32.7 C
Jakarta

Menggugat Makna Pernikahan Menurut Simone de Behaviour

Artikel Trending

KhazanahPerempuanMenggugat Makna Pernikahan Menurut Simone de Behaviour
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Simone de Behaviour, namanya dikenal dengan tulisannya yang berjudul “The Second Sex” dan menjadi referensi para feminis. Ini baik, karena mencari ilmu pengetahuan kita butuh rujukan dan pandangan dari berbagai keilmuan, tak terkecuali dengan pengetahuan tentang perjuangan para feminis yang gencar dikampanyekan oleh perempuan hingga masa kini. Pernikahan, di antaranya.

Simone, lahir pada tanggal 9 Januari 1908 di Paris dari pasangan Betrand de Beauvoir dan Francoise Brasseur. Pada tahun 1926 lulus Studi Perguruan Tinggi dalam sastra Prancis dan Latin. Lalu Ia belajar filsafat di Universitas Sorbonne pada tahun 1927. Kemudian pada tahun 1928, lulus dalam Etika, Sosiologi, dan Psikologi. Dia mendapat gelar diploma dengan Tesisnya tentang Leibniz. Setelah lulus dari kuliahnya ia mengajar di beberapa lycees sampai tahun 1943.

Ia adalah tokoh feminisme pada gelombang kedua. Ia lahir dalam kalangan borjuis Prancis. Beauvoir dididik dengan religius Katolik yang kuat oleh ibunya, namun pada usia 14 tahun Ia memutuskan menjadi ateis. Ia belajar di sekolah khusus Katolik perempuan di Adeline Desir dan menyelesaikan studinya hingga pada usia 17 tahun. Kemudian belajar Matematika di Institut Cattholique dan sastra serta bahasa di Institut Sainte Marie. Kemudian lulus dengan sertifikat Sejarah Filsafat, Filsafat Umum, Yunani, dan logika.

Karena pengalaman dan lingkungannya tersebut, Simone hidup dalam dunia patrarkhi yang begitu kuat. Salah satu pandangannya yang perlu dikritik, yakni tentang institusi pernikahan. Menurut Simone, pernikahan adalah institusi baru yang memenjakan perempuan. Perempuan yang menjadi istri, seperti budak. Sedangkan suami, adalah tuan.

Hubungan kedunya yakni tuan dan budak, perempuan melayani sedangkan suami dilayani. Dalam hubungan seksual, laki-laki berkuasa sedangkan perempuan simbol kepasrahan dari segala hubungan yang dijalankan dalam pernikahan yang sudah dilakukan.

Hal ini juga bisa dilihat ketika laki-laki belum mampu merawat dirinya sendiri, kemudian memilih menikah hanya untuk dilayani, dirawat dan dijadikan budak dalam hubungan yang terbangun, kemudian disebut pernikahan tersebut. Pemikiran Simone ini juga menjelaskan bahwa kondisi perempuan yang tidak sadar bahwa dirinya sedang diperbudak, sebab dalam masyarakat, perempuan akan dihargai dan dianggap keberadaannya setelah menikah.

BACA JUGA  Hak Asasi Perempuan dalam Perspektif Islam

Perempuan dianggap aib ketika dirinya belum menikah, sedang pernikahan menjadi sebuah penjara baru yang mematikan karakter perempuan. Perempuan hanya hidup atas nama laki-laki yang tersematkan.

Pernikahan menjadi media formalisasi penindasan bagi perempuan. Kebahagiaan perempuan yang sudah menikah direnggut oleh budaya yang tidak berlaku adil terhadap perempuan. Relasi yang timpang ini menjadi alasan Simone untuk menolak untuk menikah. Barangkali ini juga yang dijadikan landasan bergerak para perempuan feminis untuk melakukan hal yang sama, menolak institusi pernikahan hanya karena adanya perbudakan dan melayani terus menerus tanpa henti.

Padahal, hubungan suami-istri sudah diatur dengan sangat baik oleh agama Islam. Islam dalam sebuah pernikahan kedua pasangan, dilandasi atas niat untuk beribadah kepada Allah, niat yang tulus ini tidak bisa disamakan dengan pemikiran Simone atas pernikahan menurut pandangannya.

Akhir dari hubungan yang dibangun oleh suami dan istri tidak lain untuk beribadah kepada Allah. Dengan berbagai versi hubungan yang dibangun setiap keluarga. Yang paling penting adalah Islam menolak perbudakan dalam keluarga.

Jika pengalaman pernikahan menurut Simone ini dijadikan bahan refleksi bagi perempuan agar membangun rumah tangga yang tidak demikian, sehingga tercipta komunikasi yang dua arah antara suami dan istri, justru ini sangat bagus.

Namun, jika apa yang dikatakan Simone ini menimbulkan trauma yang luar biasa bagi perempuan, sehingga memilih untuk tidak menikah dengan berkiblat pada feminis Barat, ini sangat fatal. Karena pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki seseorang tidak serta merta kita lakukan semuanya dalam kehidupan pribadi. Ada hal yang kiranya cukup jadi pengetahuan, tanpa menerapkannnya, sebab perbedaan latar belakang, pengalaman menjadi alasan mengapa kita tidak perlu untuk menerapkan seluruh pengalaman hidup seorang untuk ita.

Kita harus menyadari bahwa prinsip dan ajaran yang kita pegang berseberangan dengan Simone Islam sudah mengatur dengan begitu sempurna tentang pernikahan, kehidupan pasca menikah, serta hubungan antara suami dan istri, sehinga tercipta rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Anisia
Anisia
Mahasiswi IAIN Madura, Program Studi Hukum Keluarga Islam. Aktif di UKK LPM Acitivita.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru