29 C
Jakarta

Mendamaikan Yerussalem dan Upaya Memberantas Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahOpiniMendamaikan Yerussalem dan Upaya Memberantas Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Agama memang terkadang menjadi candu yang berbahaya dan banyak dari umat manusia menikmatinya. Menilik penyerangan Israel terhadap Palestina di Yerussalem, agamalah yang menyulut konflik tak berkesudahan tersebut. Di dalam Islam, memang terdapat ajaran jihad fi sabilillah yang saat ini disalahpahami oleh banyak komplotan teroris. Mereka menganggap melakukan aksi bom bunuh diri sebagai salah satu bentuk jihad fi sabilillah yang dijanjikan surga oleh Allah swt.

Jihad secara bahasa berarti berjuang, bersungguh-sungguh. Dari sekian banyak literatur sejarah dapat diambil kesimpulan bahwa jihad dalam bentuk perang dan mengangkat senjata adalah bertujuan membebaskan suatu wilayah yang berada di dalam kegelapan dan kesesatan pada ketauhidan, yaitu suatu keadaan di mana rakyat di wilayah tersebut tidak dapat dengan bebas untuk menganut agama Islam dan menjalankan ajarannya. Itupun dilakukan setelah ajakan damai melalui jalur diplomatik oleh pemimpin negara.

Jihad dalam arti perang juga pernah dilakukan dengan tujuan untuk melindungi negara dan kehidupan umat yang terancam oleh serangan musuh yang menghendaki penjajahan yang merampas kebebasan umat. Sehingga mengartikan jihad dengan perang di NKRI di saat damai saat ini adalah hal yang tidak relevan, keliru, dan sesat.

Dan menyebut pembunuhan, pengeboman tempat Ibadah umat beragama, dan pemberontakan baik melalui angkat senjata, demonstrasi, anarkis, ataupun upaya politis disebut sebagai jihad adalah kesesatan dan kekeliruan fatal.

Ada satu cerita yang patut diambil ibrahnya oleh umat Islam. Cerita ini terjadi saat Abu Bakar menjadi pemimpin umat Islam. Saat itu pasukan muslimin sudah memasuki dan membebaskan Syam. Amru bin Ash dan Syurahbil bin Hasanah mengirimkan kepala Ban’an, salah satu pendeta tertinggi di Syam kepada Abu Bakar.

Sebagai sahabat terdekat Nabi Muhammad yang sangat memahami bagaimana cara Nabi berdakwah dan berperang, Abu Bakar marah dengan tindakan Uqbah bin Amir yang datang dengan kepala Ban’an tersebut. Uqbah bin Amir berkata, “Inilah yang mereka lakukan kepada kita wahai khalifah Rasulullah”. Abu Bakar menjawab, “Haruskah kita melakukan sesuatu yang dilakukan Romawi dan Persia?”.

Konflik di Timur Tengah Pemantik Radikalisme di Nusantara

Karakter bangsa dan rakyat Indonesia mudah tersentuh hatinya dan lembut jiwanya mudah sekali digerakkan untuk bergabung dengan kelompok-kelompok radikal. Berbekal rasa empati kepada saudara seiman mereka yang saat ini keadaannya tertindas dan dijajah oleh Barat dan Eropa. Terlebih mereka yang minim paham tentang agama, mereka yang baru belajar tentang Islam ketika sudah memasuki usia dewasa dan belajar pada guru yang salah.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa kondisi umat Islam di beberapa negara di Timur Tengah, semisal di Yerusalem Palestina dan Suriah menjadi seperti saat ini, dimulai dari runtuhnya Turki Utsmani. Kekhalifahan yang sampai akhir dari keberadaannya tetap berjuang menjaga wilayah-wilayah yang berbaiat berada di bawah perlindungannya dari penjajahan kolonial dan Barat. Sehingga tidaklah mengherankan jika istilah “Khilafah” menjadi jualan yang laris oleh kelompok-kelompok radikal.

BACA JUGA  Harmoni Ramadhan: Antara Saleh Ritual dan Saleh Sosial

Kapan Yerussalem Bisa Kembali Damai?

Baru-baru ini kabar duka kembali datang dari berbagai aksi intoleran rezim Israel. Pada awal Ramadhan tahun ini (16/4/21) rezim Israel mencegah dikumandangkannya azan dari Masjid Al-Aqsha. Yahudi Israel merasa terganggu dengan suara azan dari Al-Aqsha saat mereka sedang melakukan ritual di tembok ratapan.

Berlanjut dari kejadian itu sekelompok polisi Israel menyerang umat Islam yang sedang melaksanakan ibadah salat Isya dan tarawih dengan granat kejut dan peluru karet (8/5/21). Jika kejadian-kejadian semacam itu terus berlanjut, maka toleransi dan moderasi seperti apa yang hendak diciptakan oleh rezim Israel di bumi Yerussalem?

Itu merupakan salah satu kejadian yang mungkin semakin membuat hati umat Islam dunia tersakiti dan tidak heran jika mereka yang minim pemahaman agamanya dan berjumpa dengan paham radikal berani melakukan aksi-aksi konyol. Yerussalem sendiri adalah satu wilayah yang di zaman Mesir Kuno disebut Salem, wilayah yang sudah berulang kali menjadi rebutan, utamanya oleh Bani Israel. Agama merupakan faktor utama seringnya terjadi peralihan kekuasaan di wilayah tersebut.

Islam membebaskan wilayah tersebut pertama kali di era Umar bin Khattab, berikutnya setelah lepas sekian tahun, Yerussalem dibebaskan kembali oleh Salahuddin al-Ayyubi. Perang pembebasan yang dikenal dengan perang salib, sebab lawan Salahuddin juga membawa nama agama sebagai alasan untuk mempertahankan dan merebut wilayah tersebut.

Saat Islam berkuasa di wilayah tersebut, ketiga agama samawi yang menganggap suci wilayah tersebut hidup dengan damai dan akur, sebagaimana yang dicontohkan dua sahabat terdekat Rasulullah: Abu Bakar dan Umar. Keduanya sangat menghormati kebebasan menganut dan menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Terakhir, negara harus memberikan perhatian lebih lagi untuk memperjuangkan perdamaian di bumi Yerussalem, sebagaimana diamanat pembukaan UUD untuk terlibat aktif menciptakan perdamaian dan menghapus segala bentuk penjajahan di atas dunia.

Sampai saat ini langkah pemerintah Indonesia sudah sangat tepat dengan tidak membangun hubungan bilateral dengan Israel. Hal semacam ini seharusnya diketahui dan dipahami oleh umat agar mereka tidak mudah terjebak pada rayuan paham khilafah, yang menganggap pemerintah berdiam diri dan membiarkan penjajahan dan penindasan di Yerussalem Palestina. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Muhammad Izul Ridho
Muhammad Izul Ridho
Mahasiswa Jurusan Studi Islam, Pascasarjana UIN Khas Jember.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru