25.3 C
Jakarta

Mengakhiri Polemik Salam Lintas Agama dengan Cara Tutup Celah Khilafah

Artikel Trending

EditorialMengakhiri Polemik Salam Lintas Agama dengan Cara Tutup Celah Khilafah
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Polemik salam lintas agama terus bergulir. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII, menetapkan bahwa ucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam, hukumnya haram.

Ketua MUI Bidang Fatwa Prof. Asrorun Niam Sholeh mengatakan, bahwa pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan/atau moderasi beragama yang dibenarkan. Alasannya karena pengucapan salam dalam Islam merupakan doa yang bersifat ubudiah (bersifat peribadatan).

Fatwa di atas kemudian meluas dan menimbulkan polemik berkepanjangan. Masyarakat luas kemudian terheran mengapa MUI masih terjerembab pada fatwa usang yang berpotensi menimbulkan pecah-belah di masyarakat.

Sampai kemudian, polemik itu dijawab oleh Kemenag RI. Institusi ini menilai salam lintas agama sebagai bagian dari praktik yang baik untuk merawat kerukunan umat. “Salam lintas agama adalah praktik baik kerukunan umat. Ini bukan upaya mencampuradukkan ajaran agama. Umat tahu bahwa akidah urusan masing-masing dan secara sosiologis salam lintas agama memperkuat kerukunan dan toleransi,” kata Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI Kamaruddin Amin.

Sayangnya, polemik itu sampai kini terus meluas. Bahkan polemik tersebut terus dimanfaatkan oleh berbagai macam kalangan. Salah satunya dimanfaatkan oleh kelompok radikal. Mereka berada di posisi membela hasil ijtimak MUI yang merumuskan panduan hubungan antarumat beragama berupa Fikih Salam Lintas Agama.

Menurut mereka, pengucapan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan. Bahkan ustaz macam Irfan Abu Nafeed menyepakati hasil ijtimak ulama tersebut.

Irfan Abu Nafeed menerangkan, menggunakan dalih toleransi untuk mengucapkan salam lintas agama bertentangan dengan prinsip lakum diinukum wa liya diin ‘bagimu agamamu, dan bagiku agamaku’ karena menyangkut keyakinan agama masing-masing.

“Salam lintas agama jelas bertentangan dengan prinsip lakum diinukum wa liya diin dan hakikatnya melanggar batas-batas dalam beragama itu sendiri. Sudah kelewat jauh ya, bahkan lebih tepatnya menggambarkan unsur sinkretisme, penyatuan agama-agama. Ini tidak dibenarkan di dalam konsepsi prinsip-prinsip Islam,” jelasnya dalam Kabar Petang: “Salam Lintas Agama, Haram?” di kanal Khilafah News, Ahad (9-6-2024).

BACA JUGA  Tutup Pintu Konten Radikal Melalui Sanksi Hukum

Menurut dia, jika dikatakan salam lintas agama untuk memperkuat suatu bangsa, ini alasan yang terlalu dipaksakan. “Kata siapa bisa mempersatukan bangsa? Itu hanya gambaran kelemahan teori moderatisme beragama. Itu pun menunjukkan kesesatan hakikat moderatisme beragama, bahkan pada hakikatnya [merupakan] liberalisasi beragama mengatasnamakan moderatisme itu sendiri,” tukasnya.

Para pangasong khilafah terus memanfaatkan polemik tersebut sebagai bagian dari strategi pemecah-belah bangsa. Sambil mereka mencari simpati kaum muslim dengan cara menjelek-jelekkan apa yang keluar dari pernyataan pemerintah. Menurut mereka, salam lintas agama hanyalah bentuk dari desentralisasi makna salam.

Bagi mereka, salam bukan hanya sebuah sapaan dan doa kebaikan. Tetapi salam itu dianggap salah karena mendoakan orang Islam yang dilanjutkan dengan mendoakan orang kafir, seperti “salam sejahtera bagi kita semua” (Kristen), “shalom” (Katolik), “om swastiastu” (Hindu), “namo buddhaya” (Buddha), dan “salam kebajikan” (Konghucu), setelah ucapan “assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” (Islam), dianggap sebagai ‘penghilangan kesakralan atau proses menghilangnya sifat sakral (suci)’.

Bahkan mereka menyebut, salam lintas agama ini pada hakikatnya adalah upaya untuk menghilangkan sifat sakral dari salam. Menurut aktivis khilafah, salam yang seharusnya dilakukan berdasarkan ketentuan syariat, yakni berdasarkan nas Al-Qur’an dan sunah, akhirnya dilakukan tanpa ketentuan syariat. Klaim mereka, hal ini menjauhkan umat dari keterikatan pada syariat.

Tapi klaim kelompok khilafah ini salah. Justru mereka menjauhkan dari esensi Islam. Padahal esensi atau hakikat salam adalah doa yang penuh dengan makna keselamatan, kesejahteraan, rahmat, dan keberkahan. Oleh karena itu, diberi salam, memberi salam atau menjawab salam dan didoakan dari agama lain, merupakan sebuah kebaikan pula.

Seseorang berbicara, berdiskusi, berbisnis, bahkan pinjam-meminjam uang dengan nonmuslim boleh. Apalagi sekadar didoakan oleh mereka. Rasulullah pernah meminjam uang kepada nonmuslim. Bahkan Rasul juga pernah mendoakan mereka untuk hal-hal yang baik.

Karena inilah, polemik salam yang dibesar-besarkan oleh kelompok khilafah ini hanyalah kendaraan politik mereka saja untuk mencari celah menjelekkan pemerintah. Maka itu, bersalam dengan siapa pun itu juga bentuk ajaran Islam yang moderat. Salam lintas agama baik bagi kerukunan umat beragama dan bangsa, serta bukan bentuk desentralisasi salam.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru