32.1 C
Jakarta

Mendokumentasikan dan Menyebarluaskan Pesan Perdamaian Umat Beragama

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMendokumentasikan dan Menyebarluaskan Pesan Perdamaian Umat Beragama
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Mengangkat Kearifan Lokal, Merawat Keberagaman: Pesan Damai dari Kaki Lawu, Penulis: Komunitas Lintas Iman Janur Lawu Ngargoyoso, Editor: Muhammad Taufik Ismail, Penerbit: Imparsial, Jakarta, Cetakan: Kedua, Mei 2021, Tebal: 116 halaman, Peresensi: Indarka Putra Pratama.

Harakatuna.com – Heterogenitas Indonesia telah dipahami sebagai konsekuensi dari negara kesatuan yang mempunyai wilayah geografis yang luas. Khazanah suku, ras, budaya, agama, dan hal-hal lainnya ialah keniscayaan yang hingga kini senantiasa dirawat. Apabila mengaca pada keunikan itu, kita akan menemukan banyak wilayah di Indonesia yang dapat dikatakan sebagai representasi kecil, atau lebih akrab disebut “miniatur negara”.

Di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, terdapat satu kecamatan yang memiliki ciri sebagaimana yang saya singgung di awal, yaitu Kecamatan Ngargoyoso. Sebagai gambaran untuk memahami betapa uniknya Ngargoyoso dapat dilihat dari keberadaan 3 (tiga) rumah ibadah yang dibangun di atas kompleks yang sama. Di Balai Desa Ngargoyoso, sebuah Masjid, sebuah Gereja, dan sebuah Pura dapat berdiri kokoh berdampingan.

Di negara ini—yang kurang lebih dalam satu dekade terakhir selalu disibukkan oleh isu ekstremisme penganut agama, fakta berdirinya ketiga rumah ibadah tersebut adalah sebuah kemewahan. Maka tak heran kalau krisis integritas sosial menjadi isu ‘seksi’ yang dapat digolongkan ke dalam arus utama dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun swasta.

Buku Mengangkat Kearifan Lokal, Merawat Keberagaman: Pesan Damai dari Kaki Lawu ini sebentuk dokumenter yang mengabadikan pemikiran tokoh-tokoh lokal lintas agama di Ngargoyoso. Eksistensi 3 (tiga) rumah ibadah itu tentu tidak akan berarti apa-apa apabila masyarakat masih memiliki tingkat eksklusivitas tinggi terhadap perbedaan. Boleh dibilang rerata dari mereka malah sudah ‘selesai’ dengan urusan itu.

Karenanya, penggalian mendalam pemikiran para tokoh sentral lintas agama sangatlah penting untuk mengetahui sejauh mana mereka menyadari perbedaan, melakukan penerimaan, dan lebih jauh lagi, bersikap setoleran mungkin.

Buku setebal 116 halaman ini terbagi ke dalam 5 (lima) bagian utama. Muhammad Taufik Ismail selaku penyunting menerangkan bahwa penyusunan tulisan dari para tokoh Ngargoyoso ini melalui proses panjang. Mulai dari wawancara terpusat, transkripsi, editing minor, dan konfirmasi akhir kepada para tokoh, sebelum akhirnya dihimpun dan diterbitkan menjadi sebuah buku utuh. Dengan demikian, Taufik memberi pernyataan jaminan bahwa pendapat para tokoh Ngargoyoso ini tidak bergeser jauh dari makna oralnya.

Pendapat Para Tokoh

Bagian pertama bertajuk “Kerukunan dan Kebudayaan”. Ahudin, seorang tokoh Nahdatul Ulama Ngargoyoso menganalogikan kedamaian agama seperti kesenian ketoprak. “Dalam ketoprak bisa saja pemainnya (pemeran) berasal dari semua agama, semua berkolaborasi, ada perannya masing-masing. Ada yang bertugas di alat musik, ada yang tata rias, ada yang jadi tokoh memainkan peran. Semua ini berkolaborasi.” (hlm. 23).

Ia juga berpendapat bahwa seluruh agama di muka bumi diturunkan untuk menyejahterakan manusia dengan akhlak mulia. Baginya, agama merupakan pilihan masing-masing individu, oleh karenanya harus dihargai.

Senada dengan Ahudin, Sujarwo juga menyadari kalau kerukunan adalah kebutuhan fundamental yang harus hidup di tengah-tengah masyarakat. Sujarwo pun mengambil contoh sapu lidi. “Ketika hanya satu biji lidi, tidak akan bisa menyelesaikan apa-apa. Tapi kalau sudah bersatu, kompak menjadi sapu lidi, akhirnya bermanfaat, bisa membersihkan halaman dan lainnya. Itulah kerukunan.” (hlm. 29).

BACA JUGA  Ketakutan Akut Akan Islamisme, Keniscayaan atau Ironi Dunia Islam?

Bagian buku berikutnya ialah “Kerukunan dan Manajemen”. Perdamaian yang saat ini terjalin di tengah-tengah masyarakat Ngargoyoso tidaklah lahir dari ruang hampa. Ia tercipta atas dasar rasa tepa salira setiap individu.

Edi Susanto Zebua, salah seorang jemaat gereja di Ngargoyoso, memberi tegas bahwa komunikasi antarumat beragama merupakan kunci utama. Inklusitifas—atau setidaknya mau mendengarkan—terhadap pendapat umat beragama lain dirasa begitu penting. “Kerukunan itu tidak tercipta tiba-tiba, perlu usaha dari masing-masing pihak untuk saling menjaga hubungan baik.” (hlm. 39).

Kondusifitas hidup antarumat beragama pada dasarnya memerlukan manajemen yang baik. Lewat paparan beberapa tokoh lintas agama Ngargoyoso, kita beroleh paham bahwa banyak cara untuk memupuk perdamaian dan kerukunan. Cara-cara itu juga tidak melulu bertalian langsung dengan urusan agama.

Sarana kesenian dan/atau kebudayaan, kewirausahaan, dan kepentingan sosial bahkan memiliki porsi dominan. Dengan tidak mengesampingkan spirit toleransi, sarana-sarana itu menjadi ‘senjata’ ampuh masyarakat Ngargoyoso merawat keselarasan hidup mereka.

Dari sekian banyak pendapat para tokoh lintas agama Ngargoyoso, pendapat yang paling menarik perhatian berasal dari Suwarno. Sesepuh umat Hindu tersebut secara sederhana menjelaskan konsep kerukunan dalam dimensi mikro dan makrokosmos. “Manusia itu perwujudan alam semesta. Dalam diri kita terdapat komponen-komponen alam seperti api, air, tanah, dan udara. Unsur-unsur ini juga terekspresikan dalam sifat keseharian. Api yang membakar bisa merusak atau menghidupi. Air juga demikian, bisa menjadi sumber penghidupan atau justru jadi bencana karena berlebihan. Tanah yang di bawah menjadi fondasi, namun suatu saat bisa menjadi bencana juga, seperti tanah longsor. Angin juga demikian, menyegarkan, tetapi jika berlebihan, mengeluarkan egonya menjadi angin ribut.” (hlm. 12).

Egosentrisme adalah masalah besar seseorang. Ketika ia tak mampu mengendalikannya, terutama dalam menyikapi keberagaman dasar seperti agama, maka sejatinya kehancuran tengah mengintai, menunggu pecah pada waktu tertentu. Suwarno kemudian mendedah pengetahuan kerukunan yang terdiri dari tiga level: pengertian, pemahaman, dan penghayatan.

Menurutnya, “pengertian” ialah sebatas tahu saja, sedangkan “pemahaman” yaitu memahami bagaimana peran agama bagi manusia. Di level ketiga yaitu “penghayatan”. Selain pemahaman menyeluruh, baik dalam pikiran maupun tindakan, kerukunan beragama ini sudah mulai menyatu ke dalam batin; naluriah. “Dalam level penghayatan, agama sudah menjadi sumber kerukunan yang menghidupi semua.” (hlm. 14).

Pada akhirnya, sekecil apa pun, the messages of peace harus terus-menerus didokumentasikan dan disebarluaskan. Gagasan-gagasan para tokoh lintas agama Ngargoyoso yang dirangkum dalam buku ini memanglah sederhana. Namun siapa sangka, melalui pola pikir seperti itulah kini masyarakat Ngargoyoso mampu menjaga erat perdamaian dan kerukunan umat beragamanya. Apa yang disampaikan para tokoh lintas agama Ngargoyoso sudah selayaknya diduplikasi ke lapisan akar rumput di wilayah lain di Indonesia.

Indarka Putra
Indarka Putra
Alumni Fakultas Syariah IAIN Surakarta, Ketua Umum Generasi Baru Indonesia (GenBI) Jawa Tengah periode 2020-2022, bermukim di Telatah Kartasura.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru