29.1 C
Jakarta

Mengintip Senja Berdua (Bagian XXXVI-The End)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMengintip Senja Berdua (Bagian XXXVI-The End)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sehari di hotel banyak cerita yang terbingkai, mulai pertemuan dengan sang kakek, memimpikan sosok lelaki yang dirindukan, sampai jiwa yang digoncang badai yang maha dahsyat, badmood, dan malas gerak. Entah kenapa, sore selalu menginspirasi. Di luar jendela, banyak orang yang menghabiskan waktunya refreshing, entah jalan-jalan atau lari. Tampak raut muka mereka berbinar-binar.

Sore mengajak Diva keluar hotel. Dikenakan pakaian olahraga tanpa menanggalkan jilbab sebagai simbol santri. Kata ustadzah yang ngajar di pesantren, “Kenakan jilbab sebagai simbol kau wanita muslimah yang menjaga aurat.” Diva tidak pernah membantah pesan ustadzah, kendati pun batasan aurat diperselesihkan oleh para ulama. Ada yang mengatakan, wanita harus menutup sekujur tubuhnya. Ada juga yang menyarankan, jaga auratmu dengan mengenakan pakaian terhormat. Pendapat yang terakhir yang sering disebut pakar tafsir Nusantara M. Quraish Shihab.

Sebagian baju yang masih terlipat rapi di ransel seketika diacak. Posisi pakaian tidak kembali rapi seperti sejak mau berangkat. Di tengah mengacak pakaian, terlihat lipatan kertas. Aneh, awal kali menduga, Diva menduga kertas itu miliknya. Mencoba dirogohnya, nyatanya memang benar-benar aneh, karena Diva ingat betul ciri-ciri kertas buku sendiri.

Begitu pakaian sudah dikenakan, lipatan kertas itu disisipkan ke dalam saku celana training. Beribu tanya terbersit dalam pikir. Apakah kertas itu surat dari Nadia yang bersedih saat Diva berhenti dari pesantren? Atau surat itu dari Adel dan Hanum yang tak kalah sedihnya karena ditinggal Diva? Ah, dunia serba teka-teki. Tapi, aku tidak ingin membaca lipatan kertas itu di tengah jalan. Katanya, tidak baik. Mending saat nyampek di ujung danau Situ Gintung. Diva membatin. Membaca sembari duduk lebih berkesan daripada berjalan.

Kaki makin jauh melangkah menyusuri jalan di tepi danau. Baru kedua kali Diva menginjakkan kaki di danau ini. Pertama, beberapa tahun lalu saat berjalan berdua dengan Fairuz. Kedua, sekarang saat berjalan seorang diri.

Situ Gintung mengingatkan memori lama, saat berdua sembari memandangi dedaunan melambai-lambai seakan menyapa dan menyambut senyum bahagia dua sosok yang saling mencintai. Burung camar terbang mengepakkan sayapnya. Pedagang kaki lima berjajar di ujung danau. Kenangan ini sudah berlalu. Sekarang Diva merasakan keindahan yang sama, tetapi sendirian.

Seakan sore ini sunyi. Tak ada teman yang dapat diajak ngobrol selain hati sendiri. Ah, dunia kadang membutuhkan kita bersama, kadang menginginkan kita harus sendiri. Bersama dan sendiri kadang menjadi persoalan saat kita dihadapkan dengan pahitnya kesunyian dan kesepian.

* * *

Di tepi danau ada rakitan batu. Biasanya di tempat itulah pengunjung duduk sembari bersenda gurau satu sama lain, mencicipi gorengan, dan mengurut ponsel. Diva duduk seorang diri, tanpa seorang pun yang menemani. Dirogohlan lipatan kertas dan dibacanya.

Teruntuk Ukhti Diva

Apa kabar ukhti sekarang? Semoga selalu dalam lindungan-Nya!

Surat ini sengaja aku tulis di atas kertas setelah beberapa hari membaca surat yang ukhti kirim lewat email. Seakan tidak percaya ukhti menulis surat yang meresahkan hati yang berbulan-bulan hidup dalam pengharapan. Semuanya tiba-tiba rapuh saat pengharapan itu tiada.

Aku belum pernah selemah ini. Kemiskinan yang menjerat Eppa’ dan Emma’ tetap membuatku kuat. Tapi, cinta? Cinta telah melemahkanku. Seakan hidup tanpa cinta seperti raga tanpa jiwa. Cinta memberikan semangat untuk menghidupi masa depanku.

Beruntung aku punya Emma’ yang hatinya suci. Tidak terbersit perasaan dendam usai tahu isi suratmu. Emma’ terus membesarkanku dengan bersabar. Sabar adalah bekal yang Emma’ titipkan sehingga aku dapat menulis balasan surat itu.

Sabar memang mudah diucapkan, tapi sulit dipraktikkan. Aku merasakannya sendiri, betapa pahit bersabar di tengah pupusnya harapan. Tapi, sudahlah aku tidak mau larut dalam masalah yang sudah-sudah, karena menatap masa depan jauh lebih berarti dan jauh lebih berharga. Biarkah rasa sakit itu berlalu seiring berlalunya waktu.

Div, aku tahu budaya kita sama. Budaya kita menghendaki yang lain, kita harus berpisah. Tapi, itu hanya budaya. Aku bertanya pada diriku sendiri: Bagaimana seandainya kita berani melawan budaya? Bukankah masa depan itu ada di tangan kita?

Pertanyaan itu mungkin terkesan berat. Apa salahnya kita mencoba? Aku tidak mengajarkanmu menjadi anak durhaka, karena tidak mematuhi orangtua. Tapi, aku ingin mengajarkanmu menjadi perempuan kuat yang dapat mempersatukan keinginan kita dan keinginan kedua orangtua kita. Entahlah, dengan cara apa. Aku belum tahu.

Selamat telah meraih beasiswa bergengsi di kampus bergengsi pula! Suatu saat kita bertemu di Jakarta. Aku belum tahu kapan. Ini menjadi mimpiku, biarkan alam menjadi saksi mimpi ini.

Div, aku termasuk cowok yang sulit jatuh cinta. Tapi, saat jatuh cinta, maka sulit juga move on. Aku sendiri tidak mengerti. Aku tetap menunggu ukhti di Madura. Tidak usah hubungi aku lagi sampai aku benar-benar siap datang menghadap orangtua ukhti. Aku ingin memantaskan diriku. Aku ingin berusaha belajar mencintai yang sesungguhnya.

Selama janur kuning belum melengkung, pengharang itu tidak akan pernah mati. Ia akan tetap hidup seiring dengan doa yang kupanjatkan dan usaha yang kugerahkan.

Salam,

Fairuz

Membaca surat Fairuz seakan bercakap langsung tanpa batas. Surat itu membawa Diva tidak duduk sendirian, melainkan ditemani jiwa Fairuz yang hidup dalam setiap bait yang dibacanya.

BACA JUGA  Radikal-Terorisme Sasar Medsos, Akankah Kita Diam Saja?

Diva merasa bersalah telah meluluhlantahkan hati kekasihnya. Tapi, beginilah seorang perempuan, kadang dia tidak kuat dihadapkan dengan masalah yang besar, kadang dia mampu meredam masalahnya sendiri.

Surat itu semakin menguatkan Diva hidup di tengah masalah percintaan tanpa ridha orangtua. Diva menduga faktor budayalah yang menyebabkan orangtuanya tidak merestui hubungan itu. Diva mulai berani melawan budaya yang tidak benar, karena belum ada larangan yang jelas dalam syari’at Islam.

Semburat senja merekah terlihat indah. Tak kuasa mata melepasnya. Mengintip senja sungguh menyenangkan. Diva bertanya pada senja: Adakah yang lebih indah dari cinta? Apakah kecenderungan hati ini adalah cinta?

Tak ada suara yang didengar. Hanya kata hati yang membisik, bahwa cinta itu membahagiakan. Kesedihan itu adalah cinta yang ternodai. Karena, cinta itu bersemayam di hati yang suci. Hati yang kotor hidup keronta tanpa cinta, bahkan kesedihan datang silih berganti.

* * *

Di beranda bilik pesantren, Fairuz mengintip senja dari balik pagar pesantren. Setelah berhari-hari gegana, tiba-tiba sore menceritakan kebahagian. Fairuz tidak mengerti, kenapa memandangi senja begitu menyenangkan seakan mata tidak kuasa melepasnya. Senja terus berkejaran dan bertaburan membentuk kristal.

Sadar Fairuz duduk seorang diri, tapi pikirannya membayangkan bahwa ia tidak sendiri mengintip senja. Di sana ada sosok Diva yang sedang duduk melakukan hal yang sama.

Tak ada kata yang terucap, hanya senyum yang merekah. Fairuz tidak mengerti, kenapa kebahagiaan datang tanpa dinyana. Padahal, kemarin kesedihan datang. Namun saat itu, barulah kebahagian tiba-tiba menyapa.

* * *

Ponsel Diva berdering. Diva masih duduk sambil menikmati pesona senja di ufuk barat. Diintip, ternyata panggilan dari Ummi. Diangkat.

“Iya, Mi,” ucap Diva singkat.

“Abah sekeluarga tadi kedatangan tamu.” Ummi bercerita dengan nada bahagia.

“Masyarakat yang mondok?” Diva berkata datar. Biasanya di rumah Diva banyak kedatangan tamu untuk memondokkan anaknya di pesantren yang dimiliki orangtuanya.

“Bukan.” Jawaban Ummi penuh taka-teki.

“Keluarga dari Banyuwangi.”

“Syukur kedatangan famili jauh.” Diva seketika merasa bahagia famili dari Abahnya yang merantau dan menetap di Banyuwangi menyempatkan silaturrahmi ke Madura setelah bertahun-tahun tidak bertemu. Terkesan perjuangan jauh-jauh berjam-jam menyusuri jalan.

Mendengar jawaban Diva, Ummi menduga Diva sudah melupakan lelaki yang diidam-idamkan. Kemudian, Ummi melanjutkan ceritanya, “Famili dari Banyuwangi melamar Nak Diva.”

“Hah!” Diva kaget.

“Nak Azrul itu yang dulu pernah ke sini sejak masih kecil. Bermain bersama dengan Diva.” Diva tahu Azrul. Tapi, sudah lupa cerita Ummi tentang masa kanak-kanak dahulu.

Azrul anak Kyai besar di Banyuwangi. Memiliki pesantren dengan beribu santri. Orangnya cakep. Bahkan, dia lulusan magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir di Universitas Al-Azhar Mesir. Perempuan banyak yang mendekati Azrul, tapi setelah tahu dia putra Kyai besar, mereka akhirnya menjauh.

“Diva belum bisa menerima, Mi.” Diva mencoba menolak dengan nada kesel.

“Ummi dulu, Nak, nikah dengan dengan Abahmu belum pernah ketemu, bahkan kenal pun belum. Ummi juga belum punya rasa cinta. Tapi, Ummi selalu berdoa kepada Allah, jika memang Abahmu sosok imam yang Allah pilihkan, maka Ummi minta agar dipermudahkan, dikekalkan serta ditanamkan cinta di antara kita berdua. Sekarang, Ummi merasakan cinta itu.” Ummi merayu Diva. Tapi Diva diam mencerna kata-kata Ummi.

“Diva belum jatuh cinta, Mi.”

“Cinta itu bukan sebelum nikah, tapi setelah nikah.”

Diva bungkam.

“Sebelum nikah itu bukan cinta, tapi sebatas kecenderungan hati. Nak Azrul baik banget. Bahkan, Abah dan Ummi berkali-kali mengistikharahkan, selalu ada pertanda baik.”

Obrolan di medan ponsel tiba-tiba terputus. Air mata sedih tiba-tiba tumpah. Senja menghilang berganti malam berselimut petang. Diva menyusuri jalan yang berkelok kembali ke hotel.

Pikiran yang baru beberapa saat tenang kembali kusut. Inginnya selalu menangis saat dihadapkan dengan pilihan yang berat dan dilema: mencintai Fairuz atau belajar mencintai Azrul.

Di tengah kegusaran hati, seorang kakek tiba-tiba datang dan menitipkan pesan bijaknya: Hilangkah benih kebencian dalam hatimu, Nak. Karena, cinta itu hanya menghampiri hati yang suci.

“Kekkk,” desisnya dalam-dalam.

Sang kakek sudah menghilang, entah ke mana. Dia datang tanpa dinyana. Seolah tahu suasana hati Diva. Padahal, masih ingin rasanya curhat lagi ke kakek itu. Pesan kakek masih melekat dalam benak.

* * *

Diva belajar mencintai tanpa harus membenci saat kehilangan. Ternyata, menghikhlaskan dalam mencintai jauh lebih indah dari perasaan egois memiliki. Karena, cinta bukan hanya soal memiliki. Memiliki sebatas pilihan, sementara cinta adalah anugerah yang diperjuangkan.

TAMAT

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru