26.1 C
Jakarta

Memberi Buku dan Sebuah Panduan Sopan Santun

Artikel Trending

KhazanahLiterasiMemberi Buku dan Sebuah Panduan Sopan Santun
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ketika seorang pembaca novel Rumah Kertas (Domínguez, Marjin Kiri, 2016) mengatakan kepada Anda bahwa Carlos Brauer adalah seorang penggila buku, memang begitulah yang seharusnya Anda bayangkan. Secara konotatif dan denotatif. Buku-bukunya memenuhi rumah, menguras dompet, dan nyaris tak pernah tidak meninggalkan lecek dan corat-coret—kecuali buku itu kelewat jelek.

Ia tak mau mengeluarkan duit untuk perawatan puluhan ribu bukunya. Jadi, buku-buku itu penuh rayap dan debu berada di mana-mana. Brauer juga menyusun bukunya menyerupai tubuh manusia di atas ranjang (kita bisa bayangkan, tiap berangkat tidur ia akan mengajak si buku mengobrol hingga mencumbu) dan puncaknya, ia membangun rumah dari buku-buku.

Sabtu, 23 Januari 2021, bersama beberapa teman, selama nyaris 9 jam, kami membersihkan dan menata ulang buku, koran, dan majalah di Bilik Literasi, Solo. Saya duga jumlahnya mencapai belasan ribu. Debu, rayap, kotoran hewan, serta berbagai kotoran lainnya serasa tak mau hilang sampai kiamat datang.

Ketika saya mengatakan Bandung Mawardi, kuncen Bilik Literasi, adalah penggila buku, Anda bisa membayangkan Carlos Brauer dan mengurangi imajinasi konotatif tadi. Bandung pernah menerbitkan buku berjudul Berumah di Buku (Basabasi, 2018). Setelah bersih-bersih, saya mengajukan usul padanya untuk menerbitkan buku berjudul Berumah di Debu.

Tak jarang, kepada teman-teman yang sinau di Bilik Literasi, Bandung Mawardi memberi buku. Lebih sering ia memberi daftar panjang buku-buku yang harus kami beli. Tagihan tanggung jawab kepemilikan buku berupa esai, resensi, atau obrolan. Sekadar potret dengan takarir sangat pendek di media sosial bisa dilakukan jika Anda punya kuping tebal untuk mendengar olok-oloknya. Tiap melihat tabiatnya, saya teringat Etgar Keret, penulis masyhur asal Israel.

Usianya 19 ketika pertama kali menulis cerita pendek. Itu tahun 1986. Keret sedang melakukan wajib militer dan menjalani sif panjang di ruang komputer yang berada jauh di kedalaman tanah. Sendirian, kedinginan, terisolasi. Tiba-tiba terlintas di benaknya menulis sebuah cerita pendek. Setelah selesai, ia berhasrat menemukan seorang pembaca. Sersan bopeng yang menggantikan sifnya tak sudi. Pada pukul 06.30 pagi, ia bergegas menuju rumah kakak lelaki.

Kakaknya baru bangun tidur dan mau saja menerima permintaan sang adik. Si kakak, sambil berjalan bersama anjingnya, membaca cerita itu. Tenggelam dalam cerita, ia membiarkan si anjing buang air besar di dekat pohon. Di buku The Seven Good Years (Bentang Pustaka, 2016), Keret menulis adegan berikutnya, “… ”Cerita ini bagus,” kata kakakku. “Mengesankan. Kamu punya salinannya?” Aku bilang, aku punya.

Dia memberiku senyuman kakak-yang-bangga-kepada-adiknya, kemudian dia membungkuk dan menggunakan kertas itu untuk mengambil kotoran anjing dan membuangnya ke tempat sampah.” Pada momen itulah Keret ingin jadi penulis. Tentu tidak agar ceritanya bisa dipakai buat mencomot kotoran anjing. Tapi karena ia yakin tulisannya bisa memantik percakapan atau tulisan lain di kepala pembaca, tak sekadar berhenti menjadi benda yang dipegang, dipamerkan, dan dikoleksi.

BACA JUGA  Giat Literasi dengan Menulis Sastra Moral

Dalam Rumah Kertas, adegan memberi buku juga terjadi. Bluma Lennon, seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, memberi La línea de sombra karangan Joseph Conrad, sebuah novel berkisar laut, kepada Carlos Brauer. Mereka bertemu di konferensi sastra di Monterrey dan menjalin asmara singkat. Pada suatu obrolan dalam asmara singkat itu, Bluma mengatakan ingin mati ketika sedang membaca Emily Dickson.

Setelah “gila” karena rumahnya kebakaran, Brauer pindah ke tepi laut dan di sana, ia membangun rumah dari buku. Dan pada sebuah tikungan jalan, Bluma tertabrak mobil dan tewas, sebab telalu asyik membaca puisi Emily Dickson. Beberapa hari sebelum kejadian, Bluma meminta Brauer mengirim kembali buku pemberiannya.

Kita tak tahu judul mana yang sedang  Bluma baca, tapi mereka berdua pasti tahu, dalam puisi That I Did Always Love, Emily Dickson menulis (saya terjemahkan secara bebas): Aku selalu mencintaimu/ Kan ku bawakan kau bukti:/ Bila aku belum mencitai/ belum memberi cinta yang cukup . Itu jelas cara Bluma meyakinkan diri bahwa Brauer masih mencintainya. Sebuah bukti.

Orang dewasa tak cuma menerima buku sebagai hadiah. Sebuah buku tak hanya berarti kegembiraan. Negara yang dijalankan oleh orang-orang dewasa ini, misalnya, telah menyita dan melarang banyak buku. Bagi mereka, buku-buku termasuk benda berbahaya, bahkan kalaupun itu buku fiksi (kita ingat, pada April 2020, negara menyita kumpulan cerpen (kumcer) Corat-Coret di Toilet karangan Eka Kurniawan dari kelompok yang dianggap sebagai “anarko”).

Atau Setyaningsih, kritikus sastra asal Boyolali. Dalam esai “Presiden dan Buku Anak” (Kitab Cerita, 2020), Setya rela merepotkan diri mencari, membeli, membaca, dan menelaah maksud Presiden membeli suatu buku anak yang kelak akan dibagikan ketika melakukan kunjungan. Memberi buku menjadi perkara rumit.

Saya sebenarnya juga pernah dirumitkan perkara memberi buku. Setelah skripsi, ciri mahasiswa beradab adalah memberi dosen pembimbing (dosbing) bingkisan. Kebanyakan teman saya memberi kain batik. Bahkan ada seorang teman yang menyerahkan batik tulis berharga ratusan ribu. Saya tak punya duit sebanyak itu dan agar dosbing saya tak jadi kolektor kain, saya memutuskan memberi buku.

Dosbing pertama seorang dosen bahasa Indonesia dan dosbing kedua seorang dosen seni rupa. Karena mereka berdua sudah sepuh, saya mencari buku tipis, menghibur, dan syukur bisa jadi inspirasi memberikan tugas di kelas kelak. Kepada dosbing dua, saya memberi Mice Obladi Oblada Life Goes On (Kompas, 2012), dan pada dosbing satu, saya berencana memberi kumcer Kompas tahun 1997 (Kompas, 2017).

Kumcer itu berjudul Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan, dan ketika sampai indekos, saya menyesali perbuatan saya. Kepada seorang teman, saya bertanya apakah itu pemberian yang patut dan ia mengatakan saya tak sopan. “Ngawur, jangan yang ada kuburan-kuburannya!” katanya. Kepada dompet, saya mengatakan untuk sabar dan mari mengeluarkan uang lagi demi sebuah kesopanan.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru