29.7 C
Jakarta

Membumikan Pelajaran Pancasila di Sekolah Perspektif Syaiful Arif

Artikel Trending

KhazanahOpiniMembumikan Pelajaran Pancasila di Sekolah Perspektif Syaiful Arif
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Aziz Anwar Fachrudin dalam Polemik Tafsir Pancasila (2018) mengatakan, Pancasila kini sudah “dikunci” dalam konstitusi. Bersamaan dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pembukaan UUD 1945 (yang mengandung sila-sila Pancasila) tidak dapat diubah.

Itu semua karena tiga hal. Pertama, Pancasila akan terus memengaruhi diskursus politik Indonesia. Kedua, kawasan yang dapat dinegosiasi ialah tafsir-tafsir terhadap Pancasila. Ketiga, Pancasila akan terus diundang untuk mendukung dan meningkatkan kredibilitas satu klaim politik tertentu, bahwa klaim politik itu telah berdasar pada dasar negara dan konsensus bangsa.

Atas dasar itulah maka, saya rasa penting membumikan pelajaran Pancasila di sekolah. Hal ini karena, sejauh ini, pelajaran wajib tentang Pancasila hanya ada di bangku perkuliahan, sedang di bangku sekolah masih belum ada, sejak terakhir di era Orde Baru. Jika pun ada di era pasca Reformasi ini, masih amatlah terbatas.

Hal tersebut senada dengan pernyataan Syaiful Arif (2021), materi Pancasila masih diselipkan dalam Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dengan ungkapan lain, yang menjadi mata pelajaran wajib bukan Pancasila, melainkan PKn. Pancasila hanya menjadi asesoris dalam PKn sehingga materinya sangat minimalis.

Dengan demikian, adalah penting membumikan Pancasila di sekolah. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara mewujudkannya?

Untuk mewujudkannya tentu cukup sulit jika tidak ditopang oleh regulasi. Sebab, konsekuensi logis bernegara hukum ialah segala tindak perilaku warganya termasuk mewajibkan pelajaran Pancasila di sekolah harus diatur, sekurangnya diatur dalam peraturan presiden.

Terlepas daripada itu, guna menjawab pertanyaan tadi, saya akan berpijak pada perspektif Syaiful Arif. Perlu diketahui, Syaiful Arif merupakan sosok yang kapabel atau kompeten dan aktif mengkaji tentang Pancasila.

Pasalnya, selain ia berposisi sebagai Direktur di lembaga Pusat Studi Pemikiran Pancasila namun, ia kerap menggelar kajian mingguan tentang Pancasila di Facebook pribadinya. Ini artinya, keahliannya dalam bidang tafsir Pancasila amatlah mumpuni. Sehingga, tidaklah keliru jika saya berpijak pada pemikirannya.

Kaitannya urgensi pelajaran Pancasila di sekolah ini, Syaiful Arif dalam Menghidupkan Pelajaran Pancasila mengatakan, ada hal pokok yang melatarbelakangi yakni karena dalam buku ajar Guru PPKn terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018, Pancasila ditulis tidak dalam satu bab sendiri.

BACA JUGA  Mendidik Anak, Membangun Bangsa: Belajar dari Ibunda Imam Syafi’i

Bahkan, penulisannya juga masih bermasalah, misalnya dengan menyatakan bahwa terdapat tiga rumusan Pancasila versi Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno.

Padahal, kata dia, rumusan ini sudah banyak dikritik, dan telah diluruskan oleh Keputusan Presiden No. 24/2016 tentang 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Melalui Keppres ini, Pancasila tidak dilahirkan oleh Yamin pada 29 Mei dan Soepomo pada 31 Mei, melainkan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945.

Atas dasar itulah, Syaiful Arif beranggapan bahwa Pancasila sebagai pendidikan wajib sangat wajar dan bahkan wajib, karena sejumlah alasan. Pertama, karena Pancasila ialah dasar negara. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan norma dasar negara (Grundnorm).

Di sini, norma dasar tidak terbatas sebagai sumber bagi segala sumber hukum. Melainkan sumber bagi segala sumber kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu bidang kenegaraan itu ialah pendidikan, sehingga Pancasila juga merupakan sumber bagi segala sumber pendidikan kita.

Kedua, karena pewajiban pendidikan Pancasila telah menjadi kebijakan tetap di pemerintahan sejak Indonesia merdeka. Selama Orde Lama, Pancasila menjadi pendidikan wajib di Perguruan Rendah dan Perguruan Tinggi melalui TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang PNSB.

UU No. 22/1961 tentang Perguruan Tinggi juga menetapkan Pancasila sebagai mata kuliah wajib. Selama Orde Baru hal serupa ditetapkan oleh TAP MPR No. II/MPR/1988 tentang GBHN. Pendidikan Pancasila ditetapkan sebagai materi wajib sejak TK hingga Pendidikan Tinggi.

Akan tetapi, setelah dicabutnya TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Pendidikan Pancasila ikut terhapus, karena Pendidikan Moral Pancasila (PMP) waktu itu memang satu paket dengan P-4. Alhasil, Pancasila lalu tidak dijadikan mata pelajaran dan mata kuliah wajib pasca Reformasi, melalui UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas.

Ketiga, Presiden Joko Widodo telah memiliki rencana untuk memulihkan kembali pendidikan Pancasila–pada semangat aslinya yaitu semangat Pancasila 1 Juni 1945–sebagai mata pelajaran wajib pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Dengan demikian, pelajaran Pancasila di sekolah perspektif Syaiful Arif ini amatlah penting. Semoga pemikirannya dapat menembus ruang sidang parlemen sehingga, gagasannya dapat dibumikan.

Saiful Bari
Saiful Bari
Alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di Ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini menjadi Redaktur Majalah Silapedia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru