• Editorial
  • Khazanah
  • Asas-asas Islam
  • Islam dan Timur Tengah
  • Milenial Islam
  • Submit Artikel
pencarian
Logo
Logo
Logo
29.7 C
Jakarta
Logo
Facebook
Twitter
Youtube
type here...
  • Home
  • Editorial
  • CNRCT
  • Agenda
  • Khazanah
    • Inspiratif
    • Ekonomi Syariah
    • Literasi
    • Opini
    • Perspektif
    • Resensi Buku
    • Resonansi
    • Suara Pembaca
    • Telaah
  • Asas-asas Islam
    • Akhlak
    • Al-Qur’an
    • Fikih Islam
    • Hadist
    • Ibadah
    • Sirah Nabawiyah
    • Syariah
    • Tafsir
    • Tasawuf
  • Akhbar
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
  • Islam dan Timur Tengah
    • Islam dan Kebangsaan
    • Ulasan Timur Tengah
  • Milenial Islam
  • Submit Artikel
Artikel Terbaru

Kita: Melawan Dakwah Madeni dengan Dakwah Rohani

Israel Mulai Latihan Militer di Sepanjang Perbatasan Yordania

Pemerintah adalah Orangtua Kita, Maka Hormatilah!

DPR RI Minta KemenPAN-RB Tindak Tegas ASN yang Terafiliasi Teroris

Waktu Mustajab, Berdoalah Saat Berbuka Puasa

Logo
Logo
  • Home
  • Editorial
  • CNRCT
  • Agenda
  • Khazanah
    • Inspiratif
    • Ekonomi Syariah
    • Literasi
    • Opini
    • Perspektif
    • Resensi Buku
    • Resonansi
    • Suara Pembaca
    • Telaah
  • Asas-asas Islam
    • Akhlak
    • Al-Qur’an
    • Fikih Islam
    • Hadist
    • Ibadah
    • Sirah Nabawiyah
    • Syariah
    • Tafsir
    • Tasawuf
  • Akhbar
    • Internasional
    • Nasional
    • Daerah
  • Islam dan Timur Tengah
    • Islam dan Kebangsaan
    • Ulasan Timur Tengah
  • Milenial Islam
  • Submit Artikel
Sign in
Selamat Datang! Masuk ke akun Anda
Forgot your password? Get help
Create an account
Presiden Soekarno, Waliyul Amri Dhoruri Bi-Syaukah
Create an account
Welcome! Register for an account
Sebuah kata sandi akan dikirimkan ke email Anda.
Presiden Soekarno, Waliyul Amri Dhoruri Bi-Syaukah
Password recovery
Memulihkan kata sandi anda
Sebuah kata sandi akan dikirimkan ke email Anda.
Islam dan Timur TengahUlasan Timur Tengah

Menakar Kebijakan Biden di Tengah Perang Urat Saraf Iran-Israel

By Musyfiqur Rahman
14/02/2021
5
1344
Share
Facebook
Twitter
Pinterest
WhatsApp

    Artikel Trending

    Fadhilah Sholat Tarawih

    28/05/2017

    Imsak, Ini Dalilnya dalam Al-Quran dan Hadist

    06/06/2017

    Makna Rahmat dalam Al-Qur’an Al-Karim

    31/05/2017

    Ternyata, Front Pembela Islam (FPI) Otak dari Semua Pelaku Terorisme

    07/04/2021

    Laskar FPI Mengaku Disuruh Habib Beli Bahan Peledak Pakai Duit Infaq

    08/04/2021

    Pengaruh Makna Ketika Lafadh رمضان Dalam Niat Puasa Dibaca “Na & Ni”

    28/05/2017

    Tips Puasa Sehat di Tengah Pandemi

    18/04/2021

    Parade Kezaliman Ormas Radikal di Bulan Ramadan

    19/04/2021
    Menakar Kebijakan Biden di Tengah Perang Urat Saraf Iran-Israel

    Iran dan Israel memulai kembali perang urat saraf. Keduanya sama-sama terlihat ambisius, tapi sebenarnya juga ketar-ketir. Kedua petarung mengaku sudah siap menuju gelanggang, cukup percikan api kecil saja maka perang semesta akan menyala-nyala. Hanya pihak paling bernyali yang berani melayangkan pukulan pertama. Dan bila itu terjadi, artinya dia adalah petarung yang gila.

    Hal itu bermula ketika petinggi militer Israel, Aviv Kochavi mengatakan pada Selasa (26/1) lalu bahwa ia telah mengeluarkan instruksi kepada jajarannya untuk menyusun strategi yang mengarah pada opsi ofensif terhadap Iran. Opsi ini dinilai penting dimatangkan karena dalam beberapa bulan terakhir, Iran menunjukkan gelagat yang cukup mengkhawatirkan bagi Israel, terutama terkait program nuklirnya. Israel tak mau musuh bebuyutannya itu terlalu jauh mengembangkan nuklirnya. Apalagi diketahui, Iran terus melampaui batas pengayaan uranium hingga mencapai 20 persen, sebagai bentuk protes atas gugurnya komitmen kesepakatan bersama yang dirusak secara sepihak oleh Donald Trump pada Mei 2018.

    Iran tak tinggal diam. Kepala Staf Presiden Iran, Mahmoud Vaezi merespon pernyataan petinggi militer Israel tersebut, bahwa negaranya selalu siap mempertahankan diri bila Israel benar-benar melakukan serangan, meskipun ancaman Israel tak lebih dari gertakan semata. Seperti biasa, kedua belah pihak saling membesar-besarkan perkembangan militernya sekaligus mengecilkan pihak lain. Sebagaimana sudah lazim terjadi dalam berbagai perang urat saraf sebelum-sebelumnya.

    Retorika bernada ancaman untuk saling melakukan serangan militer antara Iran-Israel bukan hal baru dalam sejarah ketegangan mereka, terutama intensitasnya kian meningkat beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya gejolak di beberapa proksi Iran di kawasan, seperti di Libanon, Suriah, Irak dan Yaman. Mungkin publik sudah jenuh dengan beragam sesumbar penuh ambisius itu, meskipun hal tersebut juga patut disyukuri karena retorika kedua negara hanya berakhir di perang urat saraf, sebuah ketegangan yang sengaja diciptakan untuk kepentingan jangka pendek sekaligus untuk menguji arah mata angin lobi-lobi mereka di panggung diplomatik.

    Baik Iran maupun Israel, keduanya sama-sama saling berpacu merebut otoritas di kawasan dan dalam konteks saat ini, juga sama-sama berebut pengaruh di bawah kepemimpinan baru AS, Joe Biden. Israel menginginkan arah kebijakan politik luar negeri AS tak jauh berbeda dari pemerintahan Trump, memberikan tekanan maksimum kepada Iran agar negara para mullah tersebut semakin terisolir dari dunia internasional. Harapannya, Iran tak punya opsi lain selain menghentikan program nuklirnya.

    Iran sebaliknya, persis seperti yang dikatakan oleh Elias Harfoush, jurnalis asal Libanon di Asharq Alawsat dalam sebuah tulisan yang berjudul Washington and Tehran; Who Will Back Down Firs? bahwa ia bertindak seolah menjadi pemenang dalam pemilu AS yang lalu. Lengsernya Trump dari tampuk kekuasaan adalah kemenangan bagi Iran. Sehingga Iran dengan cerdik mulai memainkan kartunya untuk membawa AS kembali ke dalam kesepatakan nuklir dan menghentikan semua bentuk kebijakan embargo dari sisa-sisa kebijakan gagal Trump.

    Iran berulangkali menegaskan kepada AS untuk mengubah arah kebijakannya dan menghentikan segala bentuk embargo yang dilancarkan dalam empat tahun terakhir. Karena faktanya, semua bentuk tekanan AS tak mengubah sikap Iran sedikitpun. Sehingga pergantian rezim menjadi momentum paling tepat bagi Iran untuk tetap bertahan dengan proposal nuklirnya sebagaimana dalam kesepakatan awal.

    BACA JUGA  Ikhwanul Muslimun dan Rekam Jejaknya dalam Aksi Teror dan Politisasi Agama

    Pada waktu Obama terlibat dalam Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) atau juga dikenal dengan kesepakatan nuklir Iran, bersama sejumlah negara Barat pada tahun 2015 lalu, Biden waktu itu menjabat sebagai wakil presiden. Artinya kebijakan Obama yang sudah dirusak oleh Trump—saat hengkang secara sepihak dari kesepakatan tersebut—jelas tak menghasilkan dampak apapun. Bisa jadi Biden akan mengembalikannya ke titik awal sebagaimana kesepakatan tersebut dihasilkan.

    BACA JUGA  Gamal Abdul Nasser dan Gagasannya Tentang Nasionalisme Dunia Arab

    Dua bulan sebelum terpilih sebagai presiden, Joe Biden menulis artikel di CNN, There’s a Smarter Way to be Tough on Iran. Selain banyak mengkritik kebijakan Trump yang nyaris semuanya adalah omong kosong, Biden juga menyoroti arah kebijakan politik luar negeri pemerintahan Trump terkait pembatasan nuklir Iran yang mengalami gagal total. Alih-alih menciptakan solusi yang nyata dengan hengkang dari kesepakatan nuklir, justru situasinya semakin memburuk bagi stabilitas dan kepentingan AS di Timur Tengah, terutama pada saat insiden aksi balasan Iran pasca pembunuhan Qasem Sulaemani yang menarget pangkalan militer AS di Irak dan menyebabkan kerusakan cukup parah. Bahkan sejumlah pasukan AS mengalami cidera berat dan gagar otak. Tapi lagi-lagi, Trump malah mengecilkan peristiwa tersebut dengan menyebutnya kerusakan kecil dan cidera ringan.

    Biden yang sejatinya bukan orang baru di Gedung Putih, tentu sudah pasti memiliki kalkukasi dan strategi yang jauh lebih terukur. Setidaknya, ia tak mungkin mengulangi kegagalan pendahulunya itu. Citra buruk AS di Timur Tengah sepanjang pemerintahan Trump jelas perlu dipulihkan kembali. Jalur-jalur perundingan memang menjadi salah satu pintu utama dalam penyelesaian beragam persoalan krusial, termasuk program nuklir Iran. Semua pihak harus duduk bersama dan kembali ke meja perundingan, suka atau tidak suka.

    Mungkin hanya Israel yang paling tidak senang bila Biden menghidupkan lagi kesepakatan nuklir Iran. Namun jika tidak kembali ke meja perundingan, AS sendiri akan sangat kesulitan mengendalikan Iran. Dalam situasi tiada perang dan tiada perdamaian, justru yang paling banyak diuntungkan adalah Iran. Oleh sebab itu, Israel begitu sangat bernafsu untuk menyerang Iran, meski hingga kini tampaknya Israel belum punya cukup nyali untuk melakukannya.

    Kalaupun perundingan ini benar-benar dilakukan, ia tak akan berjalan dengan mudah. Ada jeda cukup lama sejak AS meninggalkan kesepakatan nuklir Iran. Belum lagi berbagai rentetan peristiwa yang terjadi antara Iran dan AS pada masa jeda itu sudah pasti akan sangat berpengaruh pada proses perundingan. Mungkin saja sikap Biden akan lebih lunak dari pada pendahulunya karena ia akan menempuh pendekatan diplomasi, tapi mungkinkah AS akan mengabaikan kekhawatiran sekutu-sekutu Arabnya di kawasan yang selama ini juga seringkali bersitegang dengan Iran? Wallahua’lam.

     

    Share
    Facebook
    Twitter
    Pinterest
    WhatsApp
      Musyfiqur Rahman

      Mengenal Harakatuna

      PROFIL HARAKATUNA
      Berita sebelumyaGus Muwafieq Paparkan Trik Deradikalisasi dalam Acara GP Ansor Banyuwangi
      Berita berikutnyaSebuah Langkah Strategis Pemberantasan Radikalisme

      Artikel Terkait

      Sayyid Qutb dan Pengaruh Ideologi Takfirinya Terhadap Kelompok Radikal di Dunia Islam

      11/04/2021

      Pelajaran Berharga dari Konflik Yaman-Houthi

      04/04/2021

      Ikhwanul Muslimun dan Rekam Jejaknya dalam Aksi Teror dan Politisasi Agama

      28/03/2021

      5 KOMENTAR

      1. Avatar Ahmad Warson 14/02/2021 At 16:41

        Ternyata tak hanya karya-karya terjemahan mas Rahman yang ciamik, analisisnya tentang timur tengah juga tak kalah menarik. Salam.

        Balas
      2. Avatar Arumi 14/02/2021 At 16:52

        Saya tahunya dulu yang namanya perang urat saraf sangat kencang sekali disuarakan oleh Ahmadinejat, mantan presiden Iran. Setelah baca ini, saya cukup tahu perkembangan saat ini. Thanks.

        Balas
      3. Avatar Atika K 14/02/2021 At 22:37

        Joe biden ku rasa hanya cara pendekatannya mungkin yang beda dengan trump, tujuannya jelas sama sih.

        Balas
      4. Avatar Zamzami Ahmad 15/02/2021 At 03:59

        Sy kurang mengerti tentang “Dalam situasi tiada perang dan tiada perdamaian, justru yang paling banyak diuntungkan adalah Iran.” Bukankah Iran akan sangat sulit secara ekonomi kalo ditekan oleh amerika?

        Balas
      5. Avatar Unknown 15/02/2021 At 23:37

        Mantap

        Balas

      LEAVE A REPLY Batal balasan

      Please enter your comment!
      Please enter your name here
      You have entered an incorrect email address!
      Please enter your email address here

      spot_img

      Artikel Terbaru

      Kita: Melawan Dakwah Madeni dengan Dakwah Rohani

      21/04/2021

      Israel Mulai Latihan Militer di Sepanjang Perbatasan Yordania

      21/04/2021

      Pemerintah adalah Orangtua Kita, Maka Hormatilah!

      21/04/2021

      DPR RI Minta KemenPAN-RB Tindak Tegas ASN yang Terafiliasi Teroris

      21/04/2021

      Waktu Mustajab, Berdoalah Saat Berbuka Puasa

      21/04/2021

      Kapolres Madiun Bersama Dai Kamtibmas Perangi Radikalisme

      21/04/2021

      Jihad Total Melawan Terorisme dan Manipulator Agama

      21/04/2021

      Ramadhan; Momentum Parade Kezaliman Para Khilafahers

      20/04/2021
      • Pedoman Media Siber
      • Redaksi
      Logo