33 C
Jakarta

Mengantisipasi Politisasi Agama dan Radikalisme Menjelang Pilkada 2024

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMengantisipasi Politisasi Agama dan Radikalisme Menjelang Pilkada 2024
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di Indonesia, sentimen agama masih menjadi hal latah dalam interaksi sosial kebudayaan sehari-hari masyarakat kita. Tak ayal, momen Pemilu—dan sebentar lagi Pilkada 2024—selalu menciptakan kekhawatiran akan adanya politisasi agama dari para calon, pengusung, termasuk juga parpol. Meskipun bangsa ini dilandaskan pada ideologi Pancasila dan asas Bhinneka Tunggal Ika, tapi rasa-rasanya kita belum cukup dewasa untuk mengatasi isu “klise” tersebut.

Kita masih perlu banyak-banyak menatar diri untuk benar-benar memahami arti penting Pancasila bagi kehidupan bangsa dan negara, serta memahami perbedaan agama di bawah nilai moderasi beragama. Ditambah, ketika paham keagamaan transnasional masuk dan mendominasi kultur beragama di Indonesia. Arabisasi misalnya, dengan dicampuri gerakan purifikasi Islam, termasuk indoktrinasi khilafah dan pelabelan diri sebagai “si paling surga” sangat tidak cocok untuk hidup dalam kultur kehidupan masyarakat Indonesia.

Munculnya gerakan semacam itu di Indonesia semakin mempertebal kentalnya sentimen agama dalam tubuh kehidupan masyarakat. Memang, di Indonesia beberapa waktu kemarin menjelang Pilpres 2024, kita banyak menemui tagline “Pemilu damai”. Termasuk menjelang Pilkada 2024 ini, di Jawa Tengah contohnya, tagline “Pemilu damai” juga kembali dimunculkan. Ada sesuatu yang melegakan memang ketika membaca tagline tersebut. Tapi sejauh mana realisasi tagline tersebut benar-benar diperjuangkan, masih sulit untuk mengukurnya.

Branding religius misalnya, entah itu demi kepentingan apa, sering kali dilakukan para kandidat dengan berusaha mencitrakan dirinya sebagai penganut agama yang taat untuk menarik simpati para pemilih. Ini dilakukan biasanya dengan menampilkan diri dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, berdoa di depan umum, atau mempromosikan program-program yang seolah-olah mendukung nilai-nilai keagamaan.

Pak Anies, yang oleh para pendukungnya disebut “Abah” itu, juga bisa diidentifikasi sedang melakukan hal demikian ketika beliau menyembelih hewan kurbannya sendiri. Bahkan, calon kandidat gurbernur DKI tersebut juga memberikan keterangan bahwa tatkala menyembelih hewan kurbannya itu sedang membayangkan bagaimana rasanya menjadi Ibrahim yang disuruh Allah menyembelih putranya sendiri, Ismail.

Tentu, saya tidak sedang merendahkan sosok Pak Anies. Hanya saja, dalam momen-momen pemilihan umum semacam ini, perlu sekali untuk melihat dan menakar dengan lebih jauh melalui pikiran yang lebih kritis. Memang, siapa saja boleh dicalonkan dan mencalonkan diri sebagai bagian dari demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, membiarkan diri diperalat oleh kampanye politik yang dibingkai oleh narasi (sentimen) agama adalah hal yang mesti kita pahami secara lebih jernih dan kritis.

Pak Anies mungkin tidak berbahaya atau mengkhawatirkan. Tetapi, pemanfaatan sosok beliau oleh para pengusung siapa pun itu, termasuk para buzzer bayaran, ketika harga diri dan nilai agama justru menjadi taruhan yang mesti dikorbankan—hanya dijadikan alat politik untuk meraih kekuasaan atas nama agama. Saya kira itulah yang sangat mengkhawatirkan bagi keberlangsungan citra Islam moderat dan damai dalam kultur kehidupan masyarakat Indonesia.

Dinamika Politisasi Agama dan Bahaya Radikalisme

Seperti saya tuliskan kemarin bahwa masalah laten di Indonesia yang sulit sekali dicarikan solusinya adalah radikalisme agama. Ini tentu berhubungan pula dengan adanya sentimen agama di Indonesia yang marak terjadi. Saya di awal juga menyinggung contoh arabisasi sebagai salah satu bentuk sentimen agama yang cukup mengganggu kehidupan beragama masyarakat Indonesia.

Saya tentu tidak sedang rasis terhadap Arab, seperti mengutip pernyataan dari Ken Setiawan, pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center dalam Kontraradikal (9/6), bahwa arabisasi adalah upaya untuk menerapkan budaya Arab pada suatu tempat, pada sebuah kelompok skala kecil atau besar dengan mengatasnamakan agama. Jika kita pahami lebih jauh, arabisasi mengacu pada upaya untuk mengadopsi budaya, gaya hidup, dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan Arab, yang diklaim sebagai representasi nilai-nilai dari Islam.

BACA JUGA  Zakat: Jembatan Solidaritas Umat Anti-Radikalisme

Dalam konteks Indonesia, yang memiliki tradisi Islam lokal yang kaya dan beragam, gerakan semacam itu jelas dapat memunculkan berbagai bentuk sentimen agama lainnya dan memengaruhi dinamika sosial serta politik di Indonesia. Adanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, sebagai salah satu parpol besar di Indonesia, secara geneologis memiliki benang merah dengan kelompok Ikhwanul Muslimin di Republik Arab Mesir—yang saat ini di Mesir sudah dicap sebagai organisasi teroris.

Kita mesti membaca kembali reminder dari Muhamad Syauqillah, Ketua Program Studi Kajian Terorisme di Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia (SKSG UI), yang menyatakan bahwa pemerintah Indonesia perlu memperhatikan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang berpotensi kembali menampakkan batang hidung gerakannya di masa transisi kepemimpinan pemerintah Indonesia tahun 2024 dengan kamuflase-kamuflase provokatifnya.

Menurut Syauqillah, kemunculan HTI ini merupakan indikasi kuat bahwa organisasi transnasional tersebut masih ada di Indonesia. Dalam pernyataannya seperti dikutip dari Sindonews (22/2), ia menegaskan “meskipun HTI sudah dibubarkan secara resmi oleh pemerintah, tapi sejatinya sel-selnya masih tertancap kuat. Bayangkan, acara HTI beberapa waktu lalu dihadiri oleh ribuan orang. Pesannya gamblang menegakkan khilafah.”

Perlu diketahui, kelompok penganut paham khilafah sering kali berafiliasi dengan ideologi radikal dan ekstremis yang dapat mendorong munculnya aksi terorisme. Baru-baru ini pun, mengutip dari Kompas, Densus 88 diberitakan telah menangkap seorang pria penjual bubur yang diduga terlibat dalam jaringan teroris ISIS di Karawang, Jawa Barat, pada Sabtu (15/6) kemarin.

Penangkapan tersebut dilakukan setelah tim Densus 88 Anti-teror Mabes Polri menggerebek dan menggeledah sebuah rumah kontrakan di Kampung Kamojing Barat, Desa Kamojing, Kecamatan Cikampek, Kabupaten Karawang. Seorang pria berinisial AAR, berhasil diringkus lengkap dengan sejumlah bahan peledak yang jelas akan digunakan untuk aksi teror.

Selain itu, dalam artikulasi kampanyenya tentang urgensi pendirian khilafah di Indonesia, kelompok-kelompok semacam itu selalu memanfaatkan isu-isu nasional seperti kasus mahalnya UKT, polemik Tapera, dan permasalahan tambang sebagai kamuflase kampanye khilafah. Mereka mengkritik pemerintah sekaligus memberikan telaah analitik terkait urgensi tegaknya khilafah untuk sistem pemerintahan di Indonesia. Yakni, tumbuhnya syariat Islam—kaffah versi mereka. Sebagaimana yang kerap mereka tuliskan dalam Buletin Kaffah, misalnya. Dan, masih banyak lagi.

Hal-hal semacam itulah yang membahayakan dan dapat mengancam keamanan nasional. Sebagai bangsa yang rawan akan gerakan radikalisme dan terorisme, Indonesia sesungguhnya telah mengalami serangkaian serangan teroris dari kelompok-kelompok yang mengadvokasikan gerakannya demi tegaknya sistem khilafah di atas bumi ibu pertiwi. Indonesia membutuhkan semakin suburnya narasi Islam moderat sebagai narasi tandingan bagi paham dan gerakan sejenis itu.

Oleh karenanya, kita harus dan akan terus memberikan kontra narasi demi menjaga keutuhan dan mempertahankan bangsa dari segala macam bahaya disintegrasi nasional yang hendak dilakukan oleh kelompok-kelompok semacam itu. Politisasi agama harus kita kritisi, sentimen agama juga harus kita cermati permainannya—mengingat potensi tidak baik yang bisa muncul dari penggunaan agama sebagai alat perusak tatanan sosial, kesatuan, dan kedamaian masyarakat Indonesia.

Terakhir, segala bentuk upaya untuk menangkal, menangkap dan mematikan gerakan-gerakan yang berpotensi menciptakan teror di Indonesia mutlak mesti dilakukan, khususnya oleh pemerintah. Dan, sebagai wujud nasionalisme kita terhadap Indonesia, kita tentu tidak akan pernah berhenti untuk berupaya mempertahankan dan melawan segala macam gerakan yang berpotensi merusak kesatuan dan kedamaian hidup di NKRI. Kita pantang berhenti melawan, selama mereka masih juga pantang berhenti menyerang. []

Ahmad Miftahudin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari
Peminat kajian filsafat, kebudayaan dan sosiologi. Aktif di komunitas Dianoia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru