31 C
Jakarta

Meng-Indonesia-kan Kembali Kampus UI

Artikel Trending

CNRCTMeng-Indonesia-kan Kembali Kampus UI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Meng-Indonesia-kan Kembali Kampus UI

Ayik Heriansyah*

Sudah menjadi rahasia umum, selama tiga dekade, kampus-kampus negeri menjadi tempat kaderisasi gerakan Islam transnasional. Gerakan yang berafiliasi kepada gerakan Islam di Timur Tengah. Ikhwanul Muslimin (IM) dan Hizbut Tahrir (HT) yang lebih banyak berwarnai Masjid, lembaga dakwah kampus, dan lembaga-lembaga kemahasiswaan lainnya.

Jama’ah Tabligh, Syi’ah dan Salafi Wahabi, juga ada. Namun mereka minoritas. Jama’ah Tabligh dan Salafi Wahabi membentuk kelompok kajian tersendiri, secara non formal di teras-teras masjid. Sedangkan Syi’ah, biasanya ikut ke dalam kelompok-kelompok kajian formal di luar lembaga kemahasiswaan yang dikuasai kader-kader IM dan HT.

Mahasiswa-mahasiswa dari organisasi Islam lokal; NU, Muhammadiyah dan Persis mempunyai lembaga sendiri yang bersifat ekstra kampus. Entah mengapa, mahasiswa-mahasiswa itu kurang berminat aktif dan menguasai lembaga-lembaga kemahasiswaan intra kampus. Satu dua saja, secara pribadi ikut ke dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan intra kampus.

Kampus menjadi medan tempur antar gerakan Islam transnasional. Bukan saja di tingkat mahasiswa melainkan juga di tingkat dosen dan staf kependidikan. Setiap kelompok transnasional mempunyai orang khusus yang menjadi supervisor bagi gerakan mereka di kampus.

Sejarah Kader PKS/PK di Kampus UI

Di Universitas Indonesia (UI), hegemoni mahasiswa kader-kader PKS/PK yang dulunya bernama Jama’ah Tarbiyah yang berafiliasi kepada Ikhwanul Muslimin, di lembaga dakwah kampus dan lembaga kemahasiswaan di tingkat universitas maupun fakultas sulit dipatahkan oleh kelompok lain. Hal ini karena  jumlah kader mereka yang paling dibandingkan dengan kelompok lain dan mereka yang lebih dulu membangun jaringan. Ketua Lembaga dakwah fakultas dan universitas, dipastikan kader PKS. Ketua Senat Fakultas dan BEM UI, mayoritas diduduki oleh kader PKS.

BACA JUGA  Membangun Jakarta ala Anies Baswedan

Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi Wahabi dan Syi’ah, boleh dikatakan tidak berkutik melawan hegemoni Ikhwanul Muslimin di kampus UI. Dominasi Ikhawanul Muslimin satu sisi menguntungkan gerakan mereka. Mereka bisa menggunakan lembaga dan tentu saja juga dana kemahasiswaan untuk agenda rekrutmen, pembinaan dan pelatihan kader  mereka.

Di sisi lain, membuat gerakan kemahasiswaan menjadi satu warna, beku dan partisan. Mahasiswa non-Ikhwanul Muslimin memilih apatis ketimbang aktif di lembaga kemahasiswaan. Mereka mengisi waktu di luar jam kuliah dengan mengerjakan tugas di perpustakaan atau rehat di kantin. Realitas ini bertolak belakang dengan maksud dan tujuan dibentuknya lembaga dakwah kampus dan lembaga kemahasiswaan yaitu untuk menhgembangkan minat, bakat dan potensi mahasiswa tanpa diskriminasi aliran, kelompok dan gerakan.

Langkah dan upaya Rektor UI yang ingin mengembalikan lembaga-lembaga di kampus ke rel-nya yang benar, harus didukung, karena kampus UI milik semua mahasiswa Indonesia. Bukan milik kelompok tertentu. UI milik Indonesia bukan milik Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi Wahabi, dan Syi’ah. Mari Indonesia-kan kembali kampus UI.

*Ayik HeriansyahPengamat Sosial Keagamaan, dan Mantan Ketua DPD HTI Bangka Belitung

Ayik Heriansyah
Ayik Heriansyah
Mahasiswa Kajian Terorisme SKSG UI, dan Direktur Eksekutif CNRCT

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru