27.6 C
Jakarta

Memutus Mata Rantai Paham Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMemutus Mata Rantai Paham Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pembubaran HTI dan FPI tidak menutup kemungkinan paham radikalisme akan hilang begitu saja. Pembubaran mereka malah sebaliknya membuat benih-benih paham radikal mengalami peningkatan di Indonesia. Pemahaman ini kian melonjak di dunia maya, sehingga mereka semakin aktif membangun narasi intoleran yang menyudutkan pemerintah itu represif.

Kehadiran paham Islam radikal menyisakan persoalan tersendiri bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak jarang mereka bersikap intoleran pada pemeluk agama lain, atau pemikiran yang berbeda dengannya. Corak keberislaman mereka pun cenderung fanatik dan eksklusif. Bahkan, agama menjadi alat bagi mereka dalam bersikap radikal.

Radikalisme adalah embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkir–balikkan nilai-nilai  yang  ada  secara drastis  lewat  kekerasan. Kekerasan atas nama agama adalah nilai tawar mereka dalam bertindak, dan mengklaim dirinya adalah sosok jihadis.

Paham radikalisme sebagai pemahaman nyata yang paling membahayakan umat beragama dari berbagai sisi. Sisi lain, kelompok antiradikal tampak berusaha keras melawan mereka melalui kontra narasi. Kenapa pemahaman ekstrem tersebut masih eksis di bumi pertiwi ini? Karena meskipun kelompok mereka bubar, tetapi doktrin mereka mengakar.

Selain mereka memainkan isu agama, kelompok radikal mengincar generasi yang selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik pada kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, dan solusi meraih perubahan. Doktrin yang seakan-akan memberikan jaminan rasional pada mereka.

Kenapa Radikalisme Agama?

Masalah radikalisme yang sering muncul akhir-akhir ini adalah masalah kekerasan atas nama agama, tawuran antar sekolah, perkelahian antar pelajar sampai pada pembunuhan antar pelajar yang bermula dari hal-hal yang tidak serius. Masalah-masalah seperti hal ini telah banyak mewarnai pemberitaan di media massa baik media cetak maupun elektronik.

Terlepas dari term radikalisme seperti di atas tersebut, radikalisme adalah paham yang menyasar generasi-generasi bangsa Indonesia yang rajin memakai internet. Terutama, mereka yang masuk dalam kategori pengguna media sosial. Internet merupakan salah satu alat paling efektif bagi kelompok radikal dalam merekrut, dan menyebarkan paham radikalisme.

BACA JUGA  Zakat: Jembatan Solidaritas Umat Anti-Radikalisme

Abdul Munip (2012) mengatakan, radikalisme bisa terdistingsi ke dalam dua level, yaitu level pemikiran dan level tindakan. Pada level pemikiran, ia masih berupa wacana, konsep dan gagasan yang masih menjadi perbincangan, yang intinya mendukung penggunaan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Adapun pada level aksi atau tindakan, radikalisme bisa berada pada ranah kehidupan sosial-politik dan  agama.

Menurut Hamli, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis hasil riset pada tahun 2020. Ia mengatakan, perempuan ternyata lebih berpotensi terpapar paham radikalisme ketimbang laki-laki. Berdasarkan identifikasinya: Pertama, 12,3% perempuan terpapar. Kedua, 12.1% laki-laki. Ketiga, 12,7% generasi Z (rentang usia 14-19 tahun). Keempat, generasi milenial (usia 20-39 tahun) (asumsi.co).

Laporan tersebut menjadi fakta bahwa radikalisme tidak mengalami kekosongan sekalipun diberantas. Apalagi selama konten-konten radikal di media massa online tetap masif, dan pengguna media sosial mudah terpapar. Faktor-faktor maraknya radikalisme ini menjadi catatan hitam bagi pemerintah dalam rangka membenahi model pencegahannya.

Strategi

Pakar Terorisme Noor Huda Ismail (2020) mengatakan, ada dua model dalam mencegah radikalisme: Pertama, pencegahan secara daring (online) harus dibarengi dengan penanganan secara luring (offline). Pasalnya, muara penyebaran paham radikalisme juga banyak dilakukan melalui cara-cara offline. Kedua, pencegahannya bisa melalui optimalisasi konten-konten kontra narasi demi meminimalisir pemahaman.

Memutus mata rantai radikalisme tidak cukup hanya mengandalkan pencegahan yang dilakukan kepolisian. Model pencegahan dapat melibatkan influencer, buzzer, dan konten kreator yang bisa memproduksi narasi anti radikal. Pencegahan model kontra narasi anti intoleransi, radikalisme, dan terorisme sangat penting dalam upaya menjaga eksistensi NKRI.

Strategi lain, membekali penceramah agama agar tidak hanya aktif berceramah terkait literasi kebangsaan di majelis-mejelis. Di media massa online berupa media sosial, dakwah penceramah agama sangat memungkinkan pencegahan paham radikalisme itu berhasil. Oleh karena itu, semua pihak wajib terlibat dalam menyusun strategi pencegahan radikalisme.

M. Aldi Fayed S. Arief
M. Aldi Fayed S. Arief
Mukim di Bintaro, Jakarta Selatan, Pegiat Kajian Keislaman di Lingkar Pena Mahasiswa (LPM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Alumni Pondok Pesantren at-Taqwa Pusat Putra, Bekasi.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru