24.9 C
Jakarta

Menghapus Kotak Radikal Sunni-Syiah, Mungkinkah?

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenghapus Kotak Radikal Sunni-Syiah, Mungkinkah?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pada bulan Ramadhan 1443 Hijriyah kemarin, seorang da’i milenial muncul di berbagai acara stasiun televisi swasta. Kehadirannya disambut cukup antusias oleh para penonton, khususnya kaum anak muda yang baru atau sedang memperdalam ilmu keislamannya. Dai tersebut pada dasarnya memiliki label “Habib” dalam penamaannya. Tapi dengan balutan fashion kekinian yang ditunjukkan, membuat banyak orang menerimanya sebagai bagian unik dari sebuah simbol yang selama ini disakralkan.

Selain muncul rasa kekaguman terhadap da’i itu, timbul pula isu status Syi’ah yang dialamatkan kepadanya. Beberapa pengguna media sosial sempat membeberkan bukti yang dianggap jelas mengkaitkan sang Da’i dengan teologi pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib dalam sejarah tersebut.

Kotak aliran Sunni-Syi’ah memang selalu seksi untuk diperdebatkan dalam forum diskusi keislaman, karena perdebatannya selalu radikal. Dalam konteks masyarakat Indonesia, kelompok Sunni sangat mendominasi ranah dakwah umat muslim ketimbang kelompok Syi’ah yang menjadi minoritas.

Pengikut dari keduanya selalu saling silang pendapat apabila merespons sebuah isu keagamaan tingkat lokal hingga nasional, juga merambat sampai isu politik kebangsaan. Maka tidak heran jika keduanya saling berebut panggung orasi di tengah ummat, untuk beradu ide serta gagasan sesuai konteks zaman. Tentu dengan membawa al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. sebagai legitimasinya.

Sunni-Syiah dalam Sejarah

Sunni identik dengan golongan mayoritas ummat muslim, terutama di tanah kelahiran agama Islam di negara Arab. Munculnya penyebutan itu sering dikaitkan oleh para peneliti sejarah pada hari kedua pasca wafatnya Rasulullah SAW. Jasad Nabi ditahan sementara waktu hingga terpilih khalifah penerus beliau.

Penunjukkan Abu Bakar as-Shiddiq r.a. mendapat gelombang protes dari kelompok yang berpandangan agar anggota Ahlul Bait menjadi pemimpin mereka selanjutnya (baca: Ali bin Abi Thalib r.a.). Pendapat tersebut tetap tidak diindahkan oleh mayoritas yang mendukung terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah. Golongan umum itulah kemudian disebut sebagai kelompok Sunni.

Sementara kelompok Syi’ah muncul dari masyarakat muslim yang kala itu mengagumi sosok Ali bin Abi Thalib r.a. dan setia berada di belakangnya. Pada masa awal kepemimpinan khalifah Abu Bakar, golongan tersebut menjadi oposisi laten di tengah upaya memperluas wilayah kepemimpinan Islam. Namun, kesuksesan khalifah Abu Bakar as-Shiddiq hingga Umar Bin Khattab r.a. telah sedikit meredakan isu hak legitimasi Ahlul Bait.

Sampai akhirnya isu tersebut kembali menyeruak kala tongkat kekhalifahan jatuh kepada sahabat ‘Usman bin Affan. Adanya praktik nepotisme kepemimpinan mendorong para pendukung Ali untuk meminta ‘Usman mundur dari jabatannya. Ketika ‘Usman bin Affan r.a. wafat, Ali bin Abi Thalib muncul sebagai pemimpin baru. Alih-alih merasa sudah mempersatukan dua golongan yang sering bersitegang, justru muncul satu golongan lain dengan ambisi lebih serius dalam memperebutkan kursi kekuasaan.

Mereka adalah bagian dari keluarga Mu’awiyah, beberapa di antaranya disebut dengan kelompok Khawarij. Golongan tersebut tidak terlalu condong kepada Sunni ataupun Syi’ah. Khawarij muncul dengan mengatasnamakan pengkultusan aturan langit dan menegasikan hukum manusia. Walaupun punya tujuan baik, ketiganya (Sunnisme, Syi’isme dan Kharijisme) kerap menunjukkan metode dakwah saling sikut untuk memperoleh simpatisan ummat muslim.

Khususnya Sunni-Syi’ah adalah produk sejarah yang sampai saat ini dirawat perpecahannya oleh sebagian besar di negara mayoritas muslim. Padahal keduanya sudah melalui ujian sejarah dengan hasil nihil keharmonisan dan memperluas pertumpahan darah.

BACA JUGA  Hardiknas: Momentum Menengok Realitas Program Merdeka Belajar

Hapus Kotak Radikal, Tinggalkan Berhala Sejarah

Teologi yang dihidangkan kelompok Sunni maupun Syi’ah memang didasarkan pada sumber hukum Islam paling murni, al-Qur’an dan hadits. Kedua sumber hukum itu masih menjadi rujukan mendasar untuk menentukan sebuah solusi dari masalah yang dihadapi golongannya. Tapi siapa sangka, dalam upaya memperlebar jarak jurang persaudaraan antar kelompok juga kerap mengatasnamakan dalil suci hingga nama Yang Maha Kuasa.

Jika Sunni identik sebagai golongan mayoritas di dalam tubuh ummat Islam, maka Syi’ah adalah golongan minoritas yang menganggap diri selalu berada di garis penindasan. Ranah politk praktis selalu jadi panggung golongan Sunni untuk menunjukkan “power of control” dalam memimpin ummat. Sedangkan golongan Syi’ah sebagian besar meyakini keadilan tidak akan turun dari tangan para penindas yang selalu berhasrat memimpin dunia. Maksud mereka tentu merujuk pada satu goolongan yaitu Sunni.

Pertikaian dari kotak-kotak tersebut sangat vulgar menghiasi jagad media massa, sehingga tidak perlu untuk terlalu dijelaskan pada kesempatan ini. Setidaknya dari gambaran saling sikut itu telah menunjukkan secara gamblang betapa ironinya pengkultusan kotak Sunni-Syi’ah dalam kehidupan beragama.

Ahmad Syafii Maarif, cendikiawan dari ormas Islam Muhammadiyah sekaligus sosok penting dalam studi agama di Indonesia, telah mengidentifikasi adanya pengkhianatan terhadap pesan Allah yang mewajibkan seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi persatuan –baca Surah Ali-Imran ayat 103-, bahkan meminta agar umat Islam tidak bercerai-berai.

Kotak radikal Sunni-Syi’ah dalam rentetan perjalanan waktu telah berubah layaknya berhala sejarah. Menurut Buya Syafii, keduanya menjadi sesembahan baru dengan “memaksa” Tuhan berpihak kepada salah satu di antara mereka. Padahal jika sebentar saja untuk berpikir jernih dan melihat kembali sejarah murni tentang Islam langsung dari al-Qur’an dan hadits Nabi, maka akan ditemukan bahwa kotak-kotak itu hanyalah produk politik dari sengketa elite Arab pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Bagi Buya Syafii, kotak Sunni-Syiah dan golongan semacamnya yang muncul dari tubuh masyarakat  muslim adalah sumber bencana yang bertanggung jawab terjadinya keretakan persaudaraan umat beriman. Sudah waktunya ummat Islam menata kembali kehidupan kolektifnya secara benar berdasarkan tuntunan syariat agama. Maka tidak ada jalan lain selain meninggalkan kotak-kotak radikal pemicu perpecahan tersebut.

Mungkinkah untuk ditinggalkan? Hal itu bisa terjadi selama al-Qur’an dan hadits menjadi pedoman utama. Sedikit demi sedikit membuka cara pandang yang benar dan sehat, atau meminjam kalimat Buya ‘aqlun shahih wa qalbun salim (akal yang sehat dan benar serta hati yang tulus), akan membawa ummat melupakan keterbelahan di antara mereka.

Kebersatuan masyarakat muslim adalah wasiat Nabi yang harus senantiasa diindahkan. Dengan begitu semua akan fokus menyelesaikan berbagai masalah bangsa seperti meningkatkan mutu pendidikan dan pemerataan pekenomian, agar ummat terbebas dari cara pandang sempit dan kondisi kemiskinan. Dua masalah tersebut adalah bagian tidak terpisahkan dari penggiringan produk sejarah yang selama ini diberhalakan.

Dengan membongkar masalah kebangsaan, terutama dua hal tadi, maka ummat Islam akan melepas pasungan Sunni-Syi’ah untuk menjadi muslim merdeka. Dari sana kesatuan ummat mungkin akan dapat ditegakkan kembali.

Andi Novriansyah Saputra
Andi Novriansyah Saputra
Content Creator, Jurnalis dan Relawan. Alumni Prodi Studi Agama-Agama, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru