26.2 C
Jakarta

Menghindari Persepsi yang Menghantui Anda

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanMenghindari Persepsi yang Menghantui Anda
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Lagi-lagi soal persepsi. Persepsi itu tafsir. Tafsir itu belum final. Butuh diuji. Diteliti. Sehingga, dihasilkan konklusi.

Persepsi seringkali membutakan mata melihat objek secara bijak. Persepsi seringkali menutup akal berpikir logis. Persepsi seringkali menyepelekan sesuatu yang berharga. Dan seterusnya.

Persepsi bukanlah penelitian, tapi praduga. Persepsi bukanlah ilmu, tapi pengetahuan. Persepsi bukanlah kebenaran objektif, tapi subjektif.

Selagi masih persepsi, hindari judge. Selagi masih persepsi, hindari klaim. Selagi masih persepsi, hindari penuhanan.

Bedanya Tuhan dan manusia ada pada persepsi. Tuhan Maha Suci dari persepsi. Manusia dibalut dengan persepsi. Kebenaran Tuhan selalu absolut. Kebenaran manusia masih persepsi.

Ada sekian kasus yang membuat saya khawatir melangkah. Ceritanya, saya sering dihantui oleh persepsi pergaulan bebas di luar pesantren. Kebebasan adalah kosakata yang berlawanan dengan pesantren. Pesantren adalah institusi keagamaan yang membatasi ruang gerak santri. Belajar di luar pesantren konotasinya cinta kebebasan sehingga cenderung berkesan negatif.

Saya mengiyakan hidup di luar pesantren tidak sama dengan hidup di dalam pesantren. Tapi, soal kebebasan saya tidak sepakat dipahami sebatas ruang gerak. Kebebasan itu seharusnya menyentuh dimensi esoterik, bukan eksoterik. Bukan bebas kalau ruang gerak pergaulannya membaur antara laki-laki dan perempuan. Bukan bebas kalau ruang belajarnya disatukan antara laki-laki dan perempuan. Tapi, disebut bebas kalau cara berpikirnya tidak memakai kaidah berpikir atau yang disebut dengan Ilmu Logika (Ilm al-Manthiq).

Selain itu, kebebasan tidak selamanya negatif. Kebebasan yang negatif bila cara berpikirnya tidak dikendalikan oleh Ilmu Logika. Kebebasan negatif saat menjadikan ruang gerak tidak bermakna. Kebebasan yang justru lebih negatif begitu hidup tiada makna.

Kebebasan yang positif saat ruang gerak dipangku dengan mimpi. Kebebasan yang positif begitu pikiran didesign dengan ilmu. Kebebasan yang positif ketika hati ditata dengan hidayah.

Memaknai kebebasan sebatas ruang gerak seakan mendefinisikan Islam sebatas instrumen. Disebut Islam kalau memakai sorban, peci putih, dan sarung. Itu belum Islam. Islam menyentuh dimensi esoterik. Islam itu identik dengan “keselamatan”. Sesuatu yang bertentangan dengan cita-cita keselamatan atau perdamaian bukan Islam.

Karena itu, persepsi yang menghantui hendaknya ditepis atau dihindari. Katakanlah, “Bodo amat.” Membatasi hidup di pesantren karena persepsi kebebasan di luar pesantren secara tidak langsung membatasi cara berpikir yang semestinya disyukuri. Bentuk mensyukuri akal pikiran adalah menggunakannya berpikir. Berpikir terlalu betah di pesantren dengan rentang waktu yang relatif lama akan menghilangkan kreativitas berpikir. Merantaulah sehingga menemukan makna hidup yang lebih sempurna.

BACA JUGA  Tafsir Lingkungan di Tengah Kebijakan Penguasa

Seharusnya, selalu diingat perjalanan dan perkembangan Imam Syafi’i dalam menjalani studi. Merantau adalah cara paling efektif menghadirkan ijtihad yang berwarna. Selama di Bagdad dihasilkan pendapat pertama yang disebut dengan “Qaul Qadim” (Perdapat Klasik). Begitu di Mesir diperoleh pendapat kedua yang dikenal dengan “Qaul Jadid” (Pendapat Modern). Dua pendapat ini dihadirkan dalam ruang gerak yang berbeda. Bayangkan, andai saja Imam Syafi’i tidak merantau dan memilih menetap di kampung halaman, niscaya tidak akan hadir dua ijtihad yang berwarna.

Beragam produk ijtihad Imam Syafi’i memberikan kesan menarik di Indonesia yang dibangun oleh budaya yang beragam dan agama yang berwarna. Karenanya, Indonesia disebut negara pluralistik, negara yang merangkul perbedaan pendapat, mempertemukan ragam agama, dan menyatukan warna-warni ras dan suku.

Sebagai perantau, diperoleh berjuta pengalaman dan ilmu. Ternyata tidak selamanya pengalaman dan ilmu yang didapatkan di Bagdad mampu menjawab persoalan yang terjadi di Mesir, sehingga diharuskan menghadirkan ijtihad yang baru. Keragaman ijtihad Imam Syafi’i disebut sebagai pendapat yang moderat karena mempertemukan dua sisi yang berbeda: pendapat Imam Malik yang tekstualis dan pendapat Imam Hanafi yang liberalis.

Kemoderatan pendapat Imam Syafi’i seiring dengan cita-cita Islam di Indonesia. Islam Indonesia adalah Islam moderat (wasathiyyah al-islam). Islam semacam ini mempertemukan dua macam Islam yang berlawanan: Islam ektremis dan Islam liberalis. Islam moderat merupakan cita-cita Nabi Muhammad Saw. Disebutkan dalam Qs. al-Baqarah/2: 143, yang berbunyi: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan, umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Kata “ummatan wasathan“, sebut ar-Razi, dipahami dengan makna “adil” atau “pertengahan“. Dalam hadis disebutkan: Sesuatu yang paling baik adalah ausathuha, yang paling pertengahan. Pertengahan ini semakna dengan moderat. Bahkan, ada pakar yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw. termasuk keturunan suku Quraisy yang paling moderat.

Sebagai penutup, ada sebuah adagium yang berpesan: “Don’t judge book by its cover“. Jangan menilai buku dari sampulnya. Artinya, jangan menilai bobot atau nilai suatu hal dari penampilan luarnya saja. Persepsi adalah penilaian cover, sehingga penilaian ini belum final. Selamat belajar kembali![] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru