29.7 C
Jakarta

Membongkar Ketidakislaman ISIS

Artikel Trending

KhazanahOpiniMembongkar Ketidakislaman ISIS
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Manusia merupakan makhluk yang diberikan keistimewaan oleh Tuhan berupa akal. Eksistensi akal dalam diri manusia memberi ruang pembeda antara dirinya dan hewan juga tumbuh-tumbuhan. Akal menjadi potensi (fitrah) manusia untuk mendayakan dirinya. Prioritasnya ialah menemukan jalan menuju pada pemilik yakni Tuhan. Tetapi, apakah eksekutor seperti ISIS misalnya, memilikinya?

Selain itu, akal lazimnya dipahami sebagai alat untuk berfikir; menemukan suatu pengetahuan ataupun perkara. Dalam Islam, ada beberapa perintah Tuhan kepada manusia mengenai memfungsikan akalnya secara benar. Kebenaran manusia dalam memfungsikan akal tidak lain ialah memiliki pedoman dan dasar yang kuat. Tentunya, berguru pada guru yang mumpuni (ahli dalam bidangnya).

Pedoman dalam pemaksimalan fungsi akal tidak lain ialah berdasar Al-Qur’an, Hadis, juga ijtihad para alim ulama’ yang teruji dan kompeten (ahli dalam bidangnya). Meski demikian, tidak menjadi anjuran jika sebagai manusia yang memiliki daya pikir tidak dapat menemukan dalil argumentatifnya sendiri. Lebih ekstrimnya ialah taklid semata dalam beragama.

Normalisasi Taklid Beragama ala ISIS

Taklid dalam beragama merupakan pemakluman (normalisasi; sesuatu yang diwajarkan), jika yang menjadi subjek taklid terus belajar dan paham apa yang dipelajari. Akan tetapi, hal ini seakan bergeser ke arah yang lebih ekstrim yakni bahwa semua hal yang dipelajari dalam agama perlu taklid. Taklid dipahami sebagai suatu yang baik. Alhasil, terbentuklah fenomena beragama yang unik dan dilematis.

Ada beberapa keunikan yang dapat ditemukan dilapangan, diantaranya berkembangnya santri yang tidak dapat lagi mengeksiskan dirinya melalui argumentatif yang logis (yang ditemunya secara otodidak) dalam beragama. Hal ini dikarenakan pembiasaan yang dlianggengkan, yakni menyertakan ungkapan ‘mentah’ dari gurunya tanpa diolah dirinya dan dipahami dengan bahasanya sebagai bentuk penemuan alur berfikir. Sehingga, terbentuklah santri yang membiasakan, melanggengkan, dan cenderung pasif dalam berfikir.

Lebih uniknya, fenomena ini dianggap beberapa kalangan santri sebagai suatu penemuan yang logis dan sistematis. Ditambah dengan kontribusi besar prasangka baik terhadap para pencari ilmu (posisi dirinya). Umumnya, perihal ini menjadi alasan para santri untuk melanggengkan kebiasaan tersebut. Artinya, konstruksi pengetahuan yang dibangun ialah ihwal adab. Berdialektika dalam suatu kajian dianggap sebagai suatu yang salah dan tidak beradab. Maksudnya ialah bertanya atas ketidakpahaman dan ketidaksetujuan atas materi yang disampaikan guru dianggap sebagai suatu hal yang salah.

Dilematisnya ialah membiasakan menyertakan argumen gurunya sebagian besar dipahami sebagai suatu hasil dalam mencari ilmu, terkhusus kaitannya dengan tauhid. Dilain hal, argumen guru hadir sebagai jalan atau pintu pembuka bagi para santri untuk menjelajahi maksud yang dibawa oleh argumen tersebut. lebih mudahnya, eksistensi argumen guru; sebagai landasan awal atau dasar dalam mengembangtumbuhkan argumentatif seorang santri supaya dapat dipahami secara komprehensif tidak sebatas kalimat.

Disfungsional Ruang Intelektual

Problematika ini tidak hanya eksis dalam rutinitas santri, melainkan juga dalam ruang akademisi. Ruang para akademisi dikenal sebaga sekolah ataupun kampus yang idealnya bertujuan menciptakan kader intelektual yang outputnya mampu menimbang segala argumen dari berbagai arah dengan kelogisan berfikir dirinya secara objektif. Sehingga, dapat melahirkan kader dengan kualitas gagasan yang jernih disertai alur agumentatif yang mulus dan apik, mudah dipahami.

Ruang intelektual yang seharusnya menjadi tempat lahirnya para pemikir seakan bergeser dan disfungsional ketika kata-kata dari tokoh yang diidolakan diposisikan dalam kebenaran mutlak, tanpa dipahami secara objektif. Tidak dipungkiri hal demikian terjadi disebabkan oleh fakta lapangan bahwa setiap individu lazimnya memiliki tokoh yang diidolakan dan menjadi panutan. Tokoh yang diidolakan secara tidak langsung menjadi landasan berfikir dan kata-kata yang keluar dari ungkapannya menjadi motivasi tersendiri bagi individu.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Stop Sikap Ekstremisme di Ruang Digital!

Tidak hanya itu, dampak dari pembenaran atas satu tokoh berkontribusi pada keparsialan berfikir. Lebih bahaya jika sampai pada taraf membenarkan secara mutlak atas segala yang diungkapkan dari pemikiran tokoh yang dikaguminya secara buta. Perihal ini merupakan salah satu permasalahan yang hadir diruang akademisi. Sehingga tidak sedikit, banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya telah taklid pada tokoh yang diidolakannya.

ISIS dan Dampak Negatif Taklid

Ada beberapa permasalahan besar yang lahir dari penormalisasian taklid buta dalam beragama. Diantaranya ialah terpecahnya kedamaian beragama, hancurnya kedamaian bernegara, hilangnya jiwa kemanusiaan dan persatuan, dan kerugian besar dalam ranah sosial lingkungan mikro dan makro. Salah satu contoh populer masalah taklid buta ialah ISIS.

ISIS merupakan organisasi yang mengaku beragama Islam dan berjihad dijalan yang benar. Jalan jihad yang disebarluaskan dalam ajarannya dipahami secara buta oleh pengikutnya dengan embel-embel surga hingga tidak sedikit yang tergiur oleh tawaran-tawarannya, mengingat setiap manusia beragama ingin masuk surga.

Eksistensi ISIS dalam ruang global memberi gambaran nyata akan minimnya ruang rasionalitas dalam beragama. Islam dipahami secara dogmatis dan normatif semata tanpa adanya upaya penimbangan terlebih dahulu. Islam dipahami secara subjektifitas kelompok tanpa mendialektikannya dalam rangka menemukan jalan jernih suatu problema.

ISIS merupakan paham yang menentang Islam. Ajaran-ajaran ISIS dan manifestasi ajarannya tidak memberi wajah Islam yang dibawa rasul Muhammad, melainkan bertolak belakang; melawan ajaran Islam. Jalan jihad yang dilakukan ISIS tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Islam dibawa dengan begitu mengerikan dan memberi bekas ketakutan yang luar biasa. Akhirnya, membentuk persepsi bahwa Islam mengajarkan demikian dan tentunya hal ini merugikan umat Islam.

ISIS merupakan bukti nyata bahaya taklid buta. Kemanusiaan seakan tidak lagi diperjuangkan dalam beragama, melainkan penderitaan, kesengsaraan dan duka lara yang terus dilahirkan. Agama yang seharusnya menjadi juru pedoman keselamatan dan kedamaian antar sesama makhluk, diluluhlantakkan dengan doktrin paham dengan kebenaran mutlak kelompok. Kelogisan kemanusiaan dalam beragama mati tidak memiliki kehidupan.

ISIS Jelas Bukan Muslim

Islam yang menjadi agama kasih sayang disalahpahami secara parsial oleh ISIS, hingga memberi bekas ketakutan luar biasa dalam kancah global dan merugikan umat Islam secara menyeluruh. Perdamaian yang dijunjung Islam dihancurkan oleh eksistensi ISIS yang mengaku Islam dan mengibarkan kekeliruan yang merugikan banyak pihak. Alhasil, Islam dianggap sebagai agama yang meneror siapapun yang berbeda dan dikonstruk sebagai agama yang mengerikan.

Dari hal ini, dapat dipahami bahwa Islam merupakan agama yang menganjurkan umatnya berfikir logis dalam beragama. Islam merupakan agama yang menganjurkan pemeluknya bijaksana. Islam menganjurkan umatnya untuk memanusiakan manusia. Islam merupakan agama yang memberi wajah kedamaian dan kabar bahagia bagi siapapun. Sehingga, ISIS tidak termasuk dalam kategori Islam yang dibawa rasul Muhammad, melainkan penentang ajaran Islam yang dibawa rasul Muhammad.

M. Khusnun Niam
M. Khusnun Niam
Alumni Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru