26.2 C
Jakarta

Menangkap Munarman, Memutus Jaringan Terorisme FPI

Artikel Trending

Milenial IslamMenangkap Munarman, Memutus Jaringan Terorisme FPI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Munarman, advokat dan aktivis HAM, mantan Ketua Umum YLBHI, mantan Sekretaris Umum FPI dan kemudian beralih menjadi Panglima Komando Laskar Islam, ditangkap Densus 88 Antiteror Mabes Polri di kediamannya di Perumahan Modern Hills, Cinangka, Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (27/4), pukul 15.30 WIB. Aparat menangkap Munarman atas dugaan terorisme.

Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono mengatakan, Munarman diduga bermufakat jahat, menggerakkan orang lain, untuk melakukan tindak pidana terorisme. Namun belum rinci terkait kasus apa tindak pidana tersebut. Saat ini, Munarman berada di Polda Metro Jaya. Menyikapi penangkapan tersebut, sejumlah kalangan merespons setuju, dan sementara lainnya masih heran, tidak menyangka.

“Ini masih didalami nanti akan disampaikan, nanti akan dilakukan pemeriksaan oleh tim dari Satgaswil Gegana,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di Polda Metro Jaya, melansir dari CNN Indonesia.

Sementara Densus 88 menangkap Munarman, Tim Pusat Laboratorium Forensik Polri tengah mendalami temuan sejumlah botol berisi serbuk Triaseton Triperoksida (TATP), yang biasa dipakai sebagai bahan peledak, saat menggeledah bekas markas FPI di Petamburan. Bahan peledak tersebut sama dengan temuan saat menggerebek terduga teroris di Condet dan Bekasi beberapa waktu lalu.

Ada dua hal, yang penting kita sikapi, dalam langkah aparat menangkap Munarman. Satu sisi, anggapan bahwa pemerintah bersikap represif, dan di sisi lainnya, fakta bahwa terorisme memiliki jaringan bahwa tanah, tidak bisa terbantahkan. Kasus Munarman belum final, dan pendugaan yang menimpanya tidak lepas dari rekam jejaknya sendiri, utamanya ihwal pembaiatan pada ISIS pada 2015 silam.

Dengan statusnya yang masih terduga, dan cara penangkapannya yang sejumlah orang menyebutnya terlalu kasar, bahkan Munarman tidak diizinkan mengambil sandalnya dulu saat peringkusan, apakah lantas benar bahwa menangkap Munarman merupakan langkah represif rezim?

Menangkap Munarman: Represif?

Jawabannya tidak cukup dengan ‘iya’ atau ‘tidak’. Kata ‘represif’ itu subjektif. Tergantung sedekat apa ia yang subjek, atau sebaliknya, sejauh apa ia dengan subjek tersebut. Fadli Zon, misalnya, yang memiliki kedekatan emosional dengan Munarman sebagai sesama oposan, pasti tidak percaya Munarman terlibat terorisme. Di sini Fadli Zon merupakan pihak insider, yang sikapnya lahir berdasarkan sensitivitasnya terhadap semua yang berkaitan dengan Munarman.

Begitupun dengan pihak yang sama sekali tidak memiliki kedekatan dengan subjek, atau berposisi sebagai pihak outsider, akan memengaruhi pandangannya terhadap subjek. Vedi Hadiz (2018), dalam riset lapangan tentang Muslim populis di Indonesia, mengatakan bahwa pembubaran HTI melalui Perppu merupakan langkah represif Jokowi untuk meredam oposisi. Padahal, kalau diselisiki, langkah tersebut memang laik, menimbang masifnya gerakan HTI ketika itu.

Begitu pula ketika kita melihat aparat menangkap Munarman. Kita harus bertolak dari gerakan ia sendiri. Gerak-gerik Munarman kerap kali berada di balik aksi-aksi demonstrasi ke Monas, ketika musim Aksi Bela Islam kemarin. Ketika FPI jadi ormas terlarang, bukan tidak mungkin ia akan menggerakkan orang lain terhadap aksi yang lebih keras, yaitu terorisme. Apalagi jika kita melihat posisinya sebagai representasi FPI satu-satunya, yang terkuat, setelah Habib Rizieq berada di tahanan.

BACA JUGA  Ketika Ulama dan Intelektual Membebek Pada Penguasa

Selain melihat perspektif sejauh dan sedekat apa dengan subjek, melihat represif atau tidaknya menangkap Munarman dapat kita lihat menggunakan pertanyaan reflektif: kalau ia tetap bebas berkeliaran, dampak buruk apa yang akan terjadi. Tentu jawaban analisis terhadap pertanyaan ini harus mendalam, sekali lagi, karena terorisme merupakan underground movement, gerakan bawah tanah. Sebab boleh jadi yang terlihat baik, ternyata tidak sebaik kelihatannya.

Jadi, jika terdapat anggapan bahwa menangkap Munarman itu represif, anggapan tersebut jadi terburu-buru jika mengesampingkan pengamatan terhadap Munarman itu sendiri. Kita yang berada di permukaan, faktanya tidak tahu persis, bagaimana jalan tikus pergerakan Munarman. Untuk semua ini, kita tidak bisa melihat posisi ia sebagai aktivis HAM, melainkan sebagai representasi terkuat dari FPI.

Jalan Tikus Jaringan Teror

Dugaan pada Munarman menguat dan jadi perhatian aparat setelah salah satu teroris JAD yang tertangkap memberi pengakuan bahwa Munarman terlibat pembaiatan kelompok teroris transnasional, yakni ISIS. Setelah itu, gerak-geriknya aparat awasi, dan sampai ia teringkus di kediamannya, kita belum mengetahui pasti apa yang telah aparat hasilkan dari pengamatannya. Dan sampai semuanya menjadi jelas, spekulasi buruk dari kita hanya akan memperkeruh masalah.

Terorisme bukan ranah kita, melainkan ranah polisi, tentara, inteligen dan otoritas terkait lainnya. Tertangkapnya teroris yang mengaku dari FPI beberapa waktu lalu merupakan warning, bahwa organisasi pimpinan Habib Rizieq itu sudah tidak seperti dulu. Artinya, FPI berdinamika ke arah yang negatif, dan karenanya kita tidak bisa lagi mengomentari realitas hari ini berdasarkan anggapan di masa lalu. Tidak relevan. Sebab, FPI, sebagai pergerakan, tidaklah statis.

Jalan tikus jaringan teror FPI yang Munarman merupakan agennya, tidak bisa kita abaikan, apalagi dengan menuduh pemerintah telah bersikap represif lantaran menangkap Munarman. Lagi pula statusnya hari ini masih terduga, menjalani pemeriksaan. Jika ternyata tidak ada bukti bahwa Munarman terlibat mobilisasi terorisme, ia akan bebas.

Hari ini ia menduduki posisi strategis. Teroris militan seperti JAD tengah marak, sementara FPI lantaran sakit hati justru semakin mendekat ke arah justifikasi aksi teror. Maka kita harus meyakini satu fakta, bahwa menangkap Munarman bukanlah dalam rangka membungkam oposan, melainkan memutus jaringan terorisme FPI itu sendiri.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru