33 C
Jakarta

Memermak Tradisi, Merajut Koeksistensi

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMemermak Tradisi, Merajut Koeksistensi
image_pdfDownload PDF
Judul: Think Outside the Box: Membebaskan Agama dari Penjara Konservatisme, Penulis: Mun’im Sirry, Penerbit: SUKA-Press, Cetakan: Pertama, Maret 2024, Tebal: 466 halaman, ISBN: 978-623-7816-86-7, Peresensi: Moh. Rofqil Bazikh.

Harakatuna.com – Dua dekade lalu, Ulil Abshar Abdalla menghebohkan jagat Indonesia. Anggitannya, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, mendapat atensi dari berbagai kalangan. Alih-alih mendapat respon dengan semangat kritik konstruktif, malah sebaliknya. Ia menjadi buah bibir—utamanya di kalangan konservatif—hingga keluar vonis murtad dan halal darahnya.

Kiranya saya tidak perlu banyak mengulang hikayat yang masyhur tersebut. Amanat yang bisa kita petik tidak lain berpusat pada keengganan umat muslim untuk mempertanyakan keyakinannya. Akibatnya, banyak hal yang dianggap tabu untuk dipertanyakan dan dikonfirmasi ulang. Di titik yang sama, seorang sarjana dengan semangat ilmiah akan berhadapan dengan tembok tebal ortodoksi.

Dengan kerangka seperti itu, kita dapat memahami mengapa seseorang dengan semangat kritis menjadi sempit ruang geraknya. Berbeda dengan mualim-mualim yang mengatasnamakan Islam dan sunah rasul. Golongan yang terakhir ini relatif lebih diterima di masyarakat secara luas. Barangkali karena atribusi mereka kepada masa lampau kenabian.

Keengganan untuk memverifikasi ulang doktrin keagamaan, nantinya bermuara pada absolutisme paham keagamaan. Absolutisme ini pada gilirannya melahirkan praktik yang tidak etis. Permusuhan terhadap komunitas religius lain, misal, tidak jarang disandarkan pada pemaknaan teks keagamaan yang tidak elastis.

Di tengah anatomi tubuh umat Islam yang semacam itu, buku ini hadir. Seolah tanpa rasa getir, Mun’im Sirry memulai dengan mempertanyakan kembali status ontologis Al-Qur’an. Berpijak pada pertanyaan substansial apakah kitab suci umat muslim tersebut kalam Allah atau perkataan nabi. Dengan mengelaborasi pandangan pemikir Pakistan, Fazlur Rahman, penulis memberikan konklusi yang mencengangkan—kiranya tidak perlu dijabarkan di sini.

Apa yang hendak saya katakan bahwa tidak ada salahnya mempertanyakan entitas yang selama ini dianggap pakem. Sederet kesimpulan final yang termaktub dalam tradisi Islam klasik bisa untuk dikaji. Bahkan dengan sangat berani penulis mengangkat salah satu topik sensitif: pernikahan beda agama. Tidak hanya semata-mata mendiskusikan topik tersebut, melainkan memberikan kesimpulan hukum berbeda dengan mainstream ulama klasik.

Menyemai Relasi Umat Beragama

Pada persoalan nikah lintas iman ini saya mendapat satu kesan yang amat personal. Saya menganggap bahwa itu merupakan salah satu langkah penulis untuk semakin memperbaiki relasi antarumat beragama. Selama ini, secair apa pun relasi antar umat beragama, akan menjadi baku tatkala sampai pada bab pernikahan. Aturannya jelas, tidak boleh menikah dengan pengikut komunitas religius lain.

Kendati buku ini tidak spesifik membahas topik koeksistensi umat beragama, empat bab di dalamnya menjurus ke arah itu. Sebagai contoh, pada bagian ketiga membahas relasi tafsir dan Alkitab. Pada bagian ini, Mun’im mencoba menelisik tradisi eksegesis yang menggunakan Alkitab sebagai sandingan. Beberapa nama—yang asing di telinga—seperti Al-Biqa’i, Ibnu Barrajan, hingga Al-Harrali disebut berulang kali.

Sebagaimana saya sebutkan bahwa buku ini mengarah pada upaya merajut benang koeksistensi umat beragama. Pada bab kelima dan keenam secara eksplisit dibahas ihwal pluralisme agama. Sementara bab kelima membahasa pluralisme secara general, bab berikutnya mengurai gagasan pluralisme Wilfred Cantwell Smith. Kritik-kritik Mun’im terhadap orang yang anti pluralisme dapat kita jumpai di dua bab ini.

BACA JUGA  Meneladani Para Kiai untuk Menjauhi Radikalisme Agama

Satu hal penting diajukan oleh penulis dan barangkali tak banyak orang yang berani. Dalam tesmaknya, untuk menyemai pluralisme beragama, maka pertama-tama harus meninggalkan perspektif yang eksklusif. Anggapan bahwa agama sendiri yang paling benar dan superior harus segera ditinggalkan. Hanya dengan begitu, semangat pluralis dan tidak membabi-buta menyalahkan agama lain akan dapat dicapai.

Meluruskan Pluralisme Agama

Gagasan penting Mun’im Sirry pada bagian ini ialah tidak hendak menyamakan semua agama. Ia berulangkali menekankan bahwa perbedaan itu inheren dalam setiap agama. Artinya, satu tradisi agama dengan lainnya memiliki perbedaan (differences). Kendati begitu, ia juga tidak mengabaikan aspek-aspek kesamaan (similarities) dalam tradisi agama.

Ajaran moral universal, seperti berbuat baik, merupakan nilai-nilai yang ada dalam setiap agama. Dengan demikian, kendati terdapat perbedaan dari tradisi keagamaan, namun tidak bisa dipungkiri aspek kesamaannya. Dari deskripsi sederhana ini menjadi jelas bahwa pluralisme tidak hendak menyamakan semua agama. Kiranya, jikalau pluralisme hendak menyamakan semua agama, maka sejatinya terjebak pada contradictio in terminis.  

Berdasarkan itu pula, Mun’im mengkritik pihak yang anti terhadap pluralisme beragama, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurutnya, fatwa yang diberikan oleh MUI tidak tepat sasaran musabab secara definitif saja sudah keliru. Dalam fatwa yang dikutipnya, MUI menjelaskan bahwa pluralisme adalah paham yang hendak menyamakan semua agama. Padahal, secara faktual tidak demikian adanya.

Demikian pula anggapan bahwa pluralisme sebagai upaya mendistorsi kebenaran hingga taraf relatif (relativisme beragama). Di bagian ini penulis dengan tegas menyatakan bahwa pluralisme berbeda dengan relativisme. Sementara yang terakhir ini tidak meyakini adanya kebenaran, pluralisme tetap mengakui kebenaran agamanya.

Hanya saja—ini poin penting yang harus diingat—menyakini kebenaran agama sendiri, tidak lantas menafikan kebenaran agama lain. Meminjam bahasa penulis, meyakini ada kebenaran di agamanya merupakan satu hal. Hal lain, yaitu mengakui kebenaran di agama lain. Ringkasnya, meyakini kebenaran agama sendiri tanpa perlu menyalahkan agama lain.

Akhirulkalam, apa yang saya tangkap ialah upaya untuk memperbaiki wacana keberagamaan dan keberagaman. Hal menarik lain ialah gagasan di dalamnya tidak berangkat dari ruang kosong. Dalam arti bahwa hal tersebut bukan pikiran liar tanpa dasar, melainkan sebagai respon terhadap percaturan wacana intelektual sebelumnya.

Kendati dengan bentuk ringan, buku ini lahir dari pergulatan intelektual yang matang. Keberhasilan Mun’im terletak pada bagaimana kepiawaian dia mengombinasikan kekayaan intelektual Islam dan tradisi kritis ala Barat. Nampaknya, ia cukup berhasil menggali tradisi itu hingga kemudian mengartikulasikannya.

Sebagaimana berulang kali saya katakan, puncak dari buku ini ialah bagaimana merawat keberagaman dan keberagamaan. Keberagamaan yang kritis pada akhirnya akan menanggalkan belenggu konservatisme. Kiranya, ini adalah waktu yang tepat untuk meninggalkan belenggu itu. Buku ini telah memulai, kita kapan?

Moh Rofqil Bazikh
Moh Rofqil Bazikh
Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga. Mukim di Garawiksa Institute Yogyakarta. Menulis puisi di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Merapi, Rakyat Sultra, Bali Pos, Harian Bhirawa, Lampung News, Analisa, Pos Bali, Banjarmasin Post, Malang Post, Radar Malang, Radar Banyuwangi, Radar Cirebon, Radar Madura, Cakra Bangsa, BMR Fox, Radar Jombang, Rakyat Sumbar, Radar Pagi, Kabar Madura, Takanta.id, Riau Pos, NusantaraNews, Mbludus.com, Galeri Buku Jakarta, Litera.co, KabarPesisir, Ideide.id, Asyikasyik.com, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru