25.6 C
Jakarta

Memerdekakan Ulama Nasionalis-Modern

Artikel Trending

Milenial IslamMemerdekakan Ulama Nasionalis-Modern
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Menjelang pesta sejarah kemerdekaan pada 17 Agustus 2020, momentum ini menjadi lampu kuning mengingat memori Resolusi Jihad NU yang dimotori oleh kiai Hasyim Asy’ari sebagai ulama nasionalis-modern (1945). Semangat kepahlawanannya tak diragukan lagi dalam berjuang demi cita-cita luhur bangsa, agar tanah air ini menjadi negeri yang merdeka. Baik itu, merdeka dari cengkeraman penjajah maupun godaan ideologi.

Finalnya Pancasila, dan sejarah kemerdekaan 17 Agustus 1945 kenapa tidak kunjung berhenti dipersoalkan. Peristiwa ini patut kita garis bawahi, sehingga bertanya. Kenapa ulama ekstrem (FPI-HTI) cukup aktif memelintir sejarah ideologi negara? Apakah mereka bagian dari penjajah ideologi? Dimanakah komitmen nasionalisme keulamaan mereka terhadap NKRI?

Pelbagai pertanyaan ini menggugat ulama dari kelompok FPI-HTI yang masih kencang fitnah-fitnah dalil khilafah, di era kemerdekaan ini, ulama HTI sempat mengulas “Jejak Khilafah di Nusantara” di kanal youtube Khilafah Channel (02/08). Secara akademi historis para narasumber tampak awam, mulai Rokhmat S. Labib, Ismail Yusanto, dan Nicko Pondawa. Dalam diskusi tersebut Felix Siauw telah memandu acaranya.

Kenapa mereka tidak berkeinginan sama sekali mengangkat topik “Jejak Pancasila atau Sejarah Kemerdekaan NKRI”? Bukankah mosi ini amat substantif dan relevan kontekstual berhubung Islam dan keindonesiaan menjadi elemen yang tidak dapat dipisahkan karena peran jasa ulama dan kaum santri dengan berdarah-darah merebut kemerdekaan negara Indonesia.

Bukti bahwa ulama mereka (FPI-HTI) tidak memiliki nasionalisme berdasarkan fakta gerakannya yang tampak konfrontatif dan cenderung ekslusif. Bahkan, kerapkali menyerang status hukum ideologi yaitu Pancasila. Nasionalisme yang agung telah dibuat semakin ekstrem, dan radikal. Hal itu diakibatkan munculnya politik identitas, dan ide negara khilafah.

Inilah ulama yang berjiwa nasionalis-radikal, andai ulama mereka berjiwa patriot, dan nasionalis-modern. Maka, pastinya menerima kemerdekaan dengan lapang dada, terutama Pancasila butuh tafsir yang berkesimpulan bahwa ideologi tersebut wasathiyah. Tetapi, bukan yang lain.

Ulama Nasionalis

Umat Islam tidak repot memilih mana ulama yang memiliki jiwa nasionalisme-modern maupun yang nasionalisme-radikal, sedangkan yang modern berjasa dalam merebut kemerdekaan, dan pro Pancasila. Di sisi lain, yang radikal atau ekstrem mempersempit literatur sejarah kemerdekaan, dan kerapkali menentang Pancasila, serta membenturkan agama dan negara.

Taqiyuddin an-Nabhani, Riziek Shihab, dan ulama radikal lainnya. Adapun ulama yang menjadi suri tauladan di negeri ini, misalnya, kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah, kiai Wahid Hasyim, kiai Bisri Samsuri, kiai Ahmad Dahlan, Buya Hamka, dan ulama seterusnya. Oleh karena itu, kita dapat menilai mana yang harus dijadikan teladan atau refrensi kehidupan dalam bernegara.

Fatwa tentang nasionalisme kiai Hasyim Asy’ari dalam sebuah buku (KH. Hasyim Asy’ari Pegabdian Seorang Kyai untuk Negeri; 2017), mengatakan, maka sesungguhnya pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.

BACA JUGA  Kemajuan Bangsa-Negara Tidak Lahir dari Sistem Khilafah

Seruan ulama tersebut memperlihatkan jiwa dan raganya hanya untuk pengabdian kepada bangsa dan negara, berbeda dengan ulama radikal FPI-HTI. Meskipun mereka belum turut pernah berjasa atau berkontribusi hanya merongrong keamanan negeri ini, apalagi mengatasnamakan Islam sebagai identitas perjuangan mendirikan negara khilafah.

Negara dicap sekuler, komunis, dan lain sebagainya. Umat Islam tidak perlu berbangga diri atas tindakan dan gerakan dakwah mereka yang hanya menimbulkan permusuhan, menyebar hoaks, dan membuat persaudaraan Islam semakin guncang akibat ulah ulama mereka yang tidak berakhlak. Sebaliknya, mereka harus menjadi ulama nasionalis-modern, dalam artian mengayomi umat di tengah situasi pandemi, dan krisis ekonomi.

Sebab itu, mau bagaimana pun, secara sosial Pancasila digali dari nilai-nilai agama Islam, dan kemerdekaan 17 Agustus 1945 dibidani oleh kelompok Islam alias ulama. Seperti halnya, NU, dan Muhammadiyah. Sejarah ini yang wajib diperkenalkan kepada seluruh umat Islam di penjuru negeri melalui literatur-literatur sejarah proklamasi kemerdekaan, dan Pancasila.

Keteladanan

Ulama yang juga ikut andil mendirikan pesantren menjelang agenda proklamasi. Tentunya, patriotisme tersebut dapat dimaknai dalam konteks keislaman dan kebangsaan. Tidak lupa, ulama melakukan regenerasi pejuang dari kalangan santri. Supaya negeri ini tidak selalu diadu domba oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas masa depan negara.

Sehingga adanya nasionalisme-modern, setidaknya memperkuat hubungan ulama dan negara. Jasanya tidak dapat bernilai harganya walau ditukar dengan kepingan juta emas. Sebab itu, adalah suatu wujud kecintaan para ulama kepada negerinya yang diungkapkan melalui hadits, “hubbul wathan minal iman”. Artinya, cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

Pandangan menarik dalam buku (Seri Tempo: Wahid Hasyim Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan; 2011), mengatakan, bahwa bagi kiai Wahid, perbedaan politik bukanlah berarti permusuhan. Inilah sikapnya yang membuat ia disegani dan dihormati. Dalam konteks ini, perbedaan dalam segi apa pun, terutama dari sisi keyakinan maupun politik haruslah toleran.

Jadi, ulama-ulama nasionalis-radikal yang kini masih eksis menyebarkan narasi provokatif, kebencian, dan permusuhan. Perlu meneladani cara pandang bagaimana kiai Wahid Hasyima bersikap bijaksana, dan toleran. Hal itu dilakukan demi proklamasi kemerdekaan, tetapi, bukan demi proklamasi permusuhan akibat berbeda pijakan sejarah soal khilafah.

Peristiwa ini yang dominan berujung kepada krisis sejarah kemerdekaan, dan nasionalisme itu sendiri. Peran ulama nasionalis-modern kini sangat dibutuhkan oleh negara yang menginginkan keamanan, dan ketentraman. Dua mosi tersebut bermanfaat besar untuk seluruh umat beragama di negeri ini, khususnya dalam upaya menggerakkan perubahan, dan perdamaian.

Hasin Abdullah
Hasin Abdullahhttp://www.gagasahukum.hasinabdullah.com
Peneliti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru