27.1 C
Jakarta

Mengikis Radikalisme, Wahabisme, dan Ghostingisme

Artikel Trending

Milenial IslamMengikis Radikalisme, Wahabisme, dan Ghostingisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pandulum keagamaan masih diliputi ajaran radikalisme-terorisme. Pergulatan teologi dan organisasi seperti ISIS, Al-Qaeda, Deash, MIT, DAJ, JI, JAT, HTIAl-Nusra, dan eks-FPI bergelayut dan menjadi biang radikalisme dan terorisme. Puncaknya, mereka membunuh siapa pun yang tidak sepaham dan mendirikan negara berbasis tauhid.

Kaum ekstrem yang anti-pluralisme sekte yang mereka lakukan, akan semakin menjadi-jadi dan menggila apabila dimanfaatkan oleh partai politik dan kaum elite tertentu, yang memiliki misi kepentingan pragmatis. Maka, jadilah koalisi tak indah antarbangsa, golangan, politik, dan ekonomi, serta agama. Itulah yang terjadi di sejumlah negara dan kawasan keagamaan-sosial Indonesia dewasa ini.

Mereka tidak bisa membedakan teks dan konteks. Antara politik dan taktis. Antara agama dan ajaran agama. Kendati, seperti dikatakan Yusuf Qordhawi dalam Islam Jalan Tengah (2017) rentannya dalam pemahaman agama yang rendah dan keliru, mendorong banyak orang tidak lagi berpikir rasional dan logis. Mereka melebih-lebihkan dalam pengharaman agama serta terbius ayat-ayat suci agama yang menjanjikan surga bisa dicapai lewat jalan pintas yang dianggap mulia: jihad bom bunuh diri.

Padahal, dalam teks-teks keagamaan, perihal itu tak terajarkan. Bahkan sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah memperkuat tali persaudaraan atau uhkwah Islamiah. Uhkwah Islamiah, adalah satu istilah yang cukup Qur’ani. Maskipun dalam Al-Qur’an tidak ada secara implisit. Namun, ukhwah islamiah bisa dilihat dalam firman: innamal mu’minuna ikhwanatun, sesungguhnya setiap orang beriman itu bersaudara; fa ashlihu baina akhwaikum, oleh karena itu, damikanlah di antara kedua saudaramu itu, dan seterusnya. Ayat ini berisyarat meskipun sudah beriman tetapi ada kemungkinan timbul konflik.

Memang yang sering terjadi di tubuh Islam sendiri adalah konflik internal. Di mana kita merebut tafsir kebenaran. Bahkan yang lebih membahayakan cenderung menafsirkan secara tekstual. Ini yang terjadi di genarasi kita.

Mengapa Radikalisme dan Wahabisme itu Terjadi?

Apa faktor yang mendorong atau memotivasi masuk dan melakukan radikalisme dan terorisme. Atau ada faktor-faktor lain yang mendorong mereka mengambil peran ini?

Analisis Noorhaidi Hasan dalam Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (2008), menyebut selain melakukan penyebaran paham wahabisme lewat jalan-jalan dakwah, mereka juga berupaya bermain dan menggoreskan namanya dipanggung politik.

Dalam Literatur Keislaman Generasi Milenila: Tranmisi, Apropriasi, Kontestasi (2018), banyak pemuda salah memilih literatur bacaan. Ini terlihat persemaiannya dikalangan pelajar dan mahasiswa. Ideologi radikal dan wahabi menyusup melalui buku-buku dan bacaan agama yang merujuk pada karya ideolog konservatif. Menurut Hasan mereka ini terobsesi ingin menjadi masyarakat ideal tanpa kelas dan muslim murni.

Literatur tersebut, biasanya, tersebar dan menjadi bacaan di kalangan rohis, gerakan organisasi Islam, partai politik, dan organisasi pendukung lainnya—sehingga—literatur tersebut bukan saja menawarkan gagasan ideologi. Tetapi juga mengklaim identitas dan otentisitas dalam beragama, karena memiliki rujukan terhadap sumber-sumber utama agama yang teranggap sahih. Hingga, puncaknya, adalah membangun garis damarkasi yaitu: bid’ah, syirik, kafir, dan oleh sebab itu layak dibunuh atau diperangi.

BACA JUGA  International Women’s Day dan Peran Perempuan dalam Terorisme

Haidar Bagir dalam Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia (2019), berperilaku radikal karena lumpuhnya peran sekolah dan dalam Islam Tuhan Islam Manusia (2019), menyebut radikalisme timbul gegara gagalnya negara, dibidang ekonomi, politik, kebudayaan. Deta Alia menyebut gerakan radikalisme menyeruak karena faktor lain yaitu mereka kecewa terhadap penyelenggara negara demokrasi ini. Kemiskinan tambah akut, korupsi yang merajalela, adalah faktor pendorong mereka memilih “jalan lain” yang dianggap bisa mengubah Indonesia menjadi lebih baik (Kompas, 17/5/2018).

Mengikis Radikalisme, Wahabisme, dan Ghostingisme

Tidak ada peristiwa datang secara tiba-tiba. Ada simbol, gejala, yang bisa terbaca. Segala bentuk kegaduhan yang menguras dan mengikis bangsa ini, baik yang mewujud dalam sikap intoleransi, radikalisme, terorisme wahabisme maupun gostingisme adalah gejala yang bisa terlihat dan terasa.

Negara-bangsa yang tengah dimabuk pesta demokrasi dan euforia politik dan agama ini semakin kehilangan sadar diri serta kepekaan, terhadap ancaman agama, pendidikan, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Bahkan, terhadap ancaman gerakan radikal-teroris generasi milenial yang terus berevolusi. Maka, tak heran jika kondisi yang sesungguhnya sudah darurat, tetapi oleh para eliet negara cenderung masih di sepelekan, diremehkan.

Ahli sosial Peter Baehr dalam bukunya The “Masses” in Hannah Arendt’s Theory of Tatlitaranism (2017), menguraikan bahwa jika negara berada dalam kondisi anomali, hanya penegak hukum—dalam arti sebenar-benarnya—dan ketegasan pemimpin yang diperlukan. Banyaknya rakyat yang bergabung dalam kelompok radikal, adalah potret lemahnya hukum dan tidak tegasnya pemimpin.

Ancaman semakin nyata. Oleh karena itu, kita berkewajiban berpikir kritis dan mendalam dalam mencari-mengambil pemahaman dari apa pun (media daring maupun luring) dan siapa pun termasuk dalam memilih-pembacaan literatur keislaman.

Kita harus berkomitmen meninggalkan kebiasaan syiar permusuhan (seperti perilaku buzzer khilafah), mungkin juga gomabalan kepada siapa pun. Tetapi kita perlu merumuskan bagaimana menyadarkan pemahaman yang menyimpang dalam lingkungan sekitar lewat pendekatan kultural humanis, dialogis, dan santun secara holistik dan terus menerus. Sehingga, kita dan mereka menjadi rahmat bagi semesta.

Mengikis radikalisme kita boleh, atau bahkan saya kira sudah seharusnya kita memanfaatkan perkembangan mutakhir. Namun bila itu mau dilakukan, kita mesti juga harus berakar dalam tradisi-keintelektualan Islam sendiri. Karena mengikis itu, adalah keharusan untuk menggali suatu hal yang bersifat tradisi Islam supaya ilmu menjadi kaya.

Dengan kebajikan keilmuan itu sendiri pemikiran lebih terbuka dan bisa menangkal teologi dan sikap ekstremisme, radikalisme, terorisme, wahabisme, dalam umat beragama di Indonesia. Bila itu dilakukan, agama bukan hanya bisa meyakini Tuhan, tetapi akan jadi apa yang terkatakan Jalaluddin Rakhmat, agama bisa memuliakan akhlak dan menghargai perbedaan.

Tapi bila tidak, sebaliknya, dan hal lebih jauh pasti akan terjadi. Meski bersumber dari pikiran dan sikap ghostingisme: menjadi muslim tetapi menggantungkan-mencederai ajaran-ajaran islam-ikhsannya. Cintanya pun kadang palsu. Nah, yang terakhir ini butuh penyegaran atau refresh rate tinggi tentang ajaran moderasi perasaanisme!

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru