26.3 C
Jakarta
Array

Mempertanyakan Pancasilakah Kita

Artikel Trending

Mempertanyakan Pancasilakah Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Pancasila merupakan sebuah gagasan besar bangsa Indonesia. Soekarno, pada pidato berbahasa Inggris di depan Kongres Amerika Serikat tahun 1956, memperkenalkan Pancasila di hadapan seluruh tokoh Amerika. Soekarno mendapat sambutan yang luar biasa di ruang kongres. Jarang terjadi, seorang tokoh —apalagi dari Asia— mendapat tepuk tangan bergemuruh saat pidato di depan kongres.

Hadirnya Pancasila dalam catatan sejarah tidak lepas pada sejarah 1 Juni, yang merupakan hari penting bagi bangsa Indonesia. Dimana pada tanggal 1 Juni 1945, para founding father kita menyusun pondasi, Dasar Negara. Sedangkan 17 Agustus 1945 adalah deklarasi, pernyataan kemerdekaan. Ibarat sebuah bangunan, negara Indonesia tidak akan bisa tegak berdiri, tanpa ada pondasi terlebih dahulu. Di atas pondasi  itulah, kita mendirikan bangunan dan mencanangkan cita-cita Indonesia merdeka.

Tentu kita tidak perlu memperdebatkan mana yang paling penting antara 1 Juni atau 17 Agustus, dua-duanya sama-sama penting sebagai tonggak sejarah bangsa. Pada tanggal 1 Juni itu, kita membangun filosofi kita sebagai sebuah bangsa. Disinilah letak kehebatan dan kearifan para bapak bangsa kita. Mereka berhasil menggali nilai-nilai yang hidup di tengah kemajemukan masyarakat Indonesia.

Pada hari itu, 1 Juni 1945, Pancasila yang sampai sekarang menjadi dasar Negara Republik Indonesia disepakati dalam rapat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai. BPUPKI sebenarnya menggelar rapat mulai 28 Mei.

Namun baru pada 1 Juni, saat giliran Ir. Soekarno berpidato mengungkapkan gagasannya mengenai dasar Negara, diterima secara bulat oleh seluruh anggota BPUPKI. Dalam pidato tanpa teks tersebut, Soekarno menyebut rumusan dasar Negara yang dia kemukakan itu dengan nama: Pancasila.

Lima sila yang disampaikan dalam pidato tersebut adalah pertama, kebangsaan Indonesia. Dua, Internasionalisme  atau peri-kemanusiaan. Tiga, mufakat  atau demokrasi. Empat, kesejahteraan sosial. Lima, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat lalu meminta Panitia Sembilan merumuskan kembali lima sila yang dikemukakan Soekarno tersebut, sehingga jadilah Pancasila seperti dikenal sekarang. Ketuhanan Yang Maha Esa yang dalam pidato Soekarno berada di urutan kelima, ditempatkan menjadi urutan pertama. Sila perikemanusiaan atau internasionalisme tetap di urutan kedua dengan redaksinya diubah menjadi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Sila kebangsaan menjadi urutan ketiga dengan nama Persatuan Indonesia. Dan sila tentang mufakat atau demokrasi di urutan keempat menjadi Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Dan sila kesejahteraan sosial diubah menjadi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Panitia Sembilan yang merumuskan Pancasila tersebut terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim dan Mohammad Yamin.

Demikian pula, dalam catatan sejarah, bukan hanya mengenalkan Pancasila, tapi Soekarno juga menawarkan Pancasila tersebut untuk diadopsi Negara-negara di dunia. Bagi generasi muda, ada baiknya menyaksikan pidato ini, karena dari situ kita bisa melihat dan mengukur, betapa tingginya nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila. Nilai-nilai yang sudah hidup dan dijalani oleh nenek moyang kita turun temurun.

Pancasilakah Kita?

Pertanyaannya sekarang, apakah praktek kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita jalankan sekarang sudah sesuai dengan Pancasila? Tentu jauh panggang daripada api. Pancasila mengajarkan musyawarah/mufakat, tapi kita justru memprioritaskan voting/pemungutan suara di setiap pengambilan keputusan. Secara tidak sadar, kita terjerembab ke dalam demokrasi liberal ala Amerika.

Sungguh terbalik. Dulu Soekarno menawarkan Pancasila untuk diterapkan di AS. Tapi sekarang kita justru mengadopsi demokrasi model AS untuk dijalankan di Indonesia. Pilkada dipilih langsung. Ongkos demokrasi menjadi sangat mahal. Ongkos yang mahal itupun tidak menjamin menghasilkan figur atau tokoh yang tepat.

Sebagai bangsa, banyak pejabat kita sudah melupakan Pancasila. Atau, jangan-jangan, ada yang tidak hafal lagi Pancasila. Bagaimana menghayati dan mengamalkannya, kalau hafal saja tidak. Sebagai bangsa, kita gersang diterjang globalisasi.

Kita, ibarat kacang lupa kulit. Kita negara agraris, tapi sekarang kita tidak lagi memprioritaskan pertanian, atau bahkan sudah mulai melupakan pertanian. Sawah-sawah dialihfungsi. Ujung-ujungnya, kita terpaksa impor beras. Sebuah negara, yang saat pertanian kita jaya tahun 1980-an. Ironis lagi, jika negara Indonesia yang luas lautnya, terkenal dengan negara maritimnya, tiba-tiba negeri ini mengimpor garam dari negara Australia.

Sekarang masih banyak petani kita yang miskin. Sehingga orang berlomba-lomba bermigrasi ke kota. Di kota lapangan pekerjaan tidak memadai. Muncul pengangguran di mana-mana. Ada sarjana jadi tukang ojek, karena tidak pernah lulus jadi CPNS.

Ada yang mengaku bertuhan, tapi merasa menjadi pahlawan ketika mengebom orang. Mengaku menghormati kebhinekaan, tapi tempat beribadah orang lain dibakar. Korupsi, sekarang masih merajalela. Sederet pimpinan partai juga diadili karena didakwa korupsi. Anggota DPR/DPRD, apalagi. Ratusan kepala daerah juga tersangkut kasus korupsi.

Pejabat kita malu, kalau tidak memakai mobil mewah. Malu kalau rumah tidak gedongan. Malu, kalau menikahkan anak tidak besar-besaran. Malu, kalau hidup sederhana. Malu, kalau berjalan kaki. Malu, naik ojek. Malu kalau tidak nginap di hotel berbintang. Tapi tidak malu menumpuk-numpuk harta dari hasil korupsi.

Padahal dulu, Soekarno-Hatta-Syahrir tidak punya materi apa-apa yang ditinggalkan untuk para ahli warisnya. Sungguh! Rakyat sekarang butuh kesederhanaan dan kebersahajaan para pemimpin kita dulu. Kita butuh keteladanan seperti khalifah Umar yang menolak fasilitas mewah dan gaji tinggi.

Globalisasi membuat rohani kita kering sebagai sebuah bangsa. Kita sudah jarang mendengar di televisi, lagu-lagu perjuangan seperti Pancasila. Kenapa? Karena tidak laku di mata generasi muda sekarang. Suka atau tidak suka, harus diakui nilai-nilai nasionalisme itu sudah jauh luntur. Tugas berat pemimpin sekarang dan kedepan, adalah menumbuhkan kembali kebanggaan kita sebagai sebuah bangsa. Dan Pancasila adalah jati diri kita sebagai bangsa Indonesia.

*Oleh : Nanang Qosim, dosen Muda di Fakultas Sainstek UIN Walisongo Semarang.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru