26.7 C
Jakarta

Mencari Ke-Rahmah-an Kaum Pembela Kehormatan

Artikel Trending

KhazanahMencari Ke-Rahmah-an Kaum Pembela Kehormatan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Dalam konteks mencari ke-rahma-an hidup, di dekat pintu sudut kota Madinah terdapat seorang pengemis buta yang berkeyakinan Yahudi. Setiap orang yang masuk kota Madinah, tak lupa ia berpesan: “Jangan pernah engkau dekati Muhammad. Dia itu orang gila, pembohong, dan tukang sihir.”

Mesipun begitu, Nabi sering mendatanginya dengan membawakan sedikit makanan kemudian menyuapi sang pengemis tersebut. Tidak banyak kata yang beliau keluarkan, Nabi terus menyuapinya dengan penuh kasih sayang. Hal itu terus menerus beliau lakukan hingga menjadi suatu kebiasaan. Di tengah aktivitas itu, tak lupa pengemis memberi wejangan agar tidak mendekati Nabi Muhammad, seseorang yang sering disebutnya sebagai tukang sihir. Dia tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya adalah orang yang selalu dia hina.

Menebar Ke-Rahmah-an Hidup

Sementara itu, kejayaan demi kejayaan yang diraih umat Islam menandakan selesainya tugas Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Tuhan. Benar saja, selama beberapa waktu beliau dilanda sakit dan hal itu menghantarkan Nabi menuju tempat kekasih yang sangat dicintainya. Abu Bakar yang telah ditunjuk Rasul sebagai penerus pemegang kekuasaan pergi bertanya ke rumah putrinya Aisyah.  

“Wahai putriku, adakah satu sunnah kekasihku (Rasulullah SAW) yang belum aku tunaikan?” tanya Abu Bakar.

Aisyah pun menjawab, “Wahai ayahku, engkau adalah seorang ahli sunnah, dan hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum engkau lakukan kecuali satu saja”.

“Apakah itu?”                                     

“Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang sering duduk di sana,” ungkap Aisyah.

Maka keesokan harinya, Abu Bakar pergi ke tempat yang dimaksud oleh Aisyah sambil membawa makanan. Betapa senangnya Abu Bakar mendapati pengemis buta yang duduk disana. Setelah mengucapkan salam, Abu Bakar duduk dan meminta izin untuk menyuapinya. Namun, di luar dugaan pengemis tadi malah murka dan membentak-bentak, “Siapakah kamu!?”

Abu Bakar menjawab, “Aku ini orang yang biasa menyuapimu.”

“Bukan! engkau bukan orang yang biasa mendatangiku,” teriak si pengemis lagi, “Jikalau benar kamu adalah dia, maka tidak susah aku mengunyah makanan di mulutku. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menghaluskan makanan terlebih dahulu dengan mulutnya sendiri. Barulah kemudian dia menyuapiku dengan itu,” terang si pengemis sambil tetap meraut wajah kesal.

Abu Bakar tidak kuasa menahan deraian air matanya, “Aku memang bukan orang yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, Abu Bakar. Orang mulia itu telah tiada. Dia adalah Rasulullah Muhammad SAW.”

Mendengar penjelasan Abu Bakar, pengemis tadi seketika terkejut. Dia lalu menangis keras. Setelah tenang, dia bertanya memastikan, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghina, memfitnah, dan menjelek-jelekan Muhammad. Padahal, belum pernah aku mendengar dia memarahiku sedikit pun. Dia yang selalu datang kepadaku setiap pagi dengan membawakan makanan. Dia begitu mulia.”

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme: Narasi Keislaman Mengatasi Ekstremisme

Kisah tersebut sedikit menyinggung pola beragama kita yang mulai luntur dari ajaran kasih sayang sang rasul. Kita lebih memilih kekerasan daripada memaafkan ketika orang yang kita sayang terancam kehormatannya. Tak terasa kita dididik untuk membela kehormatan dan kesucian seseorang dengan rasa kebencian. Hukum kafir sampai bunuh yang lebih kita pilih daripada mendidik dan mendoakan kebaikan bagi yang melakukan kesalahan.

Meneladani Akhlak Nabi

Akhlak Nabi telah mengajarkan kita untuk menebar kasih sayang kepada siapapun termasuk yang menghina sekalipun. Dalam kisah pengemis Yahudi, Nabi mengajarkan untuk membalas kejahatan dengan perlakuan baik dan mengikhlaskan. Karena menghukum, menyakiti, mengolok, bahkan membunuh seseorang dalam rangka membalas hinaan seseorang bukanlah etika yang dibenarkan.

Islam datang sebagai rahmah dimaksudkan untuk mengubah sifat kasar menjadi lentur dan penuh kedamaian. Islam selalu menegaskan bahwa orang yang sabar berada pada sisi Tuhan. Dan Nabi Muhammad datang, salah satunya untuk mengajarkan sifat sabar kepada umat Islam. Oleh karena itu, sifat gampang tersinggung dengan membawa nama Nabi ataupun agama Islam menjadi suatu masalah yang berpotensi merusak citra ke-rahmah-an agama Islam.

Ke-rahmah-an Nabi tergambar jelas dalam al-Qur’an yang artinya: “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (Q.S. Al Fushilat: 34-35).”

Dari ayat itu dapatlah diambil suatu pelajaran bahwa lebih menguntungkan membalas kejahatan seseorang dengan suatu jalan kebaikan. Karena sabar termasuk sifat yang baik dan dianugerahkan kepada orang yang memiliki keuntungan yang besar.

Maka sudah seharusnya, kita berfokus bagaimana caranya memperbaiki segala sesuatu dengan cara yang baik. Sudahi urusan saling menyudutkan kelompok tertentu atas perbuatan yang mungkin tidak sengaja mereka lakukan. Dan teruslah bangun ukhuwah meskipun banyak perbedaan yang ada.

Saya sendiri berhusnudzon, ketika Nabi melihat berbagai kasus kriminalisasi terhadap dirinya yang marak diangkat belakangan ini, beliau akan lebih memilih tersenyum dan mendoakan kebaikan mereka, bukan mengerahkan umat Islam untuk membalas ataupun membunuh orang-orang yang mungkin tidak sengaja menghina namanya.

Oleh: Muhammad Nur Faizi

Penulis, adalah Mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Sunan Kalijaga

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru