30.9 C
Jakarta

Menag, Mairil, dan Eks-HTI

Artikel Trending

KhazanahOpiniMenag, Mairil, dan Eks-HTI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tiga hal yang beda, tapi saya gabungkan karena terkait dengan perspektif saya berikut ini.

Saya punya teman dosen di kampus antah berantah yang gencar mempromosikan salah satu capres idamannya dengan tanpa henti dan tanpa lelah di grup medsos kami. Tentu semangat promosinya saya apresiasi walau terkadang  “over”.

Baru saja dalam grup medsos kami,  disebar video pak Menag yang bicara tentang kelompok LGBT.  Selanjutnya teman saya ini bertanya apa saya setuju dan mendukung pak Menag?

Saya jawab bahwa komentar pak Menag itu kata kuncinya adalah membantu persoalan mereka (LGBT). Membantu persoalan mereka ini saya maknai kita rangkul mereka yang secara bertahap  untuk “disadarkan”. Jadi mereka kita pandang dengan welas asih,  bukan dimusuhi. Karena memusuhi mereka juga tidak bisa menyelesaikan persoalan mereka.

Jawaban saya di atas klop dengan klarifikasi Pak Menag, setelah baru saja  saya tabayun, beliau menjawab,   “Tayangan video itu  pada Agustus 2016 lalu. Ada bagian-bagian yang sengaja dipotong yang bisa menimbulkan kesimpulan yang salah.

Prinsipnya, saya tentu menolak perilaku LGBT karena hal itu melanggar ajaran agama. Tapi saya berpandangan bahwa mereka (yang karena satu dan lain hal) melakukan perilaku yang menyimpang dari ajaran agama itu justru harus ‘dirangkul’ (didampingi, diayomi, dibimbing) agar tidak lagi melakukan perilaku seperti itu. Mereka mestinya tidak justru dihina, dinista, dikucilkan, dan ditiadakan. Fungsi agama dan tugas agamawan adalah mendampingi mereka yang ‘menyimpang’ dari ajaran agama agar kembali ke ajaran agama.

Sebagai Menag, konteks pandangan saya itulah yang merupakan pengamalan ‘dakwah’, mengajak kepada kebaikan. Agama itu mengajak, bukan mengejek.”

Cara merangkul yang baik salah satunya adalah  seperti yang dilakukan oleh seorang kiai  dengan mendirikan pondok waria. Saat kiai itu ke rumah saya di Tambakberas,  saya tanya tentang pondok waria yang “kontroversial” itu,  beliau dengan bijak  bilang,  “Mereka adalah makhluknya gusti Allah.”

BACA JUGA  Harmoni Ramadhan: Antara Saleh Ritual dan Saleh Sosial

Saya lanjutkan ucapan saya ke teman dosen itu,  “Secara pribadi,  sebenarnya saya tidak nyaman kalau mendengar kata mairil dan sejenisnya. Tapi ketidaknyamanan ini tidak harus digemborkan dalam bentuk membenci dan memusuhi. Saat pilpres ini sudah terlalu banyak yang kita benci.  Kalau dalam hidup ini kebanyakan yang kita benci,  lalu apa yang akan kita cintai?

Lain waktu,  dan lain kesempatan,  serta lain orang,  saya pernah ditanya kenapa saya benci banget dengan HTI yang sesama Islam? Tapi dengan yang lain saya dianggap penuh kasih sayang.

Saya jawab,  “Anda salah paham kalau bilang bahwa saya benci banget. Saya menyuarakan dan bahkan menjadi saksi ahli pihak pemerintah terkait pembubaran eks-HTI adalah dalam rangka kasih sayang dan menyadarkan mereka. Gertakan yang saya lakukan ya kayak kita menggertak anak kita dalam rangka mendidik.”

Dalam sejarah ada kisah bagaimana kasih sayang NU diwujudkan dalam dua “wajah”; keras dan lembut. Pada tahun 1958 di Sumatera Barat (Sumbar) terjadi huru hara PRRI/Permesta yang dilakukan oleh eks-Masyumi.

Saat itu PBNU dengan cepat memutuskan bahwa peristiwa itu sebagai pemberontakan.  Sekalipun demikian,  KH.  Wahab Chasbullah pada Muktamar NU tahun 1959 mengatakan bahwa keputusan untuk menyebut mereka sebagai pemberontak  itu dikeluarkan dengan hati yang pilu.  Tidak hanya pilu, PBNU  terjun langsung untuk menolong korban dan keluarga dari pihak pemberontak dan menyumbang logistik.

Sama dengan kasus eks-HTI, saya dalam seminar di mana-mana selalu bilang ke mereka,  mari ikut ormas Islam yang ada di Indonesia untuk mengisi dan membangun NKRI,  bukan meruntuhkannya dan menggantinya dengan khilafah.  Termasuk saat ketemu dengan ketua DPP HTI, Rahmat Labib pasca seminar di Universitas Jember,  saya candai sambil saya bilang,  “Mari,  masuk NU saja.” Demikian juga saat sidang di pengadilan, di hadapan jubir HTI,  saya bilang hal yang sama.

*Ainur Rofiq Al Amin, Pengasuh Padepokan Al Hadi 2 Bahrul Ulum Tambakberas

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru