33.2 C
Jakarta

Membumikan Moderasi Beragama: Mencegah Radikalisme dan Merajut Ukhuwah Kebangsaan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMembumikan Moderasi Beragama: Mencegah Radikalisme dan Merajut Ukhuwah Kebangsaan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki beragam suku, agama, ras, dan budaya. Keberagaman tersebut merupakan kekuatan. Namun dalam implementasinya, dinamika ekspresi keberagamaan di era demokrasi seringkali berpotensi memunculkan ketegangan dan konflik antarmasyarakat dan antarumat beragama. Karenanya, moderasi beragama menjadi sesuatu yang urgen.

Moderasi beragama merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Moderasi merupakan kebajikan yang mendorong terciptanya harmoni sosial dan keseimbangan dalam kehidupan secara personal, keluarga dan masyarakat. Lantas bagaimana yang dimaksudkan dengan moderasi beragama?

Dalam KBBI, kata moderasi diartikan sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Sehingga moderasi beragama dipahami sebagai sebuah sikap menghindari keekstreman dalam beragama dengan tetap menjalankan kewajibannya sebagai pemeluk agama tertentu. Cara pandang kita yang moderat memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak  ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

Sementara itu, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam pelbagai kesempatan sering mengatakan bahwa moderasi beragama adalah sebuah jalan tengah dalam keberagaman agama di Indonesia. Ia adalah warisan budaya Nusantara yang berjalan seiring dan tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal atau local wisdom.

Istilah moderasi (al-wasathiyah) artinya tengah atau moderat. Watak Islam adalah moderat dalam hal bertindak dan moderat dalam segala urusan baik, tindakan, ucapan, atau pikiran. Mohammad Hashim Kamali menegaskan bahwa moderate tidak dapat dilepaskan dari dua kata kunci, yakni berimbang (balance), dan adil (justice).

Moderat bukan berarti kompromi dengan prinsip-prinsip pokok ushuliyah demi bersikap toleran kepada umat agama lain. Moderat berarti “… confidence, right balancing, and justice…”. Tanpa keseimbangan dan keadilan, seruan moderasi beragama tidak efektif. Imam Shamsi Ali menyimpulkan, moderasi itu adalah komitmen kepada agama apa adanya. Tak kurang dan tak lebih.

Moderasi Beragama Sebagai Komitmen

Agama teramalkan dengan penuh komitmen: mempertimbangkan hak-hak vertikal (ubudiyah) dan hak-hak horizontal (ihsan). Anis Malik Thoha mengatakan, Muslim moderat adalah seorang Muslim yang memenuhi prinsip moderasi dalam Islam; tidak ekstrim kanan maupun kiri.

Hal ini berarti bahwa Muslim harus mampu menjaga dirinya untuk tidak menggunakan kekerasan, melainkan membawa kedamaian dan rahmat untuk semua alam. Juga memahami bahwa Islam memiliki hukum yang bersifat tetap dan ada yang bisa berubah atau diijtihadkan sesuai perkembangan jaman

Juga tidak menggunakan pemaksaan; tidak mengompromikan hal-hal dasar dalam agama; mengompromikan hal-hal yang bersifat fundamental dalam beragama yaitu hidup rukun berdampingan dengan siapapun (Priyantoro Widodo, 2019).

Tim Kementrian Agama RI menyebutkan bahwa kemajemukan di pelbagai kondisi di Indonesia sangat memerlukan suatu sistem pengajaran agama yang komprehensif. Mewakili setiap orang yang ada melalui ajaran yang luwes dengan tidak meninggalkan teks. Atau, pentingnya penggunaan akal sebagai solusi dari setiap masalah yang ada.

Dalam realitas kehidupan beragama di Indonesia, agama Islam dominan memiliki pandangan yang berperilaku ekstrem. Karenanya, kita hendaknya mengajak kaum milenial dapat memahami sikap moderasi beragama. Sebab, sikap ini menjadi formula ampuh dalam merespons dinamika zaman di tengah maraknya intoleransi, ektremisme dan fanatisme yang bisa mencabik kerukunan umat beragama di Indonesia.

Kalau kita melihat agama secara kelembagaan, pastilah kita akan melihat ragam perbedaan. Tapi, agama juga bisa dan mestinya dilihat dari sisi dalam, yaitu esensi dan subtansinya pada nilai-nilai universal.

Silakan kita mengamalkan ajaran agama, namun jangan menyeragamkannya. Agama butuh wilayah damai yang butuh spiritualitas nilai agama. Kementerian Agama sejak beberapa tahun lalu gencar mengusung moderasi beragama: agama yang datang dari Tuhan adalah untuk kemanusiaan. Meski, sebagian kita boleh jadi terjebak pada pengamalan yang berlebihan.

Upaya Memasyarakatkan

Di sinilah peran moderasi beragama untuk mengajak kutub-kutub yang berlebihanan kembali ke tengah masyarakat. Hasil riset Kemenag menyebutkan, maraknya intoleransi karena pengamalan ajaran agama baru sebatas penekanan formalitas, belum menyentuh nilai-nilai esensial. Nilai itu misalnya agama tidak semata untuk Tuhan, namun juga untuk manusia itu sendiri.

Kita saat ini berada di era milenial. Sangat penting untuk membumikan dan memasyarakatkan moderasi beragama. Pemerintah telah berusaha semaksimal mungkin terealisasi program tersebut dalam pelbagai cara dan metode. Penguatan moderasi beragama penting berdasarkan fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk dengan berbagai macam suku, bahasa, budaya dan agama.

BACA JUGA  Salah Fatal Para Radikalis Memahami Ayat-ayat Perang, Lawan!

Indonesia juga merupakan negara yang agamis walaupun bukan negara berdasarkan agama tertentu. Hampir tidak ada aktivitas keseharian kehidupan bangsa Indonesia yang lepas dari nilai-nilai agama. Keberadaan agama sangat vital di Indonesia, sehingga tidak bisa lepas juga dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Moderasi beragama juga penting untuk digaungkan dalam konteks global—mewujudkan peradaban dunia yang bermartabat.

Kita mengetahui bahwa di negeri ini beragama hakikatnya adalah ber-Indonesia. Agama apapun pasti menekankan nasionalisme. Setiap umat beragama di Indonesia agar memiliki kesadaran bahwa mengamalkan ajaran agama hakikatnya sedang menjaga keindonesiaan. Karena Indonesia merupakan negara religius dan agamis, bukan sekuler.

Kita dalam mengamalkan ajaran agama yang kita anut, itu sesungguhnya sedang menjaga Indonesia agar tetap agamis. Sebaliknya, jika kita mengamalkan kewajiban sebagai warna negara Indonesia dan patuh pada ketentuan itu sesungguhnya kita mengamalkan ajaran agama (Lukman Hakim Saifuddin, 2019).

Dalam sebuah penelitian Leni Winarni menunjukkan radikalisme abad ini menarik agama, khususnya Islam dalam situasi dan kondisi yang tak terelakkan dan memunculkan konektivitas antara Islam dengan kekerasan. Itu yang kemudian merugikan dunia Islam, padahal ia adalah agama yang rahmatan lil alamin.

Fakta Sejarah Moderasi Beragama

Kelahiran Islam ribuan abad silam bahkan tidak diwarnai dengan pedang. Islam membawa pesan-pesan perdamaian Nabi Muhammad Saw. Di satu sisi juga melabelkan bahwa radikalisme sebagai pemahaman yang sangat negatif. Ada dua hal utama yang dapat disimpulkan. Pertama, bahwa media internet mengambil porsi besar dalam memberikan informasi kepada publik, terutama kaum muda akan ideologi radikal.

Hal ini beriringan dengan fakta bahwa perekrutan kaum muda dalam organisasi radikal banyak terjadi melalui media internet. Organisasi teroris dan yang terafiliasi dengannya telah memanfaatkan teknologi yang dapat memudahkan mereka menyebarkan propaganda. Merekrut anggota potensialnya melalui internet adalah hal yang sangat miris dari kemajuan media massa itu sendiri.

Kedua, media massa memegang peran kunci dalam menangkal dan memberikan informasi ke publik terhadap isu-isu radikalisme. Sehingga masyarakat dapat melakukan tindakan pencegahan berkembangnya ekstremisme. Meskipun pada dasarnya, Indonesia adalah negara Islam moderat dan radikalisme sulit berkembang di negeri ini, namun bukan berarti Indonesia tidak luput sebagai target bagi mereka, terutama generasi muda.

Apapun itu, media massa memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap publik. Meskipun di sisi lain pemberitaan itu menjadi propaganda cuma-cuma. Namun ia juga memunculkan gerakan massa dari masyarakat sendiri untuk aktif berperan serta menjaga lingkungannya dari hal-hal yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum tanpa hanya bergantung pada pemerintah (Leni Winarni, 2014).

Komitmen Ukhuwah Kebangsaan

Dalam konteks Indonesia, komitmen kebangsaan harus tersuarakan kembali. Karena bagaimanapun, keutuhan bangsa yang menjadi tempat umat beragama mengartikulasikan agama harus senantiasa terjaga keamanan dan kedamaiannya. Tidak boleh atas nama agama merusak sendi-sendi kehidupan dan kedamaian berbangsa.

Kedamaian dalam sebuah bangsa menjadi syarat dalam kenyamanan mengimplementasikan nilai-nilai agama. Selain itu, penting juga mengakomodasi ragam budaya lokal bangsa dalam memahami agama. Seseorang harus senantiasa melihat budaya yang ada. Jika pun secara prinsip ada budaya yang bertentangan dengan pokok ajaran agama, maka harus melakukan pendekatan persuasif. Karena agama tidak bisa menyebar dengan cara-cara kekerasan (Muhammad Faizin, 2020).

Beranjak dari itu, mencegah radikalisme dalam kehidupan yang multikultural di era milenial ini sangat memerlukan pemahaman dan kesadaran multibudaya yang menghargai perbedaan, kemajemukan dan sekaligus kemauan berinteraksi dengan siapapun secara adil. Menghadapi keragaman, maka sikap moderasi beragama sifatnya krusial.

Terjadinya indikator sikap dalam moderasi beragama sendiri terbagi atas empat, yakni komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Agama apapun tentu tidak mengajarkan kekerasan dan kejahatan. Terlebih yang menimbulkan korban dan merugikan masyarakat. Dengan pemahaman moderasi beragama yang baik, itu menjadi salah satu upaya menghindari radikalisme sert merajut ukhuwah kebangsaan.

Wallah al-Muwaffiq ila Aqwam ath-Thariq

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen dan Ketua PC Ansor Pidie Jaya, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru