30.1 C
Jakarta

Mencintai atau Melepaskan? (Bagian XXX)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMencintai atau Melepaskan? (Bagian XXX)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Nadia banyak kenal dengan santri putra, termasuk pengurus. Di samping karena lama belajar di pesantren, nama Nadia lebih dulu tenar sebelum Diva naik daun.

Terpaksa memeras otak juga Nadia mencari orang yang bisa melacak nasab Fairuz. Nadia membayangkan seperti hidup di zaman kuno yang serba mempertimbangkan persoalan keturunan. Tapi, memang begitu kenyataannya.

Melalui Kang Arfan, ketua pengurus pesantren, Nadia meminta bantuan untuk melihat data santri. Karena di data itu terdaftar nama orangtuanya, sekaligus profilnya, mulai dari pekerjaan sampai penghasilan setiap hari.

Hari demi hari belum ada kabar. Pada hari ketiga kabar itu melayang ke Nadia. Nadia mencatat setiap apa yang disampaikan Kang Arfan. Tak ubahnya wartawan yang sedang meliput informasi.

* * *

Di tengah penantian Nadia memanggil Diva. Nadia menceritakan semuanya. Dari apa yang Nadia sampaikan, intinya Diva baru tahu, bahwa Fairuz terlahir dari orang yang biasa. Bukan keturunan Kyai. Pekerjaan orangtuanya bertani layaknya pekerjaan orang-orang Madura pada umumnya. Bahkan, orangtuanya tidak punya latar pendidikan sampai Sekolah Dasar, karena dahulu masyarakat pada ketakutan kalau mau disekolahkan oleh pemerintah, akhirnya orangtua Fairuz tidak punya ijazah satu pun.

Fairuz menjadi seperti sekarang, hafidz Al-Qur’an, penulis hebat dan namanya tenar di pelosok Nusantara, sekalipun secara penghasilan dibilang mencukupi, semua itu berangkat dari semangat Fairuz sendiri demi mengangkat harkat dan martabat kedua orangtuanya. Fairuz selalu ingat pesan Eppa’ yang banyak merubah hidup: Bahagiakan orangtuamu, Nak, dengan ilmu. Karena ilmu itu abadi. Cukuplah Eppa’ dan Emma’ yang menderita dalam kebodohan karena dahulu malas belajar. Fairuz harus menjadi orang terhormat. Jadi, Eppa’ dan Emma’ merasakan kebahagiaan yang Na’ Fairuz gapai.

Belum pernah Diva mengetahui soal kepribadian Fairuz sedalam ini. Selama kurang lebih tiga tahun mereka hanya mengobrolkan soal cinta Romeo dan Juliet, cinta Zahrana dalam novel Cinta Suci Zahrana, sampai memperbincangkan masa depan, termasuk kalau nanti punya anak dikasih nama siapa dan hidup di mana. Kadang di tengah candanya suasana mengharukan, kadang membahagiakan. Sedangkan, bebet-bobot tidak pernah disinggung.

Bagaimana pun keadaan Fairuz, Diva tidak peduli. Karena, cinta telah membutakan Diva. Padahal di sekeliling Diva ada adat Madura yang serba ketat.

Tepat di siang hari Nadia menemani Diva ngobrol bersama Ummi di ganggang telepon. Dipencetlah dua belas digit dan panggilan masuk. Tuuutttt. Tapi belum juga diangkat. Ummi biasanya baru selesai mengajar di pesantren saat siang menjelang. Tuuuttt. Tiba-tiba suara Ummi terdengar lembut.

BACA JUGA  Menjaga Persatuan dalam Keberagaman Agama

“Diva?” tanya Ummi setelah memanggil salam.

“Benar, Mi.” Diva menjawabnya dengan singkat.

“Kengen Ummi?” goda Ummi seolah Ummi lupa perbincangan Diva kemarin.

“Ummiii, kangen lah. Diva mau ngomongin soal Fairuz itu.” Diva bicara langsung seperti anak panah yang mengenak sasaran.

“Ooo ya, Ummi sudah bicara kemarin sama Abah. Ya, Abah hanya berpesan, lihat nasabnya.”

Mendengar pesan Abah, Diva sedikit kendor, tapi masih bangkit untuk meyakinkan orangtuanya.

“Diva udah cari tahu. Tapi…” Diva tidak berani meneruskan seakan suaranya hilang.

“Div, bicara aja sama Ummi. Jangan takut.” Nadia membisikanya. Matanya mulai berair.

“Div?” panggil Ummi di ganggang telepon.

“Fairuz bukan anak Kyai, Mi.” Semua yang diceritakan Nadia disampaikan kepada Ummi, sehingga Ummi mengerti.

“Abah keberatan kalau begitu, Nak.”

“Apa yang istimewa dari keturunan Kyai, Mi?” Air mata Diva makin deras. Untung warung teleponnya tertutup. Tidak ada yang mendengar tangisan Diva selain Nadia dan Umminya.

“Abah tidak mengharuskan keturunan Kyai. Tapi, nasabnya yang bagus, Nak. Karena, kata Abah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”

Diva terdiam. Tidak berani berdebat, karena membantah orangtua termasuk akhlak yang tidak baik.

“Carilah calon imam yang baik, Nak. Karena ia akan menentukan masa depanmu dan pesantren di rumah. Abah dan Ummi mengharapkan seorang lelaki yang bisa meneruskan pesantren.”

Tut-tut-tut. Telepon seketika mati. Ternyata, waktu menelepon sudah habis. Setiap santri dikasih jatah telepon paling lama setengah jam. Tak terasa waktu selama itu seakan sebentar. Nadia menghibur Diva yang sedang nelangsa, seakan jiwanya tercabut dari badannya. Hilang segala harapan yang didamba-dambakan. Keluar dari warung telepon muka Diva masih kusut.

Persoalan ini belum merambah ke telinga Fairuz. Tapi, pada akhirnya Fairuz harus tahu. Entahlah, kapan waktu yang tepat untuk Diva menceritakan ini semua. Biarkan waktu yang mengatur semuanya. Bayang-bayang tanya terbesit dalam benaknya, Mencintai atau melepaskan?

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru