29 C
Jakarta

Membumikan Islam Moderat, Membendung Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMembumikan Islam Moderat, Membendung Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Fenomena di Indonesia, kata Islam senantiasa disandingkan dengan kata “berkemajuan” dan kata “Nusantara”. Namun, sangat disayangkan kata “Islam” saat ini mulai disandingkan dengan terorisme, radikalisme, dan intoleransi karena adanya beberapa kasus yang mengatasnamakan Islam. Islam moderat pun tidak lagi mengemuka di ruang publik.

Misalnya saja, teror ledakan bom bunuh diri yang terjadi di gerbang Gereja Katedral Makasar (28/3). Menurut penulis, aksi teror bom bunuh diri merupakan puncak dari pemahaman keagamaan intoleran dalam menyikapi keberagaman hidup, yang mana si pelaku merasa sudah enggan untuk hidup berdampingan dengan orang yang berbeda pemahaman.

Secara definisi, terdapat perbedaan antara terorisme, radikalisme, dan intoleransi. Intoleransi dan radikalisme belum tentu termasuk terorisme. Akan tetapi, intoleransi dan radikalisme dapat menjadi cikal bakal aksi terorisme, sedangkan terorisme sudah pasti termasuk dalam radikalisme dan intoleransi. Oleh karena itu, kita perlu meng-counter pemahaman/narasi keagamaan yang intoleran dan radikal.

Pemerintah sebenarnya sudah melakukan perannya dengan menjalankan program deradikalisasi hingga berhasil melemahkan jaringan radikalisme. Misalnya saja dengan membubarkan organisasi yang anti Pancasila. Akan tetapi, intoleransi masih tumbuh subur di masyarakat Indonesia. Survei dari Wahid Institute (2020) menggambarkan bahwa sikap intoleransi di Indonesia cenderung meningkat dari 46% hingga sekarang menjadi 54%.

Fenomena intoleransi, radikalisme, dan terorisme sebenarnya bermula dari adanya pemahaman ekslusif, yang kemudian menjadi sikap intoleran, mengeras menjadi tindakan radikal yang memusuhi dan menyerang kelompok yang berbeda, dan kemudian menjadi gerakan teroris yang merusak tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu diperlukan pembenahan pemahaman Islam yang ekslusif menjadi Islam yang inklusif, Islam yang moderat.

Konsep Islam Moderat

Islam moderat atau Islam wasathiyah merupakan pemahaman keislaman yang berada di tengah-tengah, tidak condong ke kanan dan tidak pula condong kiri. Islam kiri yang bersifat liberal yang dalam memahami agama secara historis/kontekstual, sedangkan Islam kanan bersifat fundamental yang memahami agama secara normatif/tekstual (Irwan Masduwi, dalam bukunya “Berislam Secara Toleran”).

Islam moderat berupaya agar tidak saling menyalahkan, tidak menyatakan paling benar sendiri, dan bersedia berdialog, sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat. Jika ini yang dijadikan pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya makna konsep Islam moderat.

Islam Moderat tetap menggunakan dalil naqly (normatif) dan dalil ‘aqly (rasional) dalam menghasilkan pemahaman keagamaan yang moderat. Islam Moderat tidak hanya rasional tetapi juga harus normatif.

Din Syamsudin, cendekiawan muslim kontemporer Indonesia, pada acara Konferensi Tingkat Tinggi Muslim Dunia (2018) merumuskan bahwa Islam moderat dapat diwujudkan dengan toleran, bertengggang rasa, dan tepa salira. Tiga karakteristik tersebut menekankan untuk menghargai perbedaan, menjunjung tinggi persaudaraan, dan mengedepankan persatuan.

Dalam bersikap, Islam Moderat setidaknya punya tiga indikator yang dapat diterapkan baik dalam hal beragama, bermasyarakat, dan bernegara, yakni tawazun (seimbang), tawasuth (penengah), dan tasamuh (toleran). Tawazun (seimbang), dalam hal ini berarti dapat seimbang dalam memahami agama, realitas yang terjadi di masyarakat, dan bernegara.

BACA JUGA  Kontra-Radikalisme: Narasi Keislaman Mengatasi Ekstremisme

Tawassuth (mengambil jalan tengah) yang berarti pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafrith (mengurangi ajaran agama) di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek beragama, bermasyarakat, dan bernegara (Fahri, Mohamad & Zainuri, Ahmad, 2019:99).

Pemahaman Islam Moderat merupakan perwujudan cara pandang berislam, bermasyarakat, dan bernegara. Kita semua tidak bisa terus menutup mata dengan realita yang terjadi di Indonesia, sudah banyak sikap, tindakan, dan aksi keagamaan yang cenderung anarkis, keras, dan memaksa sehingga terjadi perselisihan, pergesekan, dan konflik beragama.

Ditambah lagi, Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, akan sangat berbahaya apabila tidak dibarengi dengan pemahaman keislaman yang tepat karena dapat merusak kesatuan dan persatuan bangsa yang selama ini dibangun atas dasar kemajemukan (artinya terdiri atas bermacam suku, ras, agama, dan antargolongan).

Konsep Islam Moderat sebenarnya sudah bergulir sejak lama, pun sudah diangkat dalam berbagai kesempatan. Dalam sejarah keagamaan Islam di Indonesia, Walisongo berhasil memadukan aspek keagamaan dan produk kebudayaan atau tradisi lokal. Cara pandang tersebut kemudian berhasil secara signifikan mengenalkan dan mengajarkan Islam kepada masyarakat. Kemudian Pada sektor politik misalnya, pasca reformasi tahun 1998, Islam Moderat digaungkan untuk menyelaraskan demokrasi dan Islam.

Sampai saat ini pun, konsep Islam moderat senantiasa digaungkan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nadhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MU). Meskipun NU dan MU berada dalam kutub yang berbeda, namun keduanya diikat oleh kesamaan pandangan tentang Islam yang rahmatan lil’alamin, Islam Moderat yang memadukan cara pandang beragama, bermasyarakat, dan bernegara.

Meskipun demikian, seiring berkembangnya teknologi, pemahaman Islam Moderat mulai digeser oleh keberadaan identitas Islam baru yang terus bermunculan di Indonesia. Adanya teknologi memungkinkan mereka bergerak lebih masif dan menjangkau lebih banyak anak muda di Indonesia.

Membumikan Moderasi

Anak muda milenial yang lebih banyak menghabiskan waktu di sosial media sebenarnya sangat rentan terpapar isu intoleransi dan radikalisme. Ditambah lagi ketika pengemasan konten yang punya basis intoleransi dan radikalisme menjadi lebih menarik daripada konten islam moderat.

Hal tersebut kemudian menjadi tantangan. Dakwah Islam Moderat pun harus bisa beradaptasi dan mulai menargetkan anak muda. Pengemasan materi pun harus bisa lebih kekinian dan diterima oleh anak muda. Misalnya dengan menebarkan narasi Islam rahmatan lil’alamin melalui konten-konten media sosial seperti meme, status, video, dsb. Selain itu, pembekalan materi analisis dan daya nalar kritis perlu diberikan kepada anak muda agar tidak mudah terpengaruh, karena spirit berislam juga harus dibarengi dengan spirit bermasyarakat dan bernegara.

Gokhan
Gokhan
Ketua Excellent Academic Community (EXACT).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru