25.3 C
Jakarta

Meneguhkan Jihad Algoritmatik Berbasis Moderasi Beragama di Tengah Gaung “All Eyes On Rafah”

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMeneguhkan Jihad Algoritmatik Berbasis Moderasi Beragama di Tengah Gaung “All Eyes On...
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Beberapa hari terakhir, isu kemanusiaan di Palestina, khususnya di daerah Rafah, telah menarik perhatian global. Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina terus menyebabkan penderitaan yang mendalam bagi rakyat Palestina, di antaranya kehilangan nyawa, kehilangan tempat tinggal, dan krisis kemanusiaan yang semakin parah. Tagline “All Eyes on Rafah” kini menggema di dunia maya, menyerukan perhatian dan tindakan global terhadap situasi kritis ini.

Titik awal dari seruan ini adalah serangan udara agresi militer Israel pada Minggu, 26 Mei 2024, yang menewaskan 45 orang, melukai 249 lainnya, dan membakar 14 tenda pengungsi di Distrik Tel Al-Sultan, Kota Rafah. Kekejaman berlanjut dengan serangan pada Kamis, 30 Mei 2024, yang menewaskan 12 orang. 

Menurut laporan dari Aljazeera, gerakan “All Eyes on Rafah,” yang berarti “Semua Mata Menuju Rafah,” adalah upaya untuk menarik perhatian dunia terhadap situasi kritis yang sedang berlangsung di Rafah. Namun, muncul kekhawatiran bahwa gerakan tersebut ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang memiliki agenda politik tertentu, seperti para pengusung khilafah. Fenomena ini tentunya menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia.

Alibi Khilafahers di Balik Isu Palestina

Isu Palestina adalah salah satu konflik yang paling kompleks dan berkepanjangan di dunia, dengan berbagai pihak yang memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda. Dalam konteks ini, terdapat berbagai kelompok dan aktor yang mungkin menggunakan isu Palestina untuk kepentingan mereka sendiri, termasuk kelompok yang dikenal sebagai “khilafahers“.

Para khilafahers adalah kelompok yang mendukung pembentukan kembali khilafah islamiah, atau negara yang didasarkan pada hukum Islam dan dipimpin oleh seorang khalifah. Mereka menganggap khilafah sebagai solusi atas berbagai masalah yang dihadapi umat Muslim, termasuk konflik Palestina. 

Berikut adalah beberapa alasan mengapa khilafahers menggunakan isu Palestina sebagai sarana propaganda:

Pertama, legitimasi dan dukungan. Dengan mendukung perjuangan Palestina, khilafahers berusaha mendapatkan dukungan dari umat Muslim di seluruh dunia. Palestina memiliki makna religius dan emosional yang mendalam bagi banyak Muslim, sehingga membela Palestina dapat meningkatkan legitimasi dan menarik simpati serta dukungan.

Kedua, propaganda dan mobilisasi. Isu Palestina sering digunakan sebagai alat propaganda untuk memobilisasi pengikut dan merekrut anggota baru. Narasi tentang penindasan dan perjuangan dapat membangkitkan semangat dan motivasi untuk bergabung dalam gerakan mereka.

Ketiga, mengkritik pemerintah yang ada. Para khilafahers sering menggunakan isu Palestina untuk mengkritik pemerintah Muslim yang mereka anggap gagal dalam membela kepentingan umat Islam dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Dengan demikian, mereka bisa menggambarkan diri mereka sebagai alternatif yang lebih tulus dan berkomitmen.

Keempat, menyatukan umat. Isu Palestina bisa digunakan untuk menyatukan berbagai faksi dan kelompok Muslim di bawah satu tujuan bersama, yaitu pembebasan Palestina dan pembentukan khilafah. Ini dapat mengurangi perpecahan internal dan meningkatkan solidaritas di antara pengikut mereka.

Alibi-alibi yang digunakan oleh khilafahers dalam isu Palestina sering kali berakar pada upaya untuk memperkuat posisi mereka sendiri dalam dunia Muslim. Meskipun beberapa dari mereka mungkin memiliki niat tulus untuk membantu rakyat Palestina, penggunaan isu ini juga berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan politik dan ideologis mereka yang lebih luas. Sebagai pengamat, penting untuk memahami kompleksitas dan berbagai motif di balik dukungan terhadap isu Palestina untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang dinamika yang terjadi.

Jihad Algoritmatik Berbasis Moderasi Beragama

Jihad adalah konsep yang sering disalahpahami dan digunakan dalam berbagai konteks. Istilah ini memiliki makna yang lebih luas dan lebih dalam daripada yang sering diasumsikan sebagai perang. 

Secara etimologis, kata jihad berasal dari akar kata Arab jahada yang berarti “berjuang” atau “berusaha keras.” Dalam bahasa Arab, jihad mengacu pada upaya atau perjuangan untuk mencapai sesuatu yang penting dan berharga. Dalam konteks umum, jihad dapat berarti usaha keras dalam segala aspek kehidupan, baik itu fisik, mental, maupun spiritual.

BACA JUGA  Pancasila dan Perjuangan Buruh: Meretas Jalan Menuju Persatuan dan Kesejahteraan Sosial

Dalam era digital ini, jihad tidak hanya dimaknai sebagai perjuangan fisik, tetapi juga bisa diartikan sebagai upaya maksimal dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk melalui teknologi. Dalam konteks inilah perlu adanya “jihad algoritmatik” sebagai konsep yang menggambarkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Melalui algoritma dan kecerdasan buatan, data tentang pelanggaran HAM, distribusi bantuan kemanusiaan, dan dokumentasi kekerasan bisa disebarluaskan dan diakses dengan lebih efektif.

Gerakan “All Eyes on Rafah” yang marak digaungkan saat ini merupakan salah satu bentuk dari implementasi jihad algoritmatik. Gerakan ini mengacu pada penggunaan teknologi dan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan keadilan, perdamaian, dan solidaritas. Keberhasilan gerakan ini menjadi trending topik di beberapa platform media sosial, menunjukkan kekuatan kolektif dari suara-suara individu yang bersatu untuk tujuan bersama. Namun, untuk memastikan bahwa gerakan ini tetap murni dan tidak disalahgunakan oleh kelompok-kelompok dengan agenda tersembunyi, penting untuk menjadikan moderasi beragama sebagai fondasinya.

Moderasi beragama berperan penting dalam menjaga keutuhan dan kedamaian sosial. Pesan-pesan yang disampaikan melalui gerakan ini harus diarahkan pada tujuan yang konstruktif dan damai, tanpa mengarah pada ekstremisme-radikalisme. Hal ini sangat penting untuk menghindari polarisasi yang memecah-belah masyarakat. Dengan menjadikan moderasi beragama sebagai landasan, gerakan “All Eyes on Rafah” dapat memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya kuat dan jelas, tetapi juga inklusif dan diterima oleh berbagai kalangan, baik dari dalam maupun luar komunitas agama.

Selain itu, menjadikan moderasi beragama sebagai fondasi membantu menjaga kredibilitas gerakan. Pesan yang moderat dan seimbang lebih cenderung mendapatkan dukungan luas dan memiliki dampak yang lebih besar. Dalam konteks media sosial, di mana informasi menyebar dengan cepat dan luas, pesan yang moderat akan lebih efektif dalam menarik perhatian dan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat. Ini juga penting untuk memastikan bahwa gerakan ini tetap fokus pada tujuan utamanya, yaitu mendukung keadilan dan perdamaian, tanpa terpengaruh oleh agenda kelompok tertentu.

Untuk mengimplementasikan nilai-nilai moderasi dalam gerakan ini, penting untuk mengedukasi para peserta dan pendukung tentang pentingnya moderasi beragama. Edukasi ini bisa dilakukan melalui berbagai platform, seperti seminar online, diskusi panel, dan konten edukatif di media sosial. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang moderasi, para pendukung gerakan akan lebih mampu menyampaikan pesan-pesan yang konstruktif dan damai.

Selain itu, perlu ada mekanisme pengawasan untuk memastikan bahwa semua konten yang diproduksi dan disebarkan oleh gerakan ini sesuai dengan prinsip-prinsip moderasi. Pengawasan ini bisa melibatkan tim yang bertugas untuk meninjau pesan-pesan yang disebarkan dan memastikan bahwa tidak ada konten yang mengandung unsur provokasi atau ekstremisme. Dengan adanya pengawasan yang ketat, gerakan “All Eyes on Rafah” dapat menjaga integritas dan fokus pada tujuan utamanya.

Dalam situasi yang kompleks dan penuh tantangan seperti isu Palestina, penting untuk selalu berpegang pada nilai-nilai moderasi beragama. Dengan demikian, gerakan ini tidak hanya akan efektif dalam menyampaikan pesan-pesannya, tetapi juga mampu menjaga kedamaian dan keutuhan sosial, serta menghindari potensi penyalahgunaan oleh kelompok-kelompok dengan agenda terselubung. Dengan menjadikan moderasi beragama sebagai fondasi, gerakan “All Eyes on Rafah” terus berkembang sebagai contoh jihad algoritmatik yang positif dan konstruktif, memberikan kontribusi nyata bagi perdamaian dan keadilan.

Taufik Rahman
Taufik Rahman
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Pernah menjuarai lomba karya tulis ilmiah PKM se-Sumatera dan MTQ se-Provinsi Jambi. Di samping itu, tulisan saya juga terbit di beberapa jurnal dan artikel.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru