25.3 C
Jakarta

Menakar Kepalsuan Jargon “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunah”

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenakar Kepalsuan Jargon “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Sunah”
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dewasa ini, jargon “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” ramai digandrungi anak-anak muda dan awam. Jargon tersebut seolah mencerminkan ajaran Islam yang selama ini (menurut sebagian kelompok) telah banyak menyimpang lantaran banyak ajaran-ajaran yang tidak dijumpai landasannya dari Al-Qur’an maupun sunah.

Seruan untuk kembali menjadikan Al-Qur’an dan sunah sebagai pijakan utama dalam berislam ini tentu bukanlah sesuatu yang negatif, jika dipahami dengan benar. Akan tetapi faktanya tidak demikian. Realita yang terjadi di tengah masyarakat adalah mereka menyimpulkan hukum dari Al-Qur’an dan sunah hanya bermodalkan terjemahan semata. Mereka menolak mengikuti jalan pemahaman ulama mazhab, bahkan mengabaikan perangkat-perangkat keilmuan yang dijadikan oleh para ulama sebagai instrumen untuk memahami teks Al-Qur’an dan hadis.

Kesalahan dalam memahami seruan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” ini kemudian melahirkan sikap fanatisme. Harus diakui memang slogan tersebut terasa seperti menghipnotis siapa saja yang mendengarnya. Para penganutnya mungkin akan mendapati kepuasan batin di dalamnya karena merasa menjadi kelompok yang paling benar dalam beragama. Tentu ini berangkat dari sakralitas Al-Qur’an dan hadis itu sendiri. Sehingga siapa pun yang dianggap tidak sejalan secara otomatis telah menjadi sesat, bahkan kafir.

Geneologi Paham Takfīrī

Fenomena ini telah terjadi jauh sejak era para sahabat, tepatnya ketika pecahnya Perang Shiffin antara kelompok Ali yang saat itu menjabat sebagai khalifah dan Muawiyah yang menolak membaiat Ali dan menuntut keadilan atas kematian Usman bin Affan. Menjelang kekalahan kelompok Muawiyah, atas siasat Amru bin Ash yang saat itu berada dalam barisan Muawiyah sekaligus sebagai juru bicaranya, dengan mengangkat Al-Qur’an di ujung tombak, mereka mengajukan tahkim (perundingan). Ali kemudian menyetujuinya.

Sikap Ali yang menyetujui perundingan ini kemudian ditentang oleh sebagian orang yang kemudian keluar dari kelompok Ali. Kelompok inilah yang kemudian hari dikenal sebagai Khawarij. Dalam penolakannya, mereka dengan tegas menentang adanya tahkim yang menurut mereka tidak ada dalam hukum Allah.

Slogan yang mereka gaungkan saat itu adalah “lā hukma illa Allāh”, tiada hukum selain hukum Allah. Slogan ini lahir dalam argumen mereka menggunakan Surat Al-Maidah ayat 44, 45, 47, yang menegaskan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka adalah orang-orang kafir, zalim, dan fasik.

Mereka meyakini bahwa tahkim adalah hukum produk manusia. Membuat hukum sendiri artinya berupaya menyaingi Allah dalam menetapkan hukum. Konsekuensi dari keyakinan ini, mereka mengkafirkan Ali, Muawiyah, dan Amru bin Ash.

Menerima kritikan itu, Ali menimpali, “kalimatu haqqin wa urīda bihā al-bāthil”, kalimat yang benar namun tujuannya keliru. Slogan “tiada hukum selain hukum Allah” yang didemonstrasikan kaum Khawarij di atas kurang lebih sama maksudnya dengan slogan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” yang disuarakan oleh sebagian orang saat ini. Kalimatnya benar, namun pemahamannya yang keliru.

Fenomena di Era Modern

Contoh fenomena yang paling sederhana dan populer di tengah masyarakat saat ini adalah polemik terkait kebid’ahan maulid Nabi. Kelompok yang mengaku sebagai pengikut Salafi, yakni Wahabi, mengeklaim bahwa menyelenggarakan maulid Nabi itu adalah bid’ah yang tidak ada contohnya dari Nabi.

BACA JUGA  Nasionalisme dari Pemain Naturalisasi Timnas Indonesia yang Harus Diapresiasi

Mereka berdalih dengan hadis yang berbunyi, “fa inna kulla muhdatsātin bid’ah, wa kullu bid’atin dhalālah, wa kullu dhalālatin fin nār”, setiap perkara baru itu bid’ah, setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat itu (tempatnya) di neraka.

Hadis tersebut tentu saja benar secara redaksi dan riwayat, namun apakah pemahaman dan penggunaannya sudah tepat?

Kalau dikaji dari sudut pandang ilmu Al-Qur’an dan ushul fiqih, hadis tersebut masuk dalam kategori dalil ‘ām al-makhshūsh, yaitu dalil yang redaksinya umum namun penggunaannya perlu dispesifikkan. Menjadikan satu ayat atau hadis saja sebagai landasan hukum tidaklah mencukupi tanpa menghadirkan dalil-dalil lain yang secara tematis masih membicarakan hal yang sama.

Dalil tentang bid’ah ini masih terlalu umum untuk dijadikan satu-satunya landasan hukum. Jika semua hal baru dianggap sebagai bid’ah maka saat ini hampir tidak ada orang yang bisa terhindar dari perbuatan bid’ah, dan secara otomatis menjadi sesat dan bertempat di neraka. Tentu tidak demikian pemahamannya.

Menanggapi hadis tersebut, para ulama menghadirkan hadis lain yang men-takhshish keumumannya. Yaitu hadis yang menerangkan bahwa orang yang membuat al-sunnah (tradisi) baru yang baik maka dia mendapat pahalanya beserta pahala orang yang mengamalkannya, demikian pula dengan al-sunnah (tradisi) yang buruk.

Dari hadis yang kedua ini kemudian para ulama membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Bid’ah yang baik (hasanah) adalah bid’ah yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis, sedangkan bid’ah yang buruk (sayyi’ah) adalah bid’ah yang melanggar batas-batas dalam Al-Qur’an dan hadis.

Maka berdasarkan perincian di atas, tradisi maulid yang banyak dilakukan umat Islam di Indonesia ini dapat diketahui hukumnya dengan jelas. Jika dalam penyelenggaraan maulid di isi dengan kegiatan positif seperti membaca selawat, pengajian, dan sedekah, maka tidak ada alasan untuk memandanganya sebagai perbuatan bid’ah yang diharamkan.

Justru jika dilihat dari kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya, maulid seperti contoh tadi dapat dikategorikan sebagai perbuatan sunah, karena membaca selawat, pengajian, ada sedekah, semuanya sudah ada contoh langsung dari Nabi. Hanya saja dikemas dalam satu acara yang disebut dengan maulid.

Memang, tidak bisa kita pungkiri bahwa mengadakan maulid ini masih terdapat ikhtilaf di antara para ulama, namun jangan pula menafikan pendapat ulama yang membolehkan. Perbedaan pendapat ulama ini adalah wujud keluasan dan kelonggaran ajaran Islam yang menjadi rahmat bagi umat Islam.

Sayangnya, mereka yang menyebut diri mereka sebagai pengikut salaf saleh menutup mata dari melihat perbedaan. Mereka berpegang kuat kepada perkara khilafiyah dan menerobos rambu-rambu yang telah disepakati (muttafaq ‘alayh) bahkan sudah jelas-jelas dilarang dalam agama, yaitu menghujat sesama Muslim yang berada di luar kelompok mereka. Lebih disayangkan lagi paham-paham ajaran ini mulai memasuki dan digandrungi anak-anak muda dan awam yang puber dalam beragama.

Kesimpulannya, seruan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” yang diamini banyak orang saat ini belumlah dipahami dengan tepat. Meski berkata demikian, hakikatnya mereka hanya kembali kepada pemahaman objektif mereka sendiri dalam memahami teks agama; di mana pemahaman ini tidak dilandasi dengan perangkat keilmuan yang memadai.

Maksum H. Hubaib
Maksum H. Hubaib
Alumni Sekolah Tinggi Kulliyyatul Qur’an Al-Hikam Depok dan Ma’had Darul Qur’an wal Hadis Pancor, Lombok Timur.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru