29.7 C
Jakarta

Menakar Lanskap Terorisme di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenakar Lanskap Terorisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul: Bayang-Bayang Terorisme: Potret Genealogi dan Ideologi Terorisme di Indonesia. Penulis: Yudi Zulfahri, S.STP., M.Si. Tahun: 2020. Penerbit: Pustaka Milenia. Tebal: xiv + 204 halaman.

Darul Islam (DI). Jamaah Islamiyah (JI). Al-Qaeda Indonesia. Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Atau, yang baru saja tewas dalam aksinya di Poso; Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar nama-nama tersebut? Satu kata: terorisme. Barangkali terdengar menjijikkan. Kepingan anggota tubuh, darah, pembunuhan, include di dalamnya.

Diskursus terorisme tidak pernah usang untuk dikaji. Usianya yang setua sejarah, transformasi struktural pelakunya, serta dinamika politik yang diusungnya justru menjadi daya tarik untuk diulas. Ini terlepas dari fakta bahwa terorisme itu sendiri bak eksis di ruang semu, terasa tetapi tidak tampak, sehingga tidak sedikit orang yang tidak mempercayai keberadaannya.

Yudi Zulfahri, eks-radikalis berdarah Aceh, mengistilahkan kesemuan itu sebagai ‘bayang-bayang’, dan mengulasnya dalam sebuah karya, Bayang-Bayang Terorisme: Potret Genealogi dan Ideologi Terorisme di Indonesia. Zulfahri berusaha menarik terorisme ke ruang terbuka, menakar lanskap, tidak lagi bayang-bayang, dan “dapat dilihat dengan pandangan yang jelas dan terang.” [hlm. 4]

Buku yang merupakan publikasi tesisnya tersebut fokus mengkaji tiga persoalan penting: genealogi, peta ideologisnya, dan strategi pemberantasannya. Ia jelas berbeda dengan perang. Sulit untuk mendefinisikannya secara sempurna. Di Indonesia, ia justru didefinisikan secara pejoratif, sehingga berdampak terhadap antipati penanggulangan terorisme itu sendiri.

“Berbagai pemberitaan media juga selalu mencirikan terorisme dengan simbol-simbol umat Islam seperti jenggot, celana cingkrang, maupun cadar. Dari sini muncul dampak yang dirasakan, yaitu munculnya berbagai penentangan dari sebagian umat Islam terhadap program penanggulangan terorisme yang dijalankan oleh pemerintah.” [hlm. 9]

Salah satu yang melekat dalam terorisme yaitu justifikasi ideologis. Bahwa setiap aksi teror, baik secara fisik maupun sebatas indoktrinasi, memiliki background ideologi tertentu. Setiap pergerakan mereka berada di rel ideologis tersebut. Karenanya, menurut Zulfahri, “musuh bagi pelaku terorisme adalah orang-orang yang menjadi musuh bagi ideologinya.” [hlm. 10]

Terorisme: Genealogi-Ideologi

Islam bukan agama terorisme. Kristen juga demikian. Hindu, Buddha, Konghucu, juga. Namun, antara agama sebagai doktrin, dengan pemeluknya sebagai pengamal doktrin, tidak benar-benar terpisah dengan yang namanya kekerasan. Mengutip Charles Selengut, Zulfahri beranggapan, kekerasan adalah bagian dari agama. Nilai-nilai religius punya tempat dalam perang dan politik.

“Semua agama memiliki visi tentang masyarakat ideal yang akan datang pada akhir zaman, namun beberapa anggota komunitas agama tidak dapat menerima… mereka merespons kenyataan ini dengan membentuk atau bergabung dengan komunitas utopis yang secara sadar dan ideologis diatur sebagai masyarakat alternatif, bertentangan langsung dengan nilai, norma, dan sasaran tatanan sosial yang mapan.” [hlm. 21]

Terorisme di Indonesia sama tuanya dengan bangsa itu sendiri, jauh hari sebelum term terorisme disematkan. Ia adalah klimaks dari paham radikal keagamaan yang suka melakukan tindakan ekstrem. Genealoginya cukup alot. Gerbang utamanya adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, martir Darul Islam (DI) dan sang proklamator Negara Islam Indonesia (NII).

BACA JUGA  Benarkah Plularisme Agama Itu Ideologi yang Cacat?

DI berjalan, teritorinya semakin meluas. Dua orang dedengkotnya, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir membawa pemahaman baru di tubuh DI. Tahun 1985, mereka berdua kabur ke Malaysia, sebelum vonis hukuman dari Mahkamah Agung (MA) dikeluarkan. Gerilya pun ditempuh. DI pun mengalami konflik internal. Mereka keluar dari DI, lalu mendirikan Jamaah Islamiyah (JI).

Tahun 2004, anggota JI Noordin M Top, mendeklarasikan organisasi baru: Al-Qaeda Indonesia. Anggota JI lainnya, Santoso, tahun 2012, mendeklarasikan berdirinya Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso. ISIS di Suriah juga mendapat dukungan dari teroris di Indonesia, Oman Abdurrahman, lalu didirikanlah Jamaah Ansharud Daulah (JAD).

Secara ideologis, kelompok terorisme tersebut memiliki visi-misi dan cita politik yang sama, yaitu mendirikan negara Islam, menegakkan khilafah. Zulfahri berhasil menguraikannya satu per satu, secara komprehensif, peta-peta ideologi mereka. Jika ditarik pada jenis terorisme, mereka tergolong pada dua jenis yang diuraikan Zulfahri: ‘politik keagamaan’ dan ‘milleniaristik’.

Jalan Keluar Pemberantasan

“Oleh karena telah digunakan oleh berbagai aktor dalam upaya mencapai tujuan ideologi yang lebih luas, maka dalam upaya penanggulangannya, juga seharusnya dilakukan dengan menyusun strategi yang memberikan penekanan utama kepada ideologi para pelaku.” [hlm. 172]

Strategi pemberantasan. Itu yang Zulfahri lakukan. Ada dua pendekatan yang ia tawarkan, yang diadopsi dari strategi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pertama, pendekatan kekuatan (hard approach), yakni mengerahkan segala kemampuan negara dalam membendung pergerakan mereka, dan menggagalkan rencana aksinya.

Cara ini bisa dilakukan dengan menggunakan otoritas legislatif, yudikatif, eksekutif, dengan cara menangkap, mengawasi, bahkan menahan para teroris. Tentu ada konsekuensi logis yang harus diterima. Zulfahri mengatakan, “Mereka senantiasa diliputi rasa kebencian dan permusuhan kepada pemerintah yang dalam pandangan mereka dianggap sebagai musuh agama.” [hlm. 173]

Kedua, pendekatan lunak (soft approach). Ada dua strategi di dalamnya, yaitu deradicalization dan disengagement. Deradikalisasi sendiri masih diperdebatkan efektivitasnya, dan keberhasilannya masih dipersoalkan. Akan tetapi, keberhasilan atau pun kegagalan deradikalisasi tidak dapat diukur melalui ada atau tidaknya kasus terjadi.

“Karena penanganan para pelaku terorisme adalah sebuah proses yang dinamis… sangat bergantung pada situasi dan kondisi. Bisa saja pelaku … tidak mengulanginya tahun ini. Namun tidak menutup kemungkinan jika setahun, dua tahun, atau sepuluh tahun kemudian ia akan mengulanginya kembali.” [hlm. 178]

Zulfahri lengkap mengulas peta ideologi terorisme di Indonesia. Buku ini menjadi sangat penting agar persepsi yang tidak-tidak tentang kebijakan pemerintah dapat ditekan seminimal mungkin. Namun demikian, strategi yang ditawarkan dalam menanggulanginya tidak ada yang baru. Kita mengenal kedua pendekatan tersebut dari pemerintah. Apalagi deradikalisasi—topik klasik.

Tetapi dalam konteks menakar konsep terorisme, menampilkan secara lanskap pergerakan mereka, buku ini berisi gagasan-gagasan segar penulis. Selanjutnya radikalisme, ekstremisme, dan terorisme adalah tiga term berbeda, meski berasal dari rahim yang sama: cita-cita menegakkan khilafah. Kalau lanskap terorisme Indonesia sudah jelas, tidak ada alasan lagi mengabaikan eksistensinya.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…
Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru