingkan dahulu demi kemanusiaan dan keselamatan bangsa. Di sisi lain, masyarakat harus senantiasa berjihad menekan egoisme (seperti bersabar untuk tidak mudik sementara, menunda hajatan massal, dan beberapa kegiatan sosial lainnya). Dengan demikian, tetap di rumah masing-masing selama beberapa waktu yang telah ditentukan oleh pemerintah sembari menggalakkan jihad spiritual sebagai salah satu ikhtiar bangsa yang beriman kepada (Kekuatan) Tuhan Yang Maha Esa. Wa Allâh A‘lam Wa A‘lâ wa Aḥkam…

Oleh: Nasrullah Ainul Yaqin

Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Konsentrasi Kajian Maqasid dan Analisis Strategik.
Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru