27.8 C
Jakarta

Memeluk Senja (Bagian XIX)

Artikel Trending

KhazanahOpiniMemeluk Senja (Bagian XIX)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Di perjalanan berikutnya Diva melamun. Mobil digas, bergerak pelan sambil menikmati kemacetan di perjalanan. Fairuz duduk di sebelah Diva. Tiada kata yang diobrolkan. Kelihatannya sibuk dengan kepentingan masing-masing. Diva melamun dengan tatapan kosong ke depan, sementara Fairuz fokus menikmati ponselnya.

Perjalanan ini seperti takdir kehidupan. Sungguh di luar rencana. Aku belum pernah bermimpi duduk di sampingmu, Fai. Tapi, takdir yang membersamakan kita pada suatu waktu.

Diva mengucek kelopak matanya. Butiran debu hinggap tiba-tiba.

Jika aku ditanya: Siapa guru masa depanmu? Seketika itu pula aku jawab, “Fairuz.” Kau guru pertamaku yang mengenalkan aku dengan cinta. Kau mengajarku lewat oretan puisimu yang maha indah. Kata-katamu membawaku tenggelam dalam harapan. Entahlah. Aku tidak tahu akan dibawa berlayar ke mana.

“Diva tahu kita menuju ke mana?” tanya Fairuz membuyarkan lamunannya.

“Tidak. Kita mau ke mana ya?” Diva belum hafal perjalanan di Jakarta.

“Busettt. Mau aku bawa ke sebuah danau harapan?” goda Fairuz sontak.

Diva menatap Fairuz tajam. Mulut terkunci. Tiada sepatah kata yang terucap.

“Mas Fairuz bercanda, kan?” Diva seakan ragu.

“Nggak.”

Diva teringat mimpi kemarin tentang kesatria yang menunggu cinta di tepi danau, bahkan Diva berharap menjadi cinta yang menanti sang kesatria merengkuh hatinya.

“Apakah mimpi itu bisa menjadi nyata?” Pertanyaan Diva terkesan aneh di telinga Fairuz.

Fairuz mengernyitkan dahi, “Aku gagal paham.”

Diva mencerita mimpinya yang sampai hari itu masih kuat dalam ingatan. Mimpi itu terkesan dramatis dan menyenangkan saat ketemu seorang kakek yang cerdik dan bijak. Si kakek mengingatkan Diva terhadap Sang Alkemis yang menebar pesan-pesan bijaksana dalam novel Sang Alkemis yang ditulis Paulo Coelho.

“Jangan tanya aku. Tanya peramal mimpi,” ucap Fairuz.

“Bantu aku dong!” Diva menatap wajah Fairuz yang tampak kebingungan.

“Mobil sudah memasuki area Situ Gintung,” kata seorang driver. Diva dan Fairuz bergegas keluar dan berjalan beberapa langkah sudah sampai di sebuah danau kecil buatan yang terletak di Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Lokasi danau ini berada di sebelah barat daya kota Jakarta. Danau seluas 21,4 ha ini telah berubah fungsi, dimanfaatkan sebagai tempat wisata taman.

Please ramal mimpiku, Mas.” Diva sedikit memaksa.

“Diva mulai tidak beres nih,” kata Fairuz dalam hati.

“Mas.”

“Iya, na-nanti aja,” kata Fairuz sedikit tercekat, “Kita cari tempat untuk duduk yang nyaman.”

Senja menguning membungkus kota. Para pengunjung duduk berselonjoran di bibir danau.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Stop Sikap Ekstremisme di Ruang Digital!

“Duduk di sini aja, Div.”

Mereka duduk di antara para pengunjung. “Menyenangkan rasanya bisa menitipkan harapan bersama di danau seindah ini,” Diva berujar sambil menikmati hembusan angin sore itu.

“Aku ingin jadi peramalmu.” Sekonyong-konyong Fairuz berkata begitu.

“Beneran?!” Diva kegirangan.

“Tapi ingat, ramalan itu hanya dugaan saja. Itu bukan ilmu. Kan aku bukan ahli ramal.”

No problem.

“Diva sedang mengimpikan berjuta harapan, termasuk harapan kehadiran seorang kesatria.”

“Siapakah kesatria itu?” Diva tak sabar memotong.

“Dialah yang hadir dalam mimpi tidurmu.”

“Bukankah kesatria ada di dunia dongeng alias dunia mimpi?”

“Tidak selamanya. Bisa jadi ada dalam doamu.”

“Doaku?” desis Diva kaget.

“Kesatria bisa jadi masa depanmu, Div.”

Diva semakin tidak mengerti.

“Kalo dia orang, apakah dia orang baik?”

“Boleh jadi.”

“Kenapa tidak pasti?”

“Kesatria itu sosok manusia. Tidak semua manusia berhati mulia. Ada yang jahat. Ada yang baik.”

“Bagaimana jika sang kesatria itu jahat?”

“Jika kau membawa cinta, kau akan menyesal.”

Why?

“Karena kau menitipkan amanah kepada orang yang salah, orang yang tidak bertanggung jawab, pengkhianat.”

“Amanah?”

“Cinta itu kan amanah.”

And then?

“Titipkan amanah itu kepada orang yang bertanggung jawab, karena kau akan bahagia, dia akan memberi tanpa harus meminta.”

Sejenak terdiam. Tiada kata yang terucap. Sorak suara pengunjung sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang ngeledekin temennya sendiri. Ada yang membidik senja terbenam di ufuk barat. Ada yang bersenda gurau dengan kekasihnya.

Suara pengamen terdengar syahdu. Menyanyikan bait-baik lagu Menunggu Kamu ciptaan Anji. Sebuah lagu yang mengisahkan tentang long distance relationship, hubungan jarak jauh. Betapa rindunya dua kekasih yang saling mencintai, tapi jarak yang memisahkan. Begitulah cinta. Kadang selalu indah, kendati hanya membaca pesan-pesan yang dikirim lewat sosmed.

“Apa yang kau perbuat seandainya kesatria itu ada di sampingmu?” Pertanyaan Fairuz terkesan aneh di telinga Diva.

Diva terdiam. Speechless. Diva mengerti Fairuz punya perasaan yang sama dengan Diva.

“Div,” seru Fairuz.

“Kasih aku waktu untuk menjawabnya,” ucap Diva diikuti tetes air mata yang berhamburan dikibas angin sore.

“Kapan, Div?”

“Tunggulah senja itu menghilang.”

“Baiklah.”

Sorry, jawabannya telah aku titipkan pada senja itu.”

“O ya?!”

Senja pergi. Tinggal bekasnya. Sebagian pengunjung tak kelihatan batang hidungnya. Tapi, sebagian yang lain masih duduk.

“Izinkan aku memeluknya,” pinta Diva menjelang sunset.

Di tepi danau kecil mereka memeluk senja erat dan makin erat, tanpa ingin melepasnya. Cinta menyatukannya dalam sebuah ikatan yang mengabadikan. Cinta mengbingkainya dengan harapan masa depan. Cinta mempertemukan tanpa memisahkan. Senja mengintip di balik gelap malam ibu kota. Tiada keindahan di jagat raya selain indahnya jatuh cinta.

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru