33 C
Jakarta

Mendadak Ustazah : Realitas Copas WA dalam Perspektif Identitas Komunikasi

Artikel Trending

KhazanahMendadak Ustazah : Realitas Copas WA dalam Perspektif Identitas Komunikasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam beberapa bulan ini, penulis menemukan banyak sekali kekacauan komunikasi dalam grup whatsapp, salah satunya kehebohan “chat” di group RW (rukun warga) yang dipicu seorang emak-emak,  tetangga berbeda blok. Dia mengingatkan agar bila mengucapkan insya Allah dengan menggunakan sy bukan sh karena artinya akan berbeda, sambil menyertakan gramatikanya yang ia copy paste dari aplikasi google. Alih-alih  mendapatkan respons positif, ia justru mendapatkan serangan verbal, malah di-bully belasan ibu-ibu dan bapak-bapak dengan kalimat hampir serupa yang intinya, “halooo, emang lo ustazah?”

Pernah meledak pula perdebatan seru mengenai ucapan idul fitri, “salam”, “amin”,  misal, apakah wa‘alaikumsalam atau wa‘alaikumussalam. Si pengirim teks atau konten dan yang dikirim masing-masing merasa paling benar, dengan mengirim balik contoh-contoh argumen hasil copasan dari grup sebelah juga. Padahal, mereka yang bertarung verbal di WA ini adalah ibu-ibu awam yang sepertinya baru belajar Islam di usia dewasa, belajar dari google pula.

Tak dipungkiri, inilah realitas era digital. Bahwa setiap menit jaringan pribadi (japri) dan WAG obrolan  dibanjiri siraman rohani, renungan agama, tausiah, dan sejenisnya tanpa filter, keterangan tambahan, edit, revisi, dialog, dan hanya ambil lalu share. Seringkali dengan catatan “Tolong sampaikan ke sepuluh orang, maka keberuntungan akan datang dalam tiga hari!”

“Hari gini gak copas?”  Bisa tidak terjadi bagi mereka yang mungkin tak memiliki telepon seluler atau ponselnya yang tak ber-android. Meski hanya copy paste promosi. Salah kah copas? Tentu tidak, bahkan sah-sah saja men-copas pada dan dari orang-orang tertentu atau grup yang sesuai. Bisa diakui dari copas-copas itu segudang informasi, pengetahuan, ilmu, kesempatan, perubahan perilaku, pemecahan masalah, teman dekat, bahkan uang saku dapat diperoleh setiap menitnya. Kran informasi yang entah muaranya dari mana, yang pasti tiada hari tanpa copas-an  “nangkring” dalam ponsel setiap penggunanya.  Dan, setiap pengguna bebas saja mau menerimanya atau tidak, mau mengirimkan balik atau tidak.

Aktivitas Ustazah Dadakan

Inilah kelaziman di era digital. Entah itu informasi yang bermanfaat atau sampah, copas bertebaran dan banyak yang tak bertuan. Jika mengambil yang dianggap bermanfaat, semisal copas kultum (kuliah tujuah menit) semacam siraman rohani atau konten-konten agamis, nasihat yang menyertakan ayat-ayat, hadits, tafsir, dan sejenisnya. Utamanya, pesannya bisa persuasif atau hanya ingin membujuk dan memengaruhi mindset dan perilaku yang membacanya. Sering pula yang koersif atau konten yang berisi kata-kata keras bahkan mengancam. “Bila tidak disebarkan, maka Anda bukanlah hamba Allah!”

Saat ini, manusia mana yang tak tahu aplikasi obrolan paling populer di Indonesi, whatsapp, yang digunakan sekitar lebih dari 35 juta orang? Mereka dari segala umur dan pendidikan, status, suku, dan lainnya dapat membuat komunitas atau kelompok WAGnya sendiri. Kebanyakan, seorang ibu rumah tangga pengguna whatsapp memiliki puluhan WAG sesuai aktivitas sosial masing-masing. Ini memperlihatkan betapa gemarnya masyarakat perempuan mengobrol. Karena itu, perempuan lah yang sering dikaitkan dengan aktivitas mengobrol bahwa secara historis perempuan Indonesia memiliki budaya lisan atau tradisi “mulut ke mulut”. Makanya, ada pepatah dalam masyarakat tradisional Indonesia kalau “mulut perempuan itu dua”.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Dahulu, orang tua memiliki kebiasaan “nyiaran kutu” (bahasa Sunda) secara berantai di tangga rumah untuk saling bertukar cerita dan nasehat. Selain itu, acara mencuci baju di sungai pun bisa menjadi media mengobol yang asik dan seru di kalangan perempuan (Pambayun, 2009). Deborah Tannen pun mengasumsikan kebiasaan mengobrol perempuan sebagai sebuah pola komunikasi yang unik yang tidak dimiliki laki-laki (Tannen, 1996). Realitas ini terjadi seiring transformasi sosial budaya, dari masyarakat kolektif menjadi individualis. Sehingga ponsel menjadi bagian dari media komunikasi yang tak terpisahkan dari kehidupan sosialnya.

Kemudahan ponsel dalam menerima dan mengirim informasi memicu semangat kaum perempuan membumikan Islam dan gerakan hijrah di tanah air ini.  Suatu fenomena yang perlu disikapi dengan positif, karena menurut pengalaman penulis di era sebelum ponsel merajai hidup masyarakat kini. Jangankan menggerakkan dakwah, untuk dapat menutup aurat bagi muslimah saja perlu “perang mulut” dulu, baik dengan sesama perempuan maupun  lelaki.  Apalagi, google kini menjadi salah satu sumber vital bagi begitu banyak kutipan ayat, hadist, tafsir, doa, dan ceramah agama. Hanya perlu mengunduh dan mengunggah kembali di WAG atau media sosial lain.

Kebiasaan Perempuan di Era Media Sosial

Seringkali rekan-rekan, tante – tante, tetangga, bawahan, atasan, bahkan asisten rumah tangga kita yang berkapasitas “tak melek agama”. Namun, mampu menjadi “agen sebar” yang sangat aktif memviralkan tausiah-tausiah dan pesan-pesan agama berkat fasilitas WA. Bahkan, fenomena menarik beberapa tahun belakangan ini “mendadak” muncul berbagai metode dan gaya belajar agama Islam by Wa dapat ditemui di grup-grup obrolan. Orang tidak perlu sering menghadiri majelis taklim untuk mengaji, tidak perlu pula mengundang ustaz atau pun ustazah.  Asatizah “dadakan” telah hadir di ruang kita setiap waktu.

Mendadak ustazah yang lahir dari kesadaran berhipersosial di aplikasi WA tersebut bertolak dari asumsi-asumsi sosio-politis yang bertebaran secara tak terbendung dan tak berimbang pada perempuan. Tulisan (baik ditulis sendiri atau copas) sebagai suatu bentuk teks atau wacana menjadi sangat signifikan sebagai manifestasi proses produksi dan resepsi yang diembannya. Identifikasi yang dilakukan perempuan terhadap adanya stigma dan peminggiran mendorong reaksi untuk mengaktualisasikan diri melalui WA atau WAG melalui konten-koten agama yang dengan mudah diaksesnya.

Karena itu, penulis tak ingin berpanjang lebar mengupas perkembangan atau mengkritisi copas di medsos. Sehingga secara fokus ingin menyoroti kecenderungan perempuan dalam mencopas konten-konten agama (Islami) pada individu atau grup-grup yang dimilikinya di aplikasi WA (watshapp). Kebiasaan “ngopas” di kalangan perempuan ini kemudian ternyata, selain mengidentifikasi dan mengkontruksi sebuah identitas khusus pada para pelakunya. Sepertinya, “mendadak ustazah” melalui pisau analisis Dakwah bil Technoreligion,  Identitas Komunikasi Gender, dan Kritik Feminin Writing Helena Cixous.

Oleh: Ellys Lestari Pambayun

Dosen Komunikasi Penyiaran Islam-Fakultas Dakwah Institut PTIQ  Jakarta dan Peneliti Perilaku Komunikasi Masyarakat.

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru