30.1 C
Jakarta
Array

Menangkal Hoax dengan Literasi

Artikel Trending

Menangkal Hoax dengan Literasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sesore itu saya beranjak dari dormitory dengan kemudian bergegas berjalan menuju tempat pemberhentian bis, yaitu di depan Kampus. Teringat telah membuat janji dengan salah satu senior yang baru saja saya dapati, senior pergerakan. Tanpa berpikir panjang seusai terbangun dari tidur siang kemudian langsung melakukan Solat Asar dan berangkat, tiada berpikiran panjang tentang penampilan, yang jelas saya bawalah alat tulis untuk bahanku nanti berdiskusi dengan beliau.

Sesampai di sana, saya terheran-heran. Banyak pengunjung yang berkenan mampir dan segan untuk membaca bukunya, tidak peduli identitas mereka Mahasiswa maupun BMI (Buruh Migran Indonesia). Entah kenapa Mahasiswa dan BMI saling melebur untuk mendiskusikan atas isi dari buku-buku yang ada. Kalau dipikir-pikir padahal latar belakang BMI dengan Mahasiswa sudah berbeda jauh. Mahasiswa berlatar belakang pendidikan ataupun yang sering kita bahasakan sebagai kaum intelek/pemikir, sedang BMI merupakan kaum buruh dimana minat utama mereka datang ke Negeri ini ialah untuk bekerja.

“Wah Mas Farid!”

“Wah, sampeyan yang ngechat saya itu ya?”

“Nggih kula hehe.”

Kemudian kitapun ngopi secara filosofis. Berdiskusi tentang banyak hal, mulai dari analisis sosial masyarakat, organisasi, kemudian pandangan-pandangan hidup yang ada, serta pelbagai perihal kiat-kiat hidup di negara Taiwan, negara kecil yang maju.

Bercengkerama, berdiskusi tentang semuanya, berjejaring, hingga membahasakan buku ialah  aktivitas mereka di Perpustakaan Berjalan Kaohsiung (PBK). Perpustakaan ini dirintis oleh 3 orang Mahasiswa Senior asal Indonesia, 3 nama orang tersebut antara lain, Sima, Ayub, dan Farid. Tercatat sudah hampir 2 tahun perpustakaan ini ada sejak tanggal 14 Agustus 2016 dengan deklarasi di kampus NKUAS (National Kaohsiung University of Applied Sciences) dengan kemudian dibuatlah forum relawan untuk mengurusnya. Melalui media promosi mulut ke mulut kemudian dibuatkan forum diskusi melalui media di Grup Facebook.

Setiap minggu kedua dan minggu keempat perpustakaan ini digelar/diadakan, mulai dari pukul 4 sore sampai dengan 6 sore di Kaohsiung Main Station. Memang terkesan waktu yang singkat kalau akan diadakan kegiatan ngopi bersama, ibarat menyeduh kopipun, satu gelas pasti tidak habis. Dengan keterbatasan yang dimiliki warga biasa di negeri orang.

Memang benar, ujian orang yang dalam perantauan adalah peradaban/kehidupan yang ada di sekitarnya. “Jikalau ada orang Indonesia, dia datang dengan begitu banyak tradisi dan budaya, kekalau tidak dibuatkan forum ataupun wadahnya, sudah untung kalau orang itu tidak melupakan budaya tersebut,” begitulah ungkap Mas Farid selaku salah satu pencetus PBK ini, karena dari ketiga pencetus di atas yang masih tertinggal hanyalah tinggal beliau, jadi sayang sekali hanya sanggup berdiskusi dengan beliau saja.

Budaya literasi itu perlu dilestarikan karena merupakan kebudayaan pokok untuk mendorong dan mendongkrak SDM masyarakat yang ada. Supaya tercipta masyarakat yang berpengetahuan luas. Mempunyai keterampilan-keterampilan atas apa yang disuguhkan oleh buku ataupun diskusi di tempat tersebut. Kemudian setelah masyarakat mempunyai SDM dan pengetahuan maka akan dapat menangkal isu hoax yang ada. “Setidaknya, kekalau tidak sanggup menghilangkan hoax tersebut setidaknya bisa membentengi diri sendiri dulu.“ lanjut kemudian beliau.

Sekarang seiring berjalannya waktu, Mas Farid dalam mengurusi PBK ini beliau dibantu oleh organisasi yang mengatasnamakan organisasi masyarakat Indonesia, antara lain Diaspora, BMI, dan PPI. Memang selain karena posisi Mas Farid sendiri sudah berumur dalam jenjang studinya, maka mau tidak mau kedepannya organisasi/volunteer yang tadinya membantulah yang harus menjadi penerusnya. Banyak titipan harapan kepada penerus-penerus beliau kemudian, “bersama mengembangkan Indonesia, antara Mahasiswa dengan PMI (Pekerja Migran Indonesia) haruslah berjalan beriringan, kemudian, PBK ini haruslah dapat meningkat atau maju, sekarang stok buku hanyalah sekitar 200an judul, diharapkan kemudian stok bukunya kan lebih komplek dengan begitu masyarakatpun akan semakin terdidik dengan bacaan-bacaan yang ada. Teringat dulu pertama kali kita membuka, kita hanya bermodalkan 40 judul buku, kemudian untuk memperbanyaknya, kita harus membawa dari Indonesia jikalau ada agenda balik Indonesia” Dengan pandangan berbinar-binar beliau mengutarakan harapannya.

Pada akhir diskusi, beliau berbicara, “literasi tidaklah hanya soal membaca dan diskusi, haruslah diimbangi dengan menulis.” Kemudian dilanjutkan, “setiap yang membaca hendaklah membuat tulisan tentang apa yang sudah dibacanya maupun juga atas apa yang didiskusikannya di PBK ini.” Kemudian beliau menyodorkan sebuah buku berjudul Ruang Kontemplasi buah karya beliau yang masih hangat. “ini merupakan bukti, hendaklah kita menulis kemudian. Ini buku atas perenunganku selama di Taiwan dengan juga termasuk diskusi-diskusi dengan teman-teman yang ada di sini.” Walhasil, hanyalah bermodalkan diskusi dengan beliau, didapatkanlah hasil karya beliau Ruang Kontemplase, dengan sebelum dimasukkan kedalam tas, kumintakan dulu tanda tangan kepada beliau selaku penulis ataupun otak dari buku tersebut.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru